Langsung ke konten utama

Unit 731, "Setan Penebar Maut" Dai Nippon: Jejak-jejak Kotor dan Kekejian Jepang di Cina

PADA Perang Dunia II, Jepang memanfaatkan Cina bagi program penyelidikan senjata kimia dan biologi. Setelah bertahun-tahun menyangkal, mereka lambat laun memperlihatkan penyesalannya.

Lembaran fakta kembali terkuak dan menyajikan, kumpulan serangga yang mulai mengigiti Huang Yuefeng saat ia membungkus mayat rekannya sebelum penguburan. Petani muda ini tidak menyadari bahwa serangga-serangga tersebut disebarkan oleh pesawat Jepang ataupun bahwa desanya yang terletak di Provinsi Hunan, Cina Tengah, telah menjadi korban serangan senjata racun biologi terdahsyat di dalam Perang Dunia II. Ia hanya mengetahui bahwa pertama-tama tikus-tikus mati, kemudian orang-orang selalu dipenuhi bintik keunguan serta berkubang muntahnya sendiri. Penduduk menyebutnya "hama tikus". Sebenarnya itu adalah hama bubonik yang pernah memakan korban sepertiga penduduk Eropa di abad ke-14 dan kini dijangkitkan kembali dan disebarkan oleh tentara Jepang (Dai Nippon).

Huang yang kini berusia 79 tahun sangatlah beruntung, karena di penghujung tahun 1941 seorang dokter yang baik mengeluarkannya dari pusat karantina dan memulihkan kesehatannya. Namun, empat anggota keluarganya berada di antara 7.643 orang di daerah itu yang oleh pemerintah telah dinyatakan tewas.

Tahun-tahun yang dilaluinya tidak mampu meredam rasa amarahnya. "Saya begitu membenci orang Jepang sehingga tidak sudi hidup bersama mereka di kolong langit yang sama," cetusnya.

Serangga-serangga yang disebarkan di Hunan dari pesawat-pesawat tempur Jepang, mungkin adalah yang paling jinak di dunia yang kemudian dimanfaatkan oleh Unit Pengadaan Air dan Pencegah Epidemi tentara imperial, yang dikenal sebagai Unit 731. Sekarang, puing-puing markasnya yang berada di luar Kota Harbin, Mancuria, bersebelahan dengan sebuah sekolah pedesaan. Di dekat lapangan basket terdapat sebuah gudang kayu yang tidak bercat, beratap metal kumuh di mana di dalamnya terdapat 96 sumur yang dicor semen dengan lebar masing-masing satu meter persegi. Di sinilah, 60 tahun yang lalu, dokter-dokter Jepang menginfeksi tikus-tikus kuning dengan hama dan mencemplungkannya ke dalam drum-drum oli yang dipenuhi serangga. Para kuli kemudian memuat serangga-serangga beracun tersebut ke dalam tabung-tabung keramik yang dirancang untuk dapat menyemburkan isinya dari ketinggian seratus meter di atas Provinsi Hunan dan Zhejiang. Para jenderal Jepang berharap, dengan menyebarnya hama, maka panen gandum akan hancur sehingga tentara Cina akan kehabisan makanan.

Namun Unit 731 yang keji itu beraksi lebih dari sekadar hanya menyebarkan hama. Mereka juga melaksanakan percobaan-percobaan di mana ilmuwan Jepang melakukannya pada orang-orang sipil dan tawanan perang, sering kali membedah manusia hidup-hidup untuk diambil jantungnya. Setelah puluhan tahun menyangkal, Jepang mulai mengakui kejahatan-kejahatan yang dilakukan Unit 731 serta sejarah kekejaman yang mereka lakukan dan walhasil secara kontinu telah meracuni hubungan mereka dengan negara-negara tetangga selama enam puluh tahun.

Kengerian atas perbuatan Unit 731 terfokus tajam pada tanggal 27 Agustus. Pada hari itu, hakim Tokyo, Koji Iwata mengeluarkan sebuah keputusan penting atas sebuah kasus yang diperkarakan oleh 180 orang Cina korban hama 1940-41. Mereka menuntut ganti rugi masing-masing sebesar USD 84.000 bagi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh Unit 731. Pemerintah sejak dulu telah menolak bukti-bukti kejahatan itu. Namun hakim menegaskan bahwa, "Penggunaan senjata biologi adalah suatu bagian strategis rencana perang Jepang dan dilaksanakan atas perintah Angkatan Bersenjata Pusat." Unit 731 adalah jantung kekejaman ini: Iwata mengatakan, "tujuan utamanya adalah mempelajari, mengembangkan dan membuat senjata biologi." Ia tidak melanjutkan dengan masalah kompensasi, karena tidak ada peraturan internasional yang memungkinkan seseorang bisa menuntut kerusakan yang diakibatkan oleh perang.

Para korban tentu saja tidak setuju. Sekitar 300 orang Cina yang telah beruban memprotes keputusan tersebut di luar sebuah gedung pemerintah di Changde, di mana mereka membawa plakat bertuliskan, "lakukan kejahatan dan ganti rugi". Sementara itu, sebuah pergantian yang alot dan telah lama dinanti-nanti, akhirnya mulai timbul di Jepang. Setelah puluhan tahun menyangkal, orang awam Jepang mulai menunjukkan penyesalannya seperti terlihat di ruang sidang, kalaupun oleh pemerintahnya belum ditunjukkan. Di bulan April, sebuah persidangan daerah di Fukuoka memerintahkan Mitsui Mining Co, sebuah anak perusahaan salah satu konglomerat besar Jepang, untuk membayar USD 1,4 juta kepada 15 orang Cina yang menjalani kerja paksa di pertambangan perusahaan tersebut selama masa perang. (Jepang mengangkut sekitar 40.000 pekerja paksa Cina ke kepulauan mereka untuk dipekerjakan di pertambangan dan konstruksi). Di bulan Agustus 2001, sebuah pengadilan di Kyoto melimpahkan ganti rugi bagi 15 pekerja paksa Korea dan ditugaskan di sebuah kapal perang yang kemudian meledak dan tenggelam di tahun 1945. Kemudian tahun lalu, sebuah pengadilan di Tokyo menyuruh pemerintah membayar 170.000 dolar AS kepada putra mendiang Liu Lien-yen, seorang pekerja paksa dari Cina yang kemudian melarikan diri di bulan Juli 1945 dan menghabiskan waktu selama 13 tahun hidup di gunung sebelah utara Hokkaido, tanpa menyadari bahwa Hirohito telah bertekuk lutut.

Keputusan-keputusan pengadilan tadi adalah titik tolak yang sangat bertentangan bagi sebuah negara yang dipimpin oleh golongan konservatif yang lebih memilih menyangkal, mengubah ataupun mengubur masa lalu. Penganut-penganut garis keras di Tokyo masih menangkap tajuk-tajuk pemberitaan utama yang menyatakan, sebagaimana pimpinan pertahanan yang lalu Hosei Noroto pada tahun lalu, bahwa Jepang menyerang sebagian besar Asia hanyalah karena "mereka telah menjadi bulan-bulanan Amerika Serikat".**

PENERBIT buku-buku sekolah menengah yang pada beberapa tahun terakhir akhirnya menyebut pembunuhan atas 300.000 warga sipil di Nanjing sebagai suatu "pembantaian", baru-baru ini menyerah terhadap tekanan-tekanan dari sayap kanan dan mengubah sebagian besar edisinya, dengan menyebut peristiwa tersebut sebagai "kecelakaan". Politisi-politisi tua sering menekankan bahwa orang-orang sipil di negara-negara yang diduduki sebenarnya menyukai keberadaan Jepang, dan bahwasanya wanita-wanita yang dipaksa menjadi budak nafsu tentara-tentara imperial adalah wanita-wanita tuna susila secara sukarela--pernyataan-pernyataan yang memancing ejekan sebagaimana pemimpin-pemimpin Korea Utara menyebut Jepang sebagai "politisi kerdil yang gemar mengendap-endap".

Kekesalan yang diakibatkan oleh mecla-menclenya pernyataan orang-orang Jepang ini disebabkan oleh meningkatnya keingintahuan orang-orang awam Jepang akan apa yang terjadi dulu, walaupun pemerintah tidak menginginkan mereka tahu. Toko buku Kinokuniya di Tokyo menyediakan lusinan buku-buku mengenai kesalahan Jepang di masa perang; sedang beberapa tahun yang lalu buku-buku itu hanya tersedia sedikit saja. Tulisan-tulisan pengakuan dari para veteran (What We Did in China; Nanking Massacre and the Imperial Army; Comfort Women from the Eyes of a Korean Female), dipajang bersebelahan dengan buku-buku sejarah dan penyelidikan yang direvisi yang dengan tegas menyangkal bahwa semua kejahatan tersebut pernah terjadi (How the Nanking Massacre Was Concocted; Korean Colonization: No Reason to Apologize; The Nonexistence of Sexual Slavery). Pemungutan suara tahunan di kalangan mahasiswa sejarah Universitas Meiji Tokyo menunjukkan secara konsisten bahwa duapertiga bagian dari mereka percaya bahwa Jepang belum sepenuhnya mengganti kerugian akibat masa lalu mereka. Yang lainnya merasa bangga akan apa yang telah dilakukan negaranya untuk membayar kesalahan-kesalahan di masa lalu. Sebagai awalnya, pemerintah Jepang di tahun 1999 memberikan USD 414 juta bagi bantuan pembangunan di Cina--jauh lebih besar dari apa yang diterima oleh Cina dari negara lain. Dan di tahun 1995, Jepang membentuk Asian Women's Fund, sebuah badan dana semi privat untuk mengumpulkan dana bagi wanita-wanita budak nafsu pihak militer. Namun Mizuho Matsuda, pimpinan badan dana tetap tidak puas. "Jepang belum cukup menggantinya," keluhnya, "walaupun salah untuk menyebut Jepang tidak melakukan apa-apa."

Diungkitnya kembali kebengisan Unit 731 di pengadilan minggu lalu, mengingatkan Jepang berapa banyaknya hal yang harus disesalkan. Di bawah pimpinan Dr. Shiro Ishii, seorang ilmuwan Tokyo terkenal, para staf melaksanakan percobaan-percobaan yang di dalam dokumen disebut sebagai maruta, bahasa kamusnya 'batang kayu'. Sebenarnya batang kayu ini adalah manusia hidup, sebagian besar tentara Cina dan orang-orang sipil namun ada juga tentara Rusia, Inggris, dan Amerika yang tertangkap. Mereka dibekukan hidup-hidup untuk menyelidiki luka yang terjadi akibat dingin yang amat sangat. Dibakar hidup-hidup untuk menyelidiki proses pembaraan tubuh manusia. Dimasukkan ke dalam ruang hampa udara sehingga perutnya meledak. Digantung pada kaki untuk melihat berapa lama manusia dapat hidup terbalik. Diberi infeksi dengan hama, anthrax dan kolera serta dijadikan kelinci percobaan tanpa dibius. Selama 13 tahun eksperimen berlangsung, baru berhenti pada saat Jepang menyerah di tahun 1945. Antara 3.000 hingga 12.000 maruta tewas. Tidak ada yang selamat dari Unit 731.

Ayah Zhu Yunfen adalah salah seorang korban. Di tahun 1941 seorang prajurit berumur 25 tahun dari Provinsi Heilongjiang menghilang setelah tertangkap oleh Jepang. Seorang perwira Jepang menyampaikan kepada keluarga Zhu bahwa penjaga penjara telah menjadikannya makanan bagi anjing-anjing herder mereka hidup-hidup. Kedengarannya seperti masuk akal, namun karena kurangnya bukti-bukti, pihak keluarga menjadi ragu selama puluhan tahun. Tahun lalu, dari sebuah dokumen tua Jepang yang setengah terbakar, ditemukan di Changhun, Provinsi Jilin, terungkap bahwa ayah Zhu tertangkap pada saat menyerahkan info posisi tentara Jepang kepada perwira-perwira Rusia. Ia tewas di Unit 731. Pada usianya yang 62 tahun, Zhu kini agak merasa puas setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Permohonan maaf alakadarnya yang dinanti-nanti tak kunjung tiba. "Kita semua akan segera meninggal dan segalanya akan terlambat bagi kita untuk berangkat dalam kedamaian," ujarnya.

Salah satu alasan pemerintah membungkam ialah karena Partai Demokratis Liberal (LDP) yang memerintah secara kontinu sejak tahun 1955, dikuasai oleh kelompok-kelompok nasionalis seperti Persatuan Simbol Agung dengan jutaan pengikutnya yang mewakili 80.000 tempat suci Shinto Jepang. Organisasi konservatif yang sangat loyal ini, yang menolak ganti rugi bagi perbudakan seks dan korban-korban agresi Jepang lainnya, terus menerus menekankan bahwa Jepang berjuang di negara asing adalah demi membebaskan tetangga-tetangganya dari kolonialisasi Barat. Hampir setengah dari anggota LDP di parlemen Jepang secara rutin menghadiri acara-acara penting Persatuan Simbol Agung ataupun memperoleh sumbangan darinya, demikian Nofunao Tanaka, penulis dua buku penting yang mempunyai pengaruh garis kanan pada sebagian besar orang Jepang. Jeff Kingston, penulis sebuah buku yang akan beredar mengenai kesalahan Jepang di masa perang, juga seorang profesor sejarah di Universitas Temple Tokyo, membantah, "Memperkecil tanggung jawab Jepang akibat peperangan, bertujuan untuk menjaga keberadaan LDP di dewan konstitusi." Sikap untuk tidak mau meminta maaf telah menjadi "ujian berat bagi pimpinan-pimpinan LDP," tambahnya.

Bagi para pimpinan Cina sendiri, mereka tidak membuatnya mudah bagi orang-orang Jepang untuk meminta maaf. Menghidupkan kembali kenangan akan kebengisan di masa perang telah mendatangkan dukungan rakyat lebih banyak lagi bagi Partai Komunis, lebih daripada yang dapat mereka harapkan bila mereka berunding dengan Tokyo. Film-film propaganda yang memperlihatkan orang-orang Jepang yang jahat masih dimanfaatkan di saluran TV milik negara. Aneka pertunjukan yang disajikan bagi media resmi negara biasanya diselingi lagu-lagu masa perang, barisan pedang yang berdaun lebar, dengan openingnya yang terkenal: "Si golok lebar sedang memancung kepala setan-setan Jepang".**

AMERIKA memainkan perannya sendiri dalam melindungi kepentingannya di Unit 731. Baik direktur Ishii maupun dokter-dokter senior kamp lainnya, tidak ada yang digiring ke persidangan di Tokyo antara tahun 1946-48 di bawah pengawasan Amerika. Dalam salah satu saat-saat kegelapan sejarah pengobatan Amerika, para pejabat AS menawarkan pembebasan bagi pimpinan-pimpinan Unit 731 dengan imbalan hasil tes dan penyelidikan mereka. Banyak pejabat Unit 731 yang malah menjadi terkenal dan berhasil dalam industri obat-obatan Jepang.

Beberapa orang, walaupun begitu, telah mengakui kesalahannya. Pada hari sebelum keputusan pengadilan Tokyo dijatuhkan, seorang staf yang dulunya bertugas untuk menghidupkan bakteri bagi senjata biologi, Yoshio Shinozuka, mengunjungi lokasi unit, seperti yang selalu dilakukan oleh 10.000 orang Jepang setiap tahunnya. Pasukan Jepang yang ditarik mundur telah merusakkan seluruh bangunan kecuali gedung utama, yang kini telah menjadi tempat pameran kecil yang nyaman, di mana dipertunjukan apa yang pernah terjadi berikut benda-benda seperti pisau-pisau bedah dan tabung-tabung gas racun. Pengumpul seni Wang Peng berkata, bahwa Shinozuka sangat menyesal akan apa yang telah diperbuatnya dan ia telah menaruh karangan bunga bagi 86 korban yang dikenalnya. "Bila pemerintah Jepang dapat melakukan itu, maka rakyat Cina dapat memaafkannya," ujar Wang.

Ada cara-cara yang lebih praktis untuk menunjukkan penyesalan. Sebagai tambahan bagi senjata biologi, Jepang juga menimbun persenjataan kimia, sebagian besar gas mustard. Angkatan Bersenjata meninggalkan 2 juta bom kimia, yang banyak di antaranya ditimbun di sungai-sungai. Pemerintah Cina memperburuk masalah dengan cara mengubur bom-bom yang ditemukan. Jepang telah berjanji untuk membersihkannya, namun belum merinci cara menangani tabung-tabung yang telah berkarat. Sementara para petani Cina telah memperlihatkan kegunaan barang-barang bersejarah ini. "Saya berjumpa dengan seseorang yang menemukan senjata kimia menancap di depan pintu rumahnya," ujar Bu Ping, wakil pimpinan Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Heilojiang dan seorang ahli dari program senjata kimia Jepang di Cina. "Ia menggunakannya untuk penahan pintu." Sebuah gugatan telah diajukan oleh orang-orang Cina yang cedera disebabkan oleh senjata-senjata kimia yang terbuang puluhan tahun setelah perang usai; persidangannya diharapkan akan dilaksanakan di Tokyo tahun depan.

Kembali ke Hunan, di mana wabah disebarkan melalui serangga-serangga yang dijatuhkan dari udara, para petani masih menanti permohonan maaf, ganti rugi lain lagi. Hanya dengan begitulah, mereka bilang, mereka dapat melanjutkan kehidupan mereka. Sementara ini, mereka masih tetap mewariskan rasa amarah mereka kepada keturunan-keturunan mereka. "Kami mempunyai sebuah kebiasaan," tutur Huang, yang tertular hama dari pembungkus mayat rekannya. "Kami menakut-nakuti anak-anak nakal dengan peringatan, pesawat-pesawat Jepang datang!" (Danly H. W., dari reportase Matthew Forey dan Velisarious Kattoulas untuk Time)***



Sumber: Pikiran Rakyat, 24 November 2002



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan