Langsung ke konten utama

Indonesia Sudah Merdeka, Bendera Harus Berkibar

Keganasan tentara Jepang selama tiga tahun lalu disusul tentara Belanda yang kembali berkuasa setelah Dai Nippon bertekuk lutut pada tanggal 14 Agustus 1945, membuat banyak masyarakat di Sulawesi Selatan pada waktu itu merasa ketakutan.

Jarang di antara mereka mau membantah ataupun melawan kebijaksanaan tentara kolonial walaupun diketahuinya hal yang dilakukan itu tidak benar. Mereka tahu jika membantah kebijakan tentara kolonial, keselamatan pasti tidak terjamin. Mati atau menderita cacat seumur hidup, itu pasti akan dialami jika melawan pemerintah kolonial.

Di tengah rasa ketakutan itu, seorang pemuda bernama Andi Matalatta yang pernah mendapat latihan militer dari tentara Jepang, memberanikan untuk menantang kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang melarang warga pribumi memasang bendera Sangsaka Merah Putih. Ia sangat berkeinginan agar Sangsaka Merah Putih dapat segera berkibar di kota Makassar.

Apalagi setelah mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan RI yang dibacakan oleh Presiden Soekarno lewat radio, keinginan itu sangat dirindukannya untuk terealisasi secepat mungkin. Untuk melaksanakan niat tersebut di kota Makassar, ia melihatnya tidak dimungkinkan karena situasi penjagaan oleh tentara kolonial sangat ketat.

Di tengah keinginan dan penjagaan yang ketat, ia kemudian mendapat inspirasi bahwa pengibaran bendera Sangsaka Merah Putih dapat dilaksanakan dengan aman di kota Barru, sekitar 90 kilometer sebelah timur Makassar. Selain aman, di kota ini pun ia masih punya banyak kawan yang setiap pada Republik.

Dengan menggunakan alat angkutan seadanya, tutur Andi Matalatta pada Pembaruan awal Juli lalu, ia kemudian menuju kota Barru. Di kota ini ia tahu persis masih punya banyak kawan pemuda yang pernah satu sekolah di Makassar. Bahkan ada di antara mereka itu dikenal sudah bekerja dan punya pengikut setia sehingga jiwa mereka diikutsertakan dalam pengibaran Sangsaka Merah Putih, jumlah pesertanya cukup banyak.

Di antara kawan yang dianggap bisa memenuhi harapannya berani melawan kebijakan tentara kolonial adalah Petrus Gaster Kaligis dan Kaluku, keduanya pemuda kelahiran Gorontalo, Sulawesi Utara. Ketika kedua kawannya itu diberi tahu bahwa Indonesia sudah merdeka, pada tanggal 17 Agustus dan bendera Merah Putih harus segera dikibarkan di daerah ini, mereka pun serentak menyatakan akan segera menyiapkan acaranya. Selain itu, mereka menyebutkan akan menyiapkan bendera Merah Putih yang rencananya akan dilangsungkan di depan kantor Pemerintahan Barru yang waktu itu masih di bawah pengawasan tentara kolonial.

Massa rakyat akan dikerahkan ke tengah lapangan untuk menghadiri upacara kenaikan bendera Sangsaka Merah Putih. Bahkan raja Barru, Sulewatang kan diundang untuk menghadiri acara ini walaupun di bawah pengawasan ketat tentara kolonial Belanda. Bersamaan dengan itu akan diundang pula semua karyawan kantor Kerajaan Barru yang sebagian besar takut pada tentara kolonial Belanda.

Tepat pada waktu yang ditentukan, sekitar pukul 10.00, masyarakat kota Barru memenuhi lapangan depan kantor pemerintahan Barru. Mereka dengan hikmat mengikuti acara demi acara penaikan Sangsaka Merah Putih sampai selesai. Upacara dipimpin oleh Andi Matalatta, sementara yang menggerek menaikkan Sangsaka Merah Putih adalah Petrus Kaligis, ayah pengacara OC Kaligis SH dan Kaluku.

Sampai acara selesai, tidak satu pun tentara kolonial berani mendekat selain memantau dari kejauhan. Masyarakat di daerah ini pada waktu itu percaya bahwa mereka sudah merdeka dan tidak perlu lagi hormat pada tentara kolonial Belanda sejak Sangsaka Merah Putih dikibarkan.

Kegembiraan ketiga pemuda ini ternyata tidak berlangsung lama. Tentara kolonial Belanda langsung mencari Andi Matalatta untuk diadili karena perbuatannya itu. Demikian pula kedua kawannya Petrus Kaligis dan Kaluku.

Merasa dikejar-kejar tentara kolonial Belanda, tutur Andi Matalatta, ia kemudian lari ke Jawa dengan menggunakan perahu layar. Di Jawa ia mendapat perlindungan dari masyarakat dan Pemerintah sampai ia diangkat sebagai anggota TNI. Sementara dua rekannya tidak diketahui lagi ke mana rimbanya. Ia baru bertemu lagi dengan Petrus Kaligis setelah berpisah selama kurang lebih 56 tahun ketika dirinya dikunjungi di rumah kediamannya di Jalan Dr Ratulangi awal Juli lalu.

Di tengah pertemuan itu, Petrus Kaligis yang didampingi oleh putra tertuanya OC Kaligis SH menyebutkan, akibat dirinya ikut dalam acara penaikan bendera Sangsaka Merah Putih, ia harus mendekam dua hari di kantor Kejaksaan Pare-pare bersama Kaluku. Ia diperiksa dengan tuduhan mengibarkan bendera Merah Putih di tengah masyarakat Barru.

Ketika ditanya mengapa mereka mengibarkan bendera tersebut yang dilarang oleh Pemerintah Belanda, Petrus Kaligis yang bekerja di perusahaan kapal milik Pemerintah Jepang mengatakan, "Indonesia sudah merdeka." Dengan demikian bendera Merah Putih perlu dinaikkan agar seluruh masyarakat tahu bahwa Indonesia sudah merdeka.

Jawaban pertanyaan yang mengundang banyak kecurigaan pihak Kejaksaan kolonial itu akhirnya membuahkan hasil di mana ia tidak diajukan ke depan meja hijau. Dua hari setelah pemeriksaan itu langsung disuruh kembali ke Barru bersama Kaluku.

Walaupun mereka selalu diintimidasi oleh tentara Belanda akibat peristiwa penaikan bendera Merah Putih itu, tapi dirinya tidka pernah merasa takut. Ia hanya tahu bahwa Indonesia sudah merdeka sehingga bendera Merah Putih harus dikibarkan.



PEMBARUAN/
UPA LABUHARI



Sumber: Pembaruan, (circa) 16 Agustus 2003



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...