Semua orang maklum jika hari ini, Senin (24/3) adalah hari paling bersejarah bagi warga kota Bandung. Sebab pada hari itulah tentara Republik membumihanguskan kota Bandung untuk mencegah invasi NICA, 51 tahun silam. Namun tak banyak yang tahu jika peristiwa heroik yang dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api (BLA) itu lahir dari "proses" jurnalistik.
Adalah wartawan perang Atje Bastaman yang menjadi saksi pembumihangusan kota Bandung pada 24 Maret 1946 dan mengabadikannya dalam berita utama di koran. Lazimnya wartawan peliput perang, tentu saja Atje terjun langsung ke lapangan.
Untuk mengumpulkan data valid dari peristiwa tersebut, ia tidak cuma masuk dalam barisan tentara Republik, tapi juga turut dalam arak-arakan warga kota Bandung yang mengungsi ke arah selatan. Praktis Atje menjiwai betul gelora pengorbanan dan heroisme mereka.
Alkisah selepas getting--istilah investigasi wartawan--Atje mulai menyusun berita. Saat itulah Atje tercenung. Ia nampak bingung. Keningnya berkerut-kerut. Judul apakah yang paling tepat untuk berita tersebut?
Sebagai wartawan sejati, Atje tentu tidak mau berita hebat yang penuh nilai heroisme ini tidak memiliki roh atau tidak membekaskan kesan apa pun di hati pembaca hanya gara-gara judulnya asal-asalan. Bukankah judul termasuk hal yang paling esensial dari sebuah berita?
Setelah lama merenung dan memutar otak, sesungging senyuman menyembul di bibir Atje. Ya, ia akhirnya menemukan istilah itu: "Bandung Lautan Api!" Tak lama kemudian, berita ini pun kelar. Atje seterusnya mengusulkan judul berita tersebut kepada Moh Kurdi, Pimpinan Redaksi koran Suara Merdeka yang bermarkas di Tasikmalaya (sesudah dipindahkan dari Bandung).
Singkat cerita--setelah terjadi tawar-menawar--Moh Kurdi menyetujui usul Atje. Maka terbitlah berita utama (head line) di koran Suara Merdeka dengan judul besar dan hurup tebal-tebal: "Bandung Lautan Api!"
Di luar dugaan, istilah tersebut langsung populer. Sejak itu, berita-berita yang berkaitan dengan pembumihangusan kota Bandung dalam rangka mencegah masuknya tentara NICA, selalu diistilahkan dengan sebutan Bandung Lautan Api.
Istilah itu pula yang mengilhami Ismail Marzuki menciptakan Halo Halo Bandung, mars yang lazim dikenal sebagai "lagu wajib" pengobar semangat. Bahkan untuk mengenang peristiwa heroik itu, di Alun-alun Tegallega Kodya Bandung didirikan Monumen Bandung Lautan Api (BLA).
Kendati begitu, cuma segelintir orang saja yang tahu jika istilah BLA "lahir" dari sebatang pena yang ditorehkan seorang kuli tinta. Maklum, jarang sekali buku-buku sejarah yang mengupas asal muasal istilah tersebut. Bahkan para pelaku sejarahnya pun konon tak banyak yang tahu ihwal kelahiran istilah itu.
Belanda Membonceng
Peristiwa BLA merupakan klimaks dari genderang perang yang ditabuh para pejuang di Bandung terhadap tentara Inggris Brigade Mac Donald Divisi 23. Tentara Mac Donald yang datang di Stasiun Kereta Api Kebon Kawung Bandung pada 12 Oktober 1945 ternyata diboncengi pasukan Belanda yang hendak mencengkramkan kembali kuku penjajahannya di Indonesia.
Keruan saja para pejuang di Bandung pun merapatkan barisan. Kecuali diawaki Tentara Rakyat Indonesia (TRI), para pejuang Republik juga diperkuat Barisan Benteng Republik Indonesia (BBRI), Barisan Berani Mati, Lasykar Rakyat, Beruang Merah, Sabilillah, dan lain-lain.
Kesatuan-kesatuan tersebut sudah makan asam garam selama Perang Dunia II, karena anggotanya terdiri atas para prajurit bekas gemblengan Jepang yang membelot, seperti Heiho, Peta, Seinendan, Keibondan, Kaigun, dan Juansa.
Kehebatan para prajurit Republik dibuktikan pada pertempuran 23 November 1945. Dengan gemilang, mereka berhasil merampas seluruh logistik berikut senjata NICA di Jl Garuda. Kemenangan itu makin lengkap setelah 19 tentara Inggris asal India menyeberang ke Republik, lengkap dengan senjata, amunisi, kendaraan dan alat komunikasi.
Praktis pasukan Inggris yang bermarkas di utara kota Bandung kewalahan. Apalagi para prajurit Republik menerapkan strategi perang yang jitu dalam mengepung musuh. Pasukan mortir Batalyon Beruang Merah pimpinan Abdullah Saleh, misalnya, secara konsisten mencecar musuh di selatan. Begitu pula pleton Batalyon Bandung Utara Pimpinan Sukanda-Bratamanggala yang berjibaku di bagian utara kota Bandung.
Namun perjuangan itu tak sepenuhnya mulus, karena dalam pertempuran ini setidaknya 80 tentara Republik gugur. Tapi kegigihan pejuang membuat Jenderal Mac Donald ketar ketir. Mac Donald akhirnya mengeluarkan ultimatum pada 29 November untuk membagi dua kota Bandung dengan batas rel KA yang membelah kota itu.
Namun Inggris diam-diam ternyata menggalang kekuatan dan pada 3 Desember 1945 mereka membombardir Gedung Sate. Pemuda PU pimpinan Didi Karmaga yang berjuang habis-habisan, gugur dalam pertempuran tersebut.
Tentara NICA juga menyerang Pasar Cicadas secara membabi buta, hingga tak kurang dari 335 rumah rata dengan tanah dan sekurangnya 16 pejuang gugur.
TRI Mundur
Mengganasnya tentara Inggris tidak membuat luntur semangat pejuang. Malah mereka makin meningkatkan kekuatan di berbagai penjuru, hingga pasukan musuh mati kutu. Namun dengan strategi busuknya, musuh meminta kepada pemerintah pusat supaya TRI dan pejuang lainnya di Bandung mundur sejauh 11 km dari kota.
Tentu saja para pejuang tak menerima ultimatum tersebut. Tapi mereka tetap harus menelan kekecewaan karena Perdana Menteri Syahrir malah menyetujui ultimatum itu. Syahrir yang mengutus Menteri Syafrudin Prawiranegara ke Bandung guna menyampaikan ultimatum tersebut, menganggap musuh lebih kuat ketimbang tentara Republik.
Ultimatum menyebutkan TRI harus mundur paling lambat 24 Maret pukul 24.00 WIB. Komandan Divisi III/TRI di Bandung Kol AH Nasution dan Komandemen TRI Jawa Barat Jenderal Didi Kartasasmita kemudian berangkat ke Bandung Utara untuk meminta Inggris menunda atau membatalkan batas ultimatum.
Perundingan gagal mencapai kata sepakat. Di tengah jalan sepulang berunding, Kol Nasution dan Kapten Sugiharto konon mendapati sejumlah batok kelapa kering. Di situlah muncul ide menjadikan batok kelapa kering sebagai bahan pembumihangusan kota Bandung.
Niat itu makin bulat setelah datang telegram dari Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta untuk mempertahankan setiap jengkal tanah. Pada awalnya, tentara Republik sempat bimbang. Sebab di satu pihak mereka mesti mematuhi pemerintah pusat, tapi di pihak lain MBT memerintahkan berjibaku melawan musuh.
Lewat perundingan yang alot, akhirnya tercapai kesepakatan: tentara dan rakyat mundur, tapi Bandung dibumihanguskan! Lantas keluarlah keputusan MP3 (Majelis Persatuan Perjuangan Priangan) berisi perintah bumi hangus.
Keputusan lainnya adalah perintah keluar kota bagi pegawai dan rakyat sebelum pukul 24.00 WIB, pemindahan pemerintah sipil ke luar kota, termasuk penyerangan musuh di utara dan pemindahan pos komando ke Kulelet, Dayeuhkolot.
Saat-saat paling mencekam itu pun tiba. Persis ketika senja datang, dari pusat kota tampak iring-iringan panjang penduduk dengan buntalan di punggung, menyemut menuju selatan. Tepat pukul 21.00 WIB, terdengar suara menggelegar dari sudut Alun-alun, disusul kemudian dentuman dahsyat bersahut-sahutan dari setiap penjuru kota.
Itulah pertanda dimulainya pembumihangusan kota Bandung. Dalam waktu singkat, kota ini pun sudah terpanggang api. Kobaran api terus merembet ke pinggiran kota dan melahap apa saja yang tersisa.
Dengan wajah puas, para tentara dan rakyat memandangi lautan api dari batas kota. Sorak sorai seketika menggema di angkasa. Tentu saja rakyat lebih rela membumihanguskan segenap miliknya, ketimbang menyerahkannya kepada musuh!
Apakah rencana bumi hangus itu berjalan mulus? Ternyata tidak. Peledakan dinamit pertama pukul 21.00 WIB yang menandai pembumihangusan kota Bandung rupanya lebih cepat dari rencana semula (pukul 24.00 WIB).
Praktis proses bumi hangus dan pengungsian penduduk tidak berlangsung secara teratur sebagaimana direncanakan. Konon, yang mengacaukan rencana itu adalah letusan senapan mesin pada pukul 21.00 itu.
Entah siapa yang memuntahkan peluru. Yang jelas, upaya bumihangus dalam rangka mencegah invasi NICA, berlangsung sukses. Dan kini, masyarakat Bandung dapat menapaktilasi heroisme itu tanpa khawatir dibombardir meriam musuh.
(Al Aziz)
Sumber: Suara Karya, 24 Maret 1997
Komentar
Posting Komentar