Langsung ke konten utama

Nasionalis

Kata Nasionalis terkadang dikonotasikan dengan faham yang kontra Pancasila. Karena kata ini pernah digelar bersama-sama dengan kata komunis dalam pemerintahan Orde Lama. Akibatnya, orang akan segera dibayangi dengan trauma peristiwa G.30.S/PKI, yang dinafasi dengan ajaran Nasakom--'Nasionalis - Agama - Komunis.' Pemikiran ini sebenarnya salah kaprah, karena hanya mengkaitkan kata tersebut dengan pengalaman sejarah. Tanpa berusaha melihat makna kata yang sesungguhnya secara mendasar.

Arti sesungguhnya dari kata Nasionalis tadi adalah mencintai Nusa dan Bangsa. Jadi, meskipun sekarang ini merupakan era Demokrasi Pancasila, kata Nasionalis bukan merupakan hal yang tabu untuk diucapkan. Karena, kehadiran individu bangsa Indonesia yang memiliki jiwa Nasionalis masih tetap diharapkan. Meskipun yang lebih diharapkan lagi, mereka yang Nasionalis sekaligus Pancasilais. 

Cinta kepada nusa dan bangsa menurut pandangan salah seorang aktivis pergerakan Kebangkitan Nasional 84 tahun yang lalu--'Dr. Soetomo', harus ditandai dengan pemahaman atas pentingnya memperbaiki nasib rakyat sebagai kewajiban utama. Di mana upaya ini minimal harus ditandai dengan perbuatan, syukur kalau diikuti dengan pengorbanan (Baca: "Kewajiban dan Gamelan" dalam "Bunga Rampai Karangan Soeharto").

Kalau pandangan ini ditelusuri lebih lanjut, akan menyadarkan kita bahwa pembangunan nasional yang sudah dan sedang dilaksanakan merupakan salah satu perwujudan untuk memperbaiki nasib rakyat. Karena, hasil dari pembangunan kelak memberikan manfaat ekonomis serta peningkatan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia.

Dalam pelaksanaan pembangunan itu pun, kita--'segenap rakyat Indonesia' telah berbuat bahkan juga berkorban. Tidak sekedar berbuat sebagai manusia pelaksana pembangunan, tetapi juga berkorban demi keberhasilan pembangunan itu sendiri. Misalnya, memenuhi berbagai harapan pemerintah untuk mengencangkan ikat pinggang, dalam usaha mengendalikan ekonomi individu, sehingga memberikan kontribusi bagi stabilitas ekonomi nasional.

Perbuatan dan Pengorbanan telah kita lakukan, bahkan sebagian dari manfaatnya telah kita rasakan. Itu berarti amanah salah seorang pejuang kebangkitan nasional telah kita junjung tinggi. Hanya saja perlu disadari, bahwa sasaran akhir cita-cita luhur perjuangan bangsa masih belum tercapai. Bahkan tahapan yang paling kritis kini menghadang di hadapan kita, yaitu usaha mempersiapkan kerangka landasan menjelang tahap tinggal landas dalam pelaksanaan Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun kedua pada Pelita VI mendatang.

Selain tantangan intern sebagaimana digambarkan di atas, sebagai bagian penduduk dunia, kita juga dihadapkan pada berbagai tantangan yang berhubungan dengan isu globalisasi sebagaimana diisyaratkan John Naisbitt & Patricia Aburdene dalam Megatrends - 2000. Di mana perkembangan teknologi dengan berbagai variasinya, mengakibatkan tingkat persaingan dalam berbagai aspek kehidupan semakin tajam.

Tantangan yang disebutkan terakhir, selain menuntut perbuatan dan pengorbanan generasi penerus yang cinta nusa dan bangsa, juga menuntut peningkatan profesionalisme dan kreativitas segenap lapisan masyarakat Indonesia. Sebab, dalam era globalisasi kekayaan sumber daya alami tidak cukup lagi untuk dijadikan andalan. Faktor the man behind the gun, harus diimbangi dengan usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Mampu mengolah kekayaan alam yang semula hanya diekspor dalam bentuk "mentah" dan "setengah jadi", menjadi produk ekspor yang telah "jadi"--"ready for use". Lebih dari itu, profesionalisme dan kreativitas diharapkan memungkinkan "eksportir" nasional untuk dapat tampil sebagai "marketer" atas sejumlah produk ekspor kita, sehingga produk ekspor kita mampu bersaing di pasar internasional. 

Dalam kondisi di atas, kata nasionalis--'mencintai nusa dan bangsa' merupakan modal dasar yang menentukan. Dengan semangat tersebut kita bangkitkan kesadaran masyarakat untuk meningkatkan kepedulian dalam usaha memperbaiki nasib rakyat melalui aktivitas pembangunan. Tidak hanya pasrah atas potensi sumber daya alam, tetapi berusaha melakukan hal-hal yang diharapkan di atas--'meningkatkan profesionalisme dan kreativitas' dalam mengolah sumber daya alam yang ada, sehingga menghasilkan nilai tambah bagi devisa negara.

Pemuda Soetomo--'seorang dokter' telah memotori gerakan kebangkitan nasional 84 tahun yang lalu. Kini, menjelang era Kebangkitan Nasional II, siapa yang selayaknya memotori gerakan tersebut??

Pada hakekatnya, upaya membangkitkan kepedulian ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Tetapi, sebagai Insan KORPRI, baik penulis maupun pembaca sekalian merupakan motor penggerak utama. Sebab, kita--'segenap insan KORPRI' dituntut untuk tampil sebagai tokoh atau figur panutan. Mampukah kita mewujudkannya?? Jawabannya antara lain terletak pada bagaimana kita memandang makna kata nasionalis. Kita harus menjunjung tinggi makna kata tersebut bukan, Semoga!!! (Kliwon Suyoto, Staf Humas Perumka Pusat Bandung.)



Sumber: KORPRI 188 - JUNI 1992



Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Perjuangan "Antara" di Jaman Kolonial Hindia Belanda

Oleh : Djamal Marsudi. Di dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, pers nasional merupakan senjata yang sangat ampuh dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu bersamaan dengan timbulnya kaum pergerakan, timbullah berbagai suratkabar harian dan majalah. Pada umumnya pers di kala itu bersifat perjuangan. Berkali-kali suratkabar-suratkabar Indonesia itu "dibredel" pemerintah Hindia Belanda. Wartawan-wartawannya diborgol dan masuk penjara tidak sedikit, tetapi perjuangan pers tetap berjalan. Pada tahun 1937 yang berarti menjelang pecah Perang Dunia II, atas usaha-usaha pemuda wartawan yang dinamis didirikan sebuah kantor berita Nasional bernama "Antara" di Jakarta oleh Pandu Kartawiguna, Mr. Soemanang, Albert Manumpak Sipahutar, Armyn Pane, Adam Malik dan lain-lain lagi. Pada bulan Mei 1940 negeri Belanda telah diserbu oleh Nazi Jerman, hanya lima hari saja negeri Belanda bisa dipertahankan. Oleh karena negeri Belanda diduduki Nazi Jerman, maka negeri jajahannya yang berna...

Ritual Nasional yang Lahir dari Perlawanan Surabaya

Oleh Wiratmo Soekito P ERLAWANAN organisasi-organisasi pemuda Indonesia di Surabaya selama 10 hari dalam permulaan bulan November 1945 dalam pertempuran melawan pasukan-pasukan Inggris yang dibantu dengan pesawat-pesawat udara dan kapal-kapal perang memang tidak dapat mengelakkan jatuhnya kurban yang cukup besar. Akan tetapi, hasil Perlawanan Surabaya itu bukannya  kekalahan, melainkan, kