Langsung ke konten utama

Unit 731, "Setan Penebar Maut" Dai Nippon: Jejak-jejak Kotor dan Kekejian Jepang di Cina

PADA Perang Dunia II, Jepang memanfaatkan Cina bagi program penyelidikan senjata kimia dan biologi. Setelah bertahun-tahun menyangkal, mereka lambat laun memperlihatkan penyesalannya.

Lembaran fakta kembali terkuak dan menyajikan, kumpulan serangga yang mulai mengigiti Huang Yuefeng saat ia membungkus mayat rekannya sebelum penguburan. Petani muda ini tidak menyadari bahwa serangga-serangga tersebut disebarkan oleh pesawat Jepang ataupun bahwa desanya yang terletak di Provinsi Hunan, Cina Tengah, telah menjadi korban serangan senjata racun biologi terdahsyat di dalam Perang Dunia II. Ia hanya mengetahui bahwa pertama-tama tikus-tikus mati, kemudian orang-orang selalu dipenuhi bintik keunguan serta berkubang muntahnya sendiri. Penduduk menyebutnya "hama tikus". Sebenarnya itu adalah hama bubonik yang pernah memakan korban sepertiga penduduk Eropa di abad ke-14 dan kini dijangkitkan kembali dan disebarkan oleh tentara Jepang (Dai Nippon).

Huang yang kini berusia 79 tahun sangatlah beruntung, karena di penghujung tahun 1941 seorang dokter yang baik mengeluarkannya dari pusat karantina dan memulihkan kesehatannya. Namun, empat anggota keluarganya berada di antara 7.643 orang di daerah itu yang oleh pemerintah telah dinyatakan tewas.

Tahun-tahun yang dilaluinya tidak mampu meredam rasa amarahnya. "Saya begitu membenci orang Jepang sehingga tidak sudi hidup bersama mereka di kolong langit yang sama," cetusnya.

Serangga-serangga yang disebarkan di Hunan dari pesawat-pesawat tempur Jepang, mungkin adalah yang paling jinak di dunia yang kemudian dimanfaatkan oleh Unit Pengadaan Air dan Pencegah Epidemi tentara imperial, yang dikenal sebagai Unit 731. Sekarang, puing-puing markasnya yang berada di luar Kota Harbin, Mancuria, bersebelahan dengan sebuah sekolah pedesaan. Di dekat lapangan basket terdapat sebuah gudang kayu yang tidak bercat, beratap metal kumuh di mana di dalamnya terdapat 96 sumur yang dicor semen dengan lebar masing-masing satu meter persegi. Di sinilah, 60 tahun yang lalu, dokter-dokter Jepang menginfeksi tikus-tikus kuning dengan hama dan mencemplungkannya ke dalam drum-drum oli yang dipenuhi serangga. Para kuli kemudian memuat serangga-serangga beracun tersebut ke dalam tabung-tabung keramik yang dirancang untuk dapat menyemburkan isinya dari ketinggian seratus meter di atas Provinsi Hunan dan Zhejiang. Para jenderal Jepang berharap, dengan menyebarnya hama, maka panen gandum akan hancur sehingga tentara Cina akan kehabisan makanan.

Namun Unit 731 yang keji itu beraksi lebih dari sekadar hanya menyebarkan hama. Mereka juga melaksanakan percobaan-percobaan di mana ilmuwan Jepang melakukannya pada orang-orang sipil dan tawanan perang, sering kali membedah manusia hidup-hidup untuk diambil jantungnya. Setelah puluhan tahun menyangkal, Jepang mulai mengakui kejahatan-kejahatan yang dilakukan Unit 731 serta sejarah kekejaman yang mereka lakukan dan walhasil secara kontinu telah meracuni hubungan mereka dengan negara-negara tetangga selama enam puluh tahun.

Kengerian atas perbuatan Unit 731 terfokus tajam pada tanggal 27 Agustus. Pada hari itu, hakim Tokyo, Koji Iwata mengeluarkan sebuah keputusan penting atas sebuah kasus yang diperkarakan oleh 180 orang Cina korban hama 1940-41. Mereka menuntut ganti rugi masing-masing sebesar USD 84.000 bagi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh Unit 731. Pemerintah sejak dulu telah menolak bukti-bukti kejahatan itu. Namun hakim menegaskan bahwa, "Penggunaan senjata biologi adalah suatu bagian strategis rencana perang Jepang dan dilaksanakan atas perintah Angkatan Bersenjata Pusat." Unit 731 adalah jantung kekejaman ini: Iwata mengatakan, "tujuan utamanya adalah mempelajari, mengembangkan dan membuat senjata biologi." Ia tidak melanjutkan dengan masalah kompensasi, karena tidak ada peraturan internasional yang memungkinkan seseorang bisa menuntut kerusakan yang diakibatkan oleh perang.

Para korban tentu saja tidak setuju. Sekitar 300 orang Cina yang telah beruban memprotes keputusan tersebut di luar sebuah gedung pemerintah di Changde, di mana mereka membawa plakat bertuliskan, "lakukan kejahatan dan ganti rugi". Sementara itu, sebuah pergantian yang alot dan telah lama dinanti-nanti, akhirnya mulai timbul di Jepang. Setelah puluhan tahun menyangkal, orang awam Jepang mulai menunjukkan penyesalannya seperti terlihat di ruang sidang, kalaupun oleh pemerintahnya belum ditunjukkan. Di bulan April, sebuah persidangan daerah di Fukuoka memerintahkan Mitsui Mining Co, sebuah anak perusahaan salah satu konglomerat besar Jepang, untuk membayar USD 1,4 juta kepada 15 orang Cina yang menjalani kerja paksa di pertambangan perusahaan tersebut selama masa perang. (Jepang mengangkut sekitar 40.000 pekerja paksa Cina ke kepulauan mereka untuk dipekerjakan di pertambangan dan konstruksi). Di bulan Agustus 2001, sebuah pengadilan di Kyoto melimpahkan ganti rugi bagi 15 pekerja paksa Korea dan ditugaskan di sebuah kapal perang yang kemudian meledak dan tenggelam di tahun 1945. Kemudian tahun lalu, sebuah pengadilan di Tokyo menyuruh pemerintah membayar 170.000 dolar AS kepada putra mendiang Liu Lien-yen, seorang pekerja paksa dari Cina yang kemudian melarikan diri di bulan Juli 1945 dan menghabiskan waktu selama 13 tahun hidup di gunung sebelah utara Hokkaido, tanpa menyadari bahwa Hirohito telah bertekuk lutut.

Keputusan-keputusan pengadilan tadi adalah titik tolak yang sangat bertentangan bagi sebuah negara yang dipimpin oleh golongan konservatif yang lebih memilih menyangkal, mengubah ataupun mengubur masa lalu. Penganut-penganut garis keras di Tokyo masih menangkap tajuk-tajuk pemberitaan utama yang menyatakan, sebagaimana pimpinan pertahanan yang lalu Hosei Noroto pada tahun lalu, bahwa Jepang menyerang sebagian besar Asia hanyalah karena "mereka telah menjadi bulan-bulanan Amerika Serikat".**

PENERBIT buku-buku sekolah menengah yang pada beberapa tahun terakhir akhirnya menyebut pembunuhan atas 300.000 warga sipil di Nanjing sebagai suatu "pembantaian", baru-baru ini menyerah terhadap tekanan-tekanan dari sayap kanan dan mengubah sebagian besar edisinya, dengan menyebut peristiwa tersebut sebagai "kecelakaan". Politisi-politisi tua sering menekankan bahwa orang-orang sipil di negara-negara yang diduduki sebenarnya menyukai keberadaan Jepang, dan bahwasanya wanita-wanita yang dipaksa menjadi budak nafsu tentara-tentara imperial adalah wanita-wanita tuna susila secara sukarela--pernyataan-pernyataan yang memancing ejekan sebagaimana pemimpin-pemimpin Korea Utara menyebut Jepang sebagai "politisi kerdil yang gemar mengendap-endap".

Kekesalan yang diakibatkan oleh mecla-menclenya pernyataan orang-orang Jepang ini disebabkan oleh meningkatnya keingintahuan orang-orang awam Jepang akan apa yang terjadi dulu, walaupun pemerintah tidak menginginkan mereka tahu. Toko buku Kinokuniya di Tokyo menyediakan lusinan buku-buku mengenai kesalahan Jepang di masa perang; sedang beberapa tahun yang lalu buku-buku itu hanya tersedia sedikit saja. Tulisan-tulisan pengakuan dari para veteran (What We Did in China; Nanking Massacre and the Imperial Army; Comfort Women from the Eyes of a Korean Female), dipajang bersebelahan dengan buku-buku sejarah dan penyelidikan yang direvisi yang dengan tegas menyangkal bahwa semua kejahatan tersebut pernah terjadi (How the Nanking Massacre Was Concocted; Korean Colonization: No Reason to Apologize; The Nonexistence of Sexual Slavery). Pemungutan suara tahunan di kalangan mahasiswa sejarah Universitas Meiji Tokyo menunjukkan secara konsisten bahwa duapertiga bagian dari mereka percaya bahwa Jepang belum sepenuhnya mengganti kerugian akibat masa lalu mereka. Yang lainnya merasa bangga akan apa yang telah dilakukan negaranya untuk membayar kesalahan-kesalahan di masa lalu. Sebagai awalnya, pemerintah Jepang di tahun 1999 memberikan USD 414 juta bagi bantuan pembangunan di Cina--jauh lebih besar dari apa yang diterima oleh Cina dari negara lain. Dan di tahun 1995, Jepang membentuk Asian Women's Fund, sebuah badan dana semi privat untuk mengumpulkan dana bagi wanita-wanita budak nafsu pihak militer. Namun Mizuho Matsuda, pimpinan badan dana tetap tidak puas. "Jepang belum cukup menggantinya," keluhnya, "walaupun salah untuk menyebut Jepang tidak melakukan apa-apa."

