Langsung ke konten utama

Grebeg Demak, Tradisi Peninggalan Wali

Demak, salah satu ibu kota kabupaten yang berada di Propinsi Jawa Tengah menurut sejarah merupakan pusat penyiaran agama Islam oleh Wali Sanga di tanah Jawa. Karena itu Demak mendapat predikat sebagai 'Kota Wali'. Salah satu bukti adalah masjid agung yang menghadap Alun-alun Simpang Lima. Masjid ini menyimpan banyak barang peninggalan para wali. Di kota ini terdapat pula makam seorang wali, Sunan Kalijaga, di Kadilangu, sekitar 2 km dari masjid agung.

Setiap bulan Dzulhijjah menjelang hari raya Idul Adha, Demak dibanjiri wisatawan ziarah. Dan, puncak kedatangan arus wisatawan terjadi pada perayaan tradisional berupa 'Grebeg Besar' yang diselenggarakan sejak tanggal 1 hingga 10 Dzulhijjah. Untuk tahun ini, Grebeg Besar dipusatkan di Dukuh Tembiring, Desa Jogoloyo, Kecamatan Wonosalam, dan dibuka oleh Bupati H Djoko Widji Suwito SIP, 19 Maret 1999 lalu.

Grebeg Besar berasal dari dua kata, yakni grebeg yang artinya datang beramai-ramai, dan besar karena perayaan tradisional itu berlangsung pada bulan Dzulhijjah atau bulan Besar menurut istilah kalender Jawa.

Menurut penelitian IAIN Walisongo, Semarang, pada tahun 1997/1998, perayaan ini pertama kali muncul pada 10 Dzulhijjah atau Besar tahun 1428 Saka, untuk memperingati genap 40 hari peresmian penyempurnaan arah kiblat masjid agung setelah diluruskan dengan ka'bah di Makkah. Yang memprakarsainya adalah Sunan Kalijaga dengan cara merentangkan tangannya ke arah ka'bah di Mekah dan Masjid Agung di Demak.

Sementara versi lain menyebutkan, perayaan Grebeg Besar saat itu dilaksanakan untuk memperingati pertama kalinya masjid agung tersebut digunakan sholat Idul Adha. Karena banyaknya pengunjung, maka para wali menggunakan tersebut untuk melakukan dakwah.

Dalam perjalanan sejarah, upaya tradisi ini tetap dilestarikan, bahkan dikembangkan dengan menambah beberapa acara lain, misalnya ziarah ke makam Sultan Fatah bersama kerabatnya di komplek Masjid Agung, serta tahlil dan ziarah ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu dengan puncak acara penjamasan atau pencucian pusaka baju kutang Ontokusumo, keris Kiai Crubuk, dan tombak Kiai Sirikan milik wali ternama tersebut. Berbagai acara ini dimaksudkan untuk mengenang jasa para sultan maupun wali penyebar agama Islam di tanah Jawa.

Untuk lebih menarik kunjungan wisatawan oleh Pemda Kabupaten Demak ditambah dengan berbagai macam acara. Misalnya tahun 1972 dimunculkan 'Tumpeng Sembilan' sebagai lambang Wali Sanga. Kemudian pada 1974 ditampilkan 'Prajurit Patangpuluhan' atau satuan prajurit berjumlah 40 orang.

Mengawali prosesi tanggal 1 Dzulhijjah dilakukan pembukaan grebeg oleh bupati. Kesempatan tersebut dijadikan ajang para pedagang makanan, mainan anak-anak, permainan dan hiburan hingga tercipta semacam pasar tiban atau pasar malam.

Puncak grebeg besar ditandai dengan iring-iringan Tumpeng Sembilan dari pendapa kabupaten menuju masjid Agung yang berjarak sekitar 500 meter dan dikawal para pejabat, alim ulama, dan para santri. Bertepatan pada malam hari raya Idul Adha. Sebelum Tumpeng Sembilan dibagi untuk selamatan, diadakan pengajian yang juga diikuti para peziarah.


Kepercayaan Tua

Mereka yakin, sesuap nasi dari Tumpeng Sembilan itu mempunyai tuah, misalnya untuk keselamatan rumah tangga dan tanaman pertanian. Karena itu, begitu Tumpeng Sembilan dibagi usai selamatan langsung diperebutkan ribuan pengunjung yang memadati Masjid Agung.

Keramaian bersambung esok harinya setelah sholat Idul Adha di Masjid Agung dan penyembelihan hewan qurban. Pada saat itu prajurit Patang Puluhan muncul dengan atribut lengkap dipimpin Lurah Tamtama diikuti barisan pejabat, alim ulama, dan santri. Prajurit ini mengawal minyak jamas dari pendapa Kabupaten Demak menuju makam Sunan Kalijaga.

Minyak jamas yang dikawal Prajurit Patangpuluhan dipergunakan untuk memandikan tiga buah pusaka peninggalan Sunan Kalijaga yang selama ini disimpan dalam kompleks makam tersebut. Jamasan dilakukan oleh sesepuh trah Sunan Kalijaga. 

Warga masyarakat dan wisatawan pun menanti kemunculan sesepuh yang menjamas pusaka itu. Tujuannya ingin berebut bersalaman, karena mereka meyakini ada tuahnya tersendiri. Namun untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, begitu sesepuh Kadilangu usai menjamas dan keluar dari tempat penjamasan yang berada di ruang khusus dan gelap, maka petugas sudah mengawalnya. Sehingga hanya unsur Muspida saja yang bisa bersalaman. Kendati demikian banyak wisatawan yang nekad berebut bersalaman.

Dengan selesainya penjamasan pusaka, berarti prosesi Grebeg Besar usai pula. Mulai itu para pedagang di arena grebeg satu per satu meninggalkan tempat.

Kabag Humas Pemda Demak Drs. Zainuddin menjelaskan, sebelumnya perayaan grebeg Besar berpusat di Alun-alun depan masjid agung, namun beberapa tahun belakang ini dipindahkan di Stadion Pancasila Demak, sebelum akhirnya dipindah lagi di Dukuh Tembiring, Desa Jogoloyo, Kecamatan Wonosalam itu. "Sudah dua tahun ini Grebeg Besar berlangsung di Tembiring," paparnya.

Pemindahan arena grebeg didasarkan atas beberapa pertimbangan. Antara lain Alun-alun tidak bisa lagi menampung peserta stand yang terus membeludak. Selain itu, hingar-bingar bunyi-bunyian bisa mengganggu keagungan dan kesucian masjid agung dan para pengunjung yang ingin melakukan ibadah. Perpindahan ini juga atas saran ulama setelah melakukan pertemuan dengan umaro tanggal 10 April 1997.

Untuk grebeg besar tahun 1999 ini, kapling yang disediakan buat para pedagang 503 buah, namun yang di luar kapling bisa mencapai ribuan pedagang dari berbagai jenis. Pemda Demak sudah menyiapkan tanah khusus untuk arena Grebeg Besar itu seluas 5 hektar, namun 2,5 hektar lainnya belum tertata.

Bupati Demak, H Djoko Widji Suwito SIP dalam sambutannya menjelaskan, puncak Grebeg Besar tahun 1999 ini terkesan sangat istimewa, karena bersamaan dengan peringatan hari jadi kota Demak yang ke-496, tanggal 28 Maret. Kendati berbagai kegiatan dilaksanakan lebih sederhana, namun tidak mengurangi arti dan makna dari dua peristiwa yang bersejarah itu. (Sukahar)

 

Sumber: Suara Karya, 30 Maret 1999



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...