Langsung ke konten utama

Kehidupan Politik di Kraton Kasunanan

Setelah tenggelam lebih setengah abad, terutama dalam kurun 30 tahun terakhir, kehidupan politik di Kraton Kasunanan Surakarta nampak mulai kembali berdetak. Zaman baru reformasi yang telah menyemaikan benih multi partai, ternyata mampu mengimbas pula masuk ke tembok kraton yang sebelumnya terkesan diam tak tersentuh perubahan.

Belakangan, kebekuan tersebut sedikit mencair. Kraton tak lagi terasa sangat buram. Warna-warni baru mulai terlihat mekar. 

Seperti sebuah simponi, apa yang kini sedang terjadi, barangkali, baru masuk pada babak interlude, belum sampai pada bagian akhir nada yang sesungguhnya. Meski demikian, yang kini terlantun sudah terdengar jauh berbeda, karena sebelumnya hanya tersedia sebuah irama pakem.

Era itu--berjoget dalam gendang orang--memang sudah berlalu. Para kerabat Kasunanan, sekarang bebas menentukan arah dan pilihan hidupnya sendiri, termasuk dalam beraktivitas politik praktis. 

Gejalanya, baru dimulai sekitar dua tahun lalu. Pada Pemilu 1997, Mas Dipo--sapaan akrab Gusti Pangeran Haryo (GPH) Dipokusumo, salah seorang Putera Sinuhun Pakoe Boewono (PB) XII--masuk dalam daftar caleg Golkar untuk Kodya Surakarta. 

Saat perhitungan perolehan suara, Mas Dipo yang duduk pada nomor peci, sempat hendak didrop karena pencantuman namanya semula hanya dimaksudkan sebagai votegetter. Setelah lewat beberapa kali rapat teras pengurus, akhirnya alumnus Fisip UGM jurusan Hubungan Internasional itu disepakati masuk dalam daftar jadi anggota legislatif.

Posisi barunya ini, diam-diam acap mendapat sinisme dari saudara-saudaranya yang lain, yang boleh jadi tak seaspirasi. Bagi Dipokusumo sendiri, statusnya tersebut tak jarang juga membebani, terutama saat dihadapkan pada peristiwa-peristiwa politik yang menyangkut keberadaan kraton.

Perang Simbol

Kasus Alun-alun Utara, adalah salah satu di antaranya. Persoalannya dipicu ketika sekitar awal 1997 pemda setempat mengecat kuning hampir seluruh pohon peneduh jalan dan fasilitas-fasilitas umum, termasuk pelataran depan Kraton Kasunanan itu.

Aksi tandingan mulai nampak muncul pada medio Maret. Alun-alun yang semula didominasi warna kuning, diubah putih oleh sekelompok massa. Hari berikutnya, pemda yang terusik kewibawaannya menguningkan kembali kawasan itu. Ganti mengganti warna berlangsung lama dan sengit ini. Belakangan kasusnya bergeser menjadi perseteruan antara pemda dengan parpol. Sejumlah tokoh vokal mulai pula terlibat. Himbauan Sinuhun PB XII sendiri nampak tak cukup berpengaruh untuk mengakhiri pertikaian tersebut. Kuningisasi versus putihisasi Alun-alun utara, sesungguhnya bukan sebatas perang warna. Melainkan merupakan aksi simbolik perlawanan masyarakat terhadap situasi politik yang dirasakan bertambah menekan.

Kini, sekat-sekat yang menghalangi demokrasi itu telah berhasil dijebol. Menyusul Dipokusumo, beberapa menantu dan anak PB XII pun mulai aktif terjun ke panggung politik riil. KRMH Satriyo Hadinegoro, misalnya, dipasang sebagai caleg PDIP pada nomor urut teratas untuk Kodya Surakarta. Bahkan GRAy Koes Moertiyah Wirabumi, masuk di urutan nomor 33 dalam daftar caleg pusat partai yang sama. 

"Ini belum. Saya yakin putera-puteri Sinuhun yang lain pun akan terpanggil aktif masuk parpol sesuai pilihannya," kata KRMH Wirabumi.

Menolak kekhawatiran banyak pihak ia berpendapat, keterlibatan para kerabat di beberapa partai politik tidak akan mengakibatkan kraton terpolarisasi. Sebab, tambahnya, "Sinuhun sebagai payung akan tetap netral di atas segala kepentingan serta tidak berpihak pada partai tertentu."

Dalam perspektif historis, kegiatan politik praktis modern di lingkungan Kasunanan sebenarnya sudah muncul pada masa kekuasaan PB X (1893-1939). Modern, karena tujuan politik kraton yang diwakili sejumlah pangeran dan bangsawan tinggi waktu itu dilatarbelakangi kehendak melawan hegemonisasi kekuasaan Gubernemen Belanda.

Pola Intrik

George D Larson dalam tesisnya Masa Menjelang Revolusi menulis, walau Sarekat Islam (SI) didirikan di salah satu kota kraton, Surakarta, para pakar umumnya tak sadar akan adanya kaitan munculnya partai politik pertama di Indonesia pada 1912 tersebut dengan istana. Malahan sebaliknya beberapa peneliti mengemukakan, salah satu faktor yang mendorong perkembangan pesat adalah keluhan rakyat terhadap kaum bangsawan serta kebiasaan kraton yang sudah usang.

Tetapi, menurut Larson, arsip di negeri Belanda menunjukkan lain. Antara SI dengan kraton benar terjalin sebuah kaitan, yang rupanya akan menjadi permulaan dari suatu keterlibatan istana Jawa dalam pergerakan kebangsaan.

Masalahnya, hubungan tersebut sulit dibuktikan secara konkret, sehingga menjadikan sejarah pendirian SI belum banyak berhasil disingkap lebih gamblang sampai sekarang. Salah satu penyebabnya, kebudayaan Jawa banyak mengajarkan sikap-sikap tak langsung untuk menghindari konflik. Ini, antara lain nampak dari kentalnya perilaku disimulasi atau berpura-pura, tidak satunya kata dengan perbuatan.

Ciri menonjol lain yang ditemukan dalam kultur masyarakat Vorstendlanden--untuk menyebut wilayah Surakarta dan Yogyakarta--adalah pola intrik. Berulang kali gerakan anti Belanda yang diilhami istana mengalami kegagalan. Tapi, biasanya itu kemudian diingkari oleh raja. Selain mencoba meminta maaf, ia berupaya mencuci tangan dengan menimpakan kesalahan kepada seorang yang dikambinghitamkan, sehingga jarang dapat ditemukan bukti langsung tentang kesalahan raja. 

Pendapat Suryaningrat secara tepat mampu memperjelas tentang sumber idealisme perlawanan tersebut. "Raja, tetap diakui, paling sedikit secara simbolis, menempati kedudukan sentral dari segala kewibawaan dan kekuasaan di Jawa. Meski mereka terbagi-bagi, daerah kerajaan ini adalah kenangan akan kemegahan masa lampau dan bekas kesatuan kerajaan Mataram. Dengan demikian mereka merupakan tempat tumpuan perasaan nasionalisme Jawa yang sedang timbul, tumpuan keinginan untuk menegakkan kembali kemerdekaan Jawa," ujarnya seperti yang dikutip George D Larson.

Potensi Subversif

Kurun itu, tokoh sentral di Kasunanan Surakarta adalah Sinuhun Pakoe Boewono X (1893-1939). Semula, dalam pandangan Belanda, ia dinilai sebagai seseorang yang elusif atau sukar dipercaya, lemah bahkan bodoh. Kesan GF van Wijk, Residen Surakarta, memperjelas sosok PB X. "Ia hanya belajar menulis huruf Jawa. Berhitung sama sekali tidak tahu. Saya menyadari ini untuk pertama kali ketika berkesempatan semobil dengannya, ia mau mengetahui berapa banyak tonggak yang dilaluinya dalam satu jam berkendaraan. Dan, ternyata tak ada yang dihitungnya dengan benar," kata van Wijk.

Pendapat tersebut ternyata keliru. PB X bukanlah idiot sebagaimana dibayangkan Belanda. Bahkan cenderung sebaliknya, jago dalam bermanuver politik.

Itu terjadi ketika raja melakukan unjuk kekuatan dengan mengadakan kunjungan bergelombang ke beberapa daerah. Kunjungan politis ini terbukti mampu menaikkan citra serta kewibawaannya sebagai raja Jawa di bekas daerah kekuasaan Mataram.

Kejutan kembali terjadi ketika Kraton Kasunanan mengizinkan KGPH Hangabehi, calon putera mahkota, terlibat politik praktis setelah terpilih menjadi Pelindung SI dalam kongres kedua parpol tersebut pada 23 Maret 1912 di Stadion Sriwedari.

Terkesan tak ingin mengambil risiko, van Wijk berusaha menghabisi hubungan mesra kraton - SI. Atas hasutannya, Hangabehi sempat dikirim ke Eropa. Pada sisi lain ia juga minta gubernur jenderal melarang PB X melanjutkan rencana kunjungannya ke luar wilayah Vorstenlanden.

Kesemuanya ini sebenarnya mengukuhkan sinyalemen LTh Schneider, Residen Surakarta sebelum van Wijk (1905-1908). Ia waktu itu sudah memperingatkan pemerintahnya agar tidak meremehkan potensi subversi dari Susuhunan PB X.

Selain itu, menurut dugaan George D Larson, van Wijk kemungkinan besar juga mengadakan tekanan berat terhadap raja untuk mengurangi keterlibatan kerabat Kasunanan dalam gerakan SI. Terbukti, sejak itu aksi SI yang sebelumnya acap radikal menjadi semakin melemah, sehingga akhirnya harus pindah ke ibukota Kejawen lainnya, Yogyakarta, pada sekitar tahun 1916. 

Kesemuanya ini sesungguhnya menunjukkan sebuah hal. Bahwa peran kraton Jawa dalam kegiatan politik sebenarnya tak dapat disepelekan. (Bram Setiadi)



Sumber: Suara Karya, 9 Juni 1999



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Arek-arek Soerobojo Hadang Sekutu

Mengungkap pertempuran bersejarah 10 Nopember 1945 sebagai mata rantai sejarah kemerdekaan Indonesia, pada hakekatnya peristiwa itu tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan titik klimaks dari rentetan insiden, peristiwa dan proses sejarah kebangkitan rakyat Jawa Timur untuk tetap melawan penjajah yang ingin mencoba mencengkeramkan kembali kukunya di wilayah Indonesia merdeka. Pertempuran 10 Nopember 1945--tidak saja merupakan sikap spontan rakyat Indonesia, khususnya Jawa Timur tetapi juga merupakan sikap tak mengenal menyerah untuk mempertahankan Ibu Pertiwi dari nafsu kolonialis, betapapun mereka memiliki kekuatan militer yang jauh lebih sempurna. Rentetan sejarah yang sudah mulai membakar suasana, sejak Proklamasi dikumandangkan oleh Proklamator Indonesia: Soekarno dan Hatta tgl 17 Agustus 1945. Rakyat Jawa Timur yang militan berusaha membangun daerahnya di bawah Gubernur I-nya: RMTA Soeryo. Pemboman Kota Hiroshima dan Nagasaki menjadikan bala tentara Jepang harus bertekuk lutut pada ...

Misteri Jangkar Raksasa Laksamana Cheng Ho: Kabut Sejarah di Perairan Cirebon

TINGGINYA menjulang sekitar 4,5 sampai 5 meter. Bentuknya sebagaimana jangkar sebuah kapal, terbuat dari besi baja yang padat dan kokoh. Bagian tengahnya lurus serta di bawahnya berupa busur dengan kedua ujung yang lancip. J ANGKAR kapal berukuran besar itu sampai kini diletakkan di ruangan sebelah utara dari balairung utama Vihara Dewi Welas Asih. Dengan berat yang mencapai lebih dari tiga ton, benda bersejarah itu disimpan dalam posisi berdiri dan disandarkan di tembok pembatas serambi utara dengan balairung utama yang menjadi pusat pemujaan terhadap Dewi Kwan Im, dewi kasih sayang.  Tempat peribadatan warga keturunan Tionghoa pemeluk agama Buddha ini terletak di areal kota tua di pesisir utara Kota Cirebon. Bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 2011 ini didirikan pada awal pertengahan abad ke-16, tepatnya tahun 1559 Masehi. Letaknya berada di pesisir pantai, persis bersebelahan dengan Pelabuhan Kota Cirebon. Kelenteng ini berada di antara gedung-gedung tua m...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...