Diungkitnya kembali kebengisan Unit 731 di pengadilan minggu lalu, mengingatkan Jepang berapa banyaknya hal yang harus disesalkan. Di bawah pimpinan Dr. Shiro Ishii, seorang ilmuwan Tokyo terkenal, para staf melaksanakan percobaan-percobaan yang di dalam dokumen disebut sebagai maruta, bahasa kamusnya 'batang kayu'. Sebenarnya batang kayu ini adalah manusia hidup, sebagian besar tentara Cina dan orang-orang sipil namun ada juga tentara Rusia, Inggris, dan Amerika yang tertangkap. Mereka dibekukan hidup-hidup untuk menyelidiki luka yang terjadi akibat dingin yang amat sangat. Dibakar hidup-hidup untuk menyelidiki proses pembaraan tubuh manusia. Dimasukkan ke dalam ruang hampa udara sehingga perutnya meledak. Digantung pada kaki untuk melihat berapa lama manusia dapat hidup terbalik. Diberi infeksi dengan hama, anthrax dan kolera serta dijadikan kelinci percobaan tanpa dibius. Selama 13 tahun eksperimen berlangsung, baru berhenti pada saat Jepang menyerah di tahun 1945. Antara 3.000 hingga 12.000 maruta tewas. Tidak ada yang selamat dari Unit 731.

Ayah Zhu Yunfen adalah salah seorang korban. Di tahun 1941 seorang prajurit berumur 25 tahun dari Provinsi Heilongjiang menghilang setelah tertangkap oleh Jepang. Seorang perwira Jepang menyampaikan kepada keluarga Zhu bahwa penjaga penjara telah menjadikannya makanan bagi anjing-anjing herder mereka hidup-hidup. Kedengarannya seperti masuk akal, namun karena kurangnya bukti-bukti, pihak keluarga menjadi ragu selama puluhan tahun. Tahun lalu, dari sebuah dokumen tua Jepang yang setengah terbakar, ditemukan di Changhun, Provinsi Jilin, terungkap bahwa ayah Zhu tertangkap pada saat menyerahkan info posisi tentara Jepang kepada perwira-perwira Rusia. Ia tewas di Unit 731. Pada usianya yang 62 tahun, Zhu kini agak merasa puas setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Permohonan maaf alakadarnya yang dinanti-nanti tak kunjung tiba. "Kita semua akan segera meninggal dan segalanya akan terlambat bagi kita untuk berangkat dalam kedamaian," ujarnya.

Salah satu alasan pemerintah membungkam ialah karena Partai Demokratis Liberal (LDP) yang memerintah secara kontinu sejak tahun 1955, dikuasai oleh kelompok-kelompok nasionalis seperti Persatuan Simbol Agung dengan jutaan pengikutnya yang mewakili 80.000 tempat suci Shinto Jepang. Organisasi konservatif yang sangat loyal ini, yang menolak ganti rugi bagi perbudakan seks dan korban-korban agresi Jepang lainnya, terus menerus menekankan bahwa Jepang berjuang di negara asing adalah demi membebaskan tetangga-tetangganya dari kolonialisasi Barat. Hampir setengah dari anggota LDP di parlemen Jepang secara rutin menghadiri acara-acara penting Persatuan Simbol Agung ataupun memperoleh sumbangan darinya, demikian Nofunao Tanaka, penulis dua buku penting yang mempunyai pengaruh garis kanan pada sebagian besar orang Jepang. Jeff Kingston, penulis sebuah buku yang akan beredar mengenai kesalahan Jepang di masa perang, juga seorang profesor sejarah di Universitas Temple Tokyo, membantah, "Memperkecil tanggung jawab Jepang akibat peperangan, bertujuan untuk menjaga keberadaan LDP di dewan konstitusi." Sikap untuk tidak mau meminta maaf telah menjadi "ujian berat bagi pimpinan-pimpinan LDP," tambahnya.

Bagi para pimpinan Cina sendiri, mereka tidak membuatnya mudah bagi orang-orang Jepang untuk meminta maaf. Menghidupkan kembali kenangan akan kebengisan di masa perang telah mendatangkan dukungan rakyat lebih banyak lagi bagi Partai Komunis, lebih daripada yang dapat mereka harapkan bila mereka berunding dengan Tokyo. Film-film propaganda yang memperlihatkan orang-orang Jepang yang jahat masih dimanfaatkan di saluran TV milik negara. Aneka pertunjukan yang disajikan bagi media resmi negara biasanya diselingi lagu-lagu masa perang, barisan pedang yang berdaun lebar, dengan openingnya yang terkenal: "Si golok lebar sedang memancung kepala setan-setan Jepang".**

AMERIKA memainkan perannya sendiri dalam melindungi kepentingannya di Unit 731. Baik direktur Ishii maupun dokter-dokter senior kamp lainnya, tidak ada yang digiring ke persidangan di Tokyo antara tahun 1946-48 di bawah pengawasan Amerika. Dalam salah satu saat-saat kegelapan sejarah pengobatan Amerika, para pejabat AS menawarkan pembebasan bagi pimpinan-pimpinan Unit 731 dengan imbalan hasil tes dan penyelidikan mereka. Banyak pejabat Unit 731 yang malah menjadi terkenal dan berhasil dalam industri obat-obatan Jepang.

Beberapa orang, walaupun begitu, telah mengakui kesalahannya. Pada hari sebelum keputusan pengadilan Tokyo dijatuhkan, seorang staf yang dulunya bertugas untuk menghidupkan bakteri bagi senjata biologi, Yoshio Shinozuka, mengunjungi lokasi unit, seperti yang selalu dilakukan oleh 10.000 orang Jepang setiap tahunnya. Pasukan Jepang yang ditarik mundur telah merusakkan seluruh bangunan kecuali gedung utama, yang kini telah menjadi tempat pameran kecil yang nyaman, di mana dipertunjukan apa yang pernah terjadi berikut benda-benda seperti pisau-pisau bedah dan tabung-tabung gas racun. Pengumpul seni Wang Peng berkata, bahwa Shinozuka sangat menyesal akan apa yang telah diperbuatnya dan ia telah menaruh karangan bunga bagi 86 korban yang dikenalnya. "Bila pemerintah Jepang dapat melakukan itu, maka rakyat Cina dapat memaafkannya," ujar Wang.

Ada cara-cara yang lebih praktis untuk menunjukkan penyesalan. Sebagai tambahan bagi senjata biologi, Jepang juga menimbun persenjataan kimia, sebagian besar gas mustard. Angkatan Bersenjata meninggalkan 2 juta bom kimia, yang banyak di antaranya ditimbun di sungai-sungai. Pemerintah Cina memperburuk masalah dengan cara mengubur bom-bom yang ditemukan. Jepang telah berjanji untuk membersihkannya, namun belum merinci cara menangani tabung-tabung yang telah berkarat. Sementara para petani Cina telah memperlihatkan kegunaan barang-barang bersejarah ini. "Saya berjumpa dengan seseorang yang menemukan senjata kimia menancap di depan pintu rumahnya," ujar Bu Ping, wakil pimpinan Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Heilojiang dan seorang ahli dari program senjata kimia Jepang di Cina. "Ia menggunakannya untuk penahan pintu." Sebuah gugatan telah diajukan oleh orang-orang Cina yang cedera disebabkan oleh senjata-senjata kimia yang terbuang puluhan tahun setelah perang usai; persidangannya diharapkan akan dilaksanakan di Tokyo tahun depan.

Kembali ke Hunan, di mana wabah disebarkan melalui serangga-serangga yang dijatuhkan dari udara, para petani masih menanti permohonan maaf, ganti rugi lain lagi. Hanya dengan begitulah, mereka bilang, mereka dapat melanjutkan kehidupan mereka. Sementara ini, mereka masih tetap mewariskan rasa amarah mereka kepada keturunan-keturunan mereka. "Kami mempunyai sebuah kebiasaan," tutur Huang, yang tertular hama dari pembungkus mayat rekannya. "Kami menakut-nakuti anak-anak nakal dengan peringatan, pesawat-pesawat Jepang datang!" (Danly H. W., dari reportase Matthew Forey dan Velisarious Kattoulas untuk Time)***



Sumber: Pikiran Rakyat, 24 November 2002



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...