Langsung ke konten utama

Bangsa-bangsa di Hindia Timur

Oleh H. ROSIHAN ANWAR

PENDUDUK kepulauan Hindia Timur terdiri dari sejumlah bangsa yang jelas jati dirinya. Yang menonjol di antara volkeren atau bangsa-bangsa itu adalah orang-orang Jawa, Melayu, Bugis, Arab, dan Cina. Yang kedua belakangan tentulah vreemdelingen atau orang-orang asing.

Lukisan ini dari tahun 1820-an. Penuturnya J. Oliovier yang pada tahun 1836 menulis buku Tafereelen en merkwaardigheden uit oost Indie. Olivier (1789-1858) punya aneka ragam profesi, pegawai dengan pangkat kommies di Algemene Secretarie di Batavia, sekretaris komisaris pemerintah yang mengepalai daerah, wartawan, guru kepala, direktur percetakan negara, pengarang.

Secara umum dilukiskan oleh Olivier bahwa bumi putera dari kepulauan Hindia Timur, baik yang Jawa, maupun yang Melayu serta Bugis, pada asal usulnya tergolong suku bangsa yang sama, walaupun dalam hal tabiat mereka sangat berbeda. Orang-orang Jawa yang sejak zaman baheula adalah petani memiliki watak yang lebih damai, adat istiadat lebih lembut dibandingkan dengan orang-orang Bugis serta Melayu yang lebih merupakan bangsa pelaut dan mencolok lantaran usaha-usaha yang nekat, perjalanan yang berani dan adat susila lebih kasar.

Jangan mengira orang-orang Jawa (--awal abad ke-19) bodoh dalam soal ilmu pengetahuan. Beberapa orang Jawa yang memperoleh pendidikan saksama di bawah pengawasan orang-orang Eropa yang ahli, membuktikan mereka juga mampu mencapai kemajuan di bidang bahasa, sastra, sejarah dan ilmu lain. Buktinya terlihat pada kedua putera regent Semarang yakni Adi Manggolo yang bisa bersaing dengan pemuda-pemuda Eropa yang paling beradab, dan Raden Saleh, sang pelukis yang ketika itu berdiam di Den Haag.

Kebanyakan orang Belanda waktu itu berpendapat, stereotipe orang Jawa adalah lamban dan masa bodoh, tapi Olivier mengatakan hal itu disebabkan oleh iklim dan oleh pemerintahan despotik dari raja-raja Jawa. Pada zaman VOC atau Kompeni (1602-1798) orang Jawa diserahkan nasibnya kepada raja-raja pribumi dan petinggi rakyat atau volkshoofden, sedangkan kekuasaan Belanda sudah puas dengan menerima produk-produk tertentu dari Inlandsche volkshoofden. Inilah alasan sederhana kenapa orang pribumi alias inlanders selama dua abad sedikit sekali membuat kemajuan di bidang peradaban, kerajinan dan ilmu pengetahuan.

Terdapat kaitan antara sifat lamban si pribumi dengan pemerintahan semau gue oleh para sultan. Hal ini terjadi bukan saja di Jawa, melainkan juga di Sumatra.

Kaum perempuan di Jawa

Orang-orang Jawa, tulis Olivier, adalah bisa diulur-ulur atau rekkelijk, penurut dan bertabiat lunak, puas dengan hal yang sedikit, sederhana serta setia. Kepala-kepala suku memberikan perintah mereka dengan suatu kasih sayang. Penghinaan yang menusuk kehormatan atau bahkan kata-kata caci maki terhadap yang lalai atau pembangkang, sama sekali tidak dikenal di kalangan mereka. Keramah-tamahan merupakan sifat yang utama pada mereka. Seorang musafir tanpa takut dan tanpa bahaya bisa menginap di kediaman miskin penduduk gunung. Ia dijamin tidak akan disakiti. Kalau perlu dia akan diberi pertolongan dan perlindungan.

Keadaan kaum perempuan pada masa itu juga dilukiskan oleh Olivier. Kaum perempuan di Jawa pada umumnya sangat rajin dan pandai menenun dan membuat barang pakaian. Di semua lapisan dan kelas penduduk, dari sultan hingga petani sederhana adalah sebuah kebiasaan lama bahwa perempuan, ibu rumah tangga dengan tangannya sendiri membuat pakaian bagi suaminya. Perempuan juga membantu bekerja di sawah. Biasanya menyiapkan lahan, menanam, mengairi dan memanen dikerjakan oleh laki-laki, seraya perempuan menyelesaikan segala sesuatu selanjutnya dan diserahi menjual hasil bumi di pasar.

Nasib kaum perempuan di Pulau Jawa, di kepulauan Sunda dan di Maluku adalah lebih menyenangkan ketimbang di kebanyakan negeri-negeri Timur lainnya. Kendati si laki-laki, banyak sedikitnya, dengan perempuan yang dikawininya membelinya dari orang tuanya, dengan membayar suatu harga tertentu, dia selalu memperlakukan perempuan dengan hormat dan kasih cinta. Kaum perempuan Jawa tidak hidup secara terpisah, tapi berbagi sama dalam perbuatan dan kesenangan para suami. Lebih dari satu kali terjadi bahwa di Jawa dan di Sulawesi kaum perempuan dan raja-raja yang mangkat menaiki takhta.

Para istri ningrat Jawa, dari pangeran-pangeran atau raja-raja tidak biasa meninggalkan istana mereka, tetapi mereka menerima kunjungan orang-orang Eropa yang terkemuka atau petinggi-petinggi rakyat. Atau mereka diangkut dengan tandu bergabung dalam kumpulan-kumpulan terhormat dan di sana diperlakukan sangat sopan. Dalam semua tindakan dan perkataan kaum perempuan itu memperlihatkan pengendalian diri dan martabat.

Olivier juga bertutur tentang keadaan yang dilihatnya dalam kunjungan ke Sumatra seperti Bengkulu, Palembang, dan lain-lain. Orang-orang Palembang, tiada kekurangan akal, ketajaman, kepintaran, kegairahan dan kesabaran. Mereka kaum perajin yang sangat piawai dan karya mereka mengerjakan kayu dipuji oleh ahli-ahli Eropa. Dalam mengolah dan mengerjakan gading mereka sangat indah dan halus. Begitu pula dalam mengerjakan barang-barang dari tembaga, perak dan emas. Kaum perempuan mahir membuat kain songket. Tapi pendidikan masih rendah tarafnya. Sedikit sekali wong Palembang yang mampu membaca Quran.

Penduduk Sumatera dan "Chinezen"

Menarik membaca keterangan Olivier ada pun penduduk Sumatra pada umumnya terdiri atas empat suku besar atau grooten stammen yakni orang Batak, Melayu, Redjang dan Lampong. Suku Redjang terutama bermukim sepanjang pantai barat di sebelah barat pegunungan. Orang Redjang tidak besar perawakannya, warna kulitnya cerah. Busananya tidak banyak berbeda dengan pakaian orang Jawa. Ada kebiasaan mengasah gigi yang putih menjadi hitam. Pada umumnya mereka santun, ramah, pintar, dan sangat rendah hati terhadap kaum perempuan dan gadis. Di pihak lain mereka dicap sebagai lamban, berganti-ganti suasana perasaannya, suka berjudi dan sangat pendendam jika mereka dihina. Umumnya mereka senang musik, nyanyian dan tarian. 

Soal pantun di kalangan Suku Redjang tidak luput dari perhatian Olivier. Dia mencatat beberapa contoh pantun. Di antaranya pantun menyatakan cinta dan kesetiaan berbunyi (dalam ejaan bahasa Melayu-pasar awal abad ke-19): Memoeti ombak di ratau Kalaun/Patang dan pagi tida berkala/Memoeti boenga di dalam Kobong/Sa tangkei sadja jang menggila. Sedangkan pantun yang menyatakan kesedihan berbunyi: Parang bumbam di seberang/Boelan pernama niatalah benderang/-Sayangnia lagi die sapoer awan.

Sudah barang tentu Olivier menulis tentang de Chinezen yang pada zamannya belum mengenal digunakannya penamaan Tionghoa, tetapi menyebut Cina saja. Orang-orang Cina di tengah semua bangsa Asia asing di Pulau Jawa dalam segala hal adalah menarik karena sifat rajin mereka yang luar biasa, pengaruh mereka terhadap petinggi-petinggi dan penduduk bumi putera, pengetahuan tentang urusan dagang, kecerdikan mereka, kekayaan mereka, kesusilaan dan paham keagamaan mereka yang berbeda.

Saban tahun jung-jung (kapal layar) Cina mengangkut ribuan orang Cina dari negeri leluhur, kebanyakan miskin untuk mencari harta di Jawa. Tiada kota, tiada desa di Pulau Jawa, juga di daerah-daerah kepunyaan Belanda lain, yang tidak punya penduduk Cina. Biasa saja apabila seorang Cina tiba di Batavia dengan badan ditutup oleh kulit pohon yang dijalin atau oleh daun kelapa, namun dalam beberapa bulan saja tampak berjalan dalam pakaian bagus, malahan gagah sebagai tuan terkemuka alias voornaam heer. Orang-orang Cina sudah ada di Pulau Jawa sebelum tahun 1600 (ketika Belanda dan VOC mulai menetap).

Banyak yang diceritakan oleh Olivier mengenai orang-orang Cina. Satu di antaranya adalah khas. Pada suatu hari seorang pedagang keliling Cina datang di kantor Algemene Secretarie, menjajakan minyak wangi (rozen olie) dalam botol-botol kecil, dengan harga satu ropij per botol.

Hampir semua pegawai muda membeli, lantaran biasanya di Indie harganya 2 Spaanse daalders. Cina itu bercerita kenapa dia bisa menjual dengan harga murah. Dalam sekejap habislah jualannya. Ketika mereka membuka botol, maka yang ditemukan ialah minyak kelapa, seraya penutup botol dioles dengan rozen olie, sehingga menyebarkan bau harum, dan menipu pegawai-pegawai Belanda itu. Orang Cina tadi dengan ropijen-nya telah lenyap diam-diam, demikian cerita Olivier.***

Penulis wartawan senior.



Sumber: Pikiran Rakyat, 13 Mei 2004



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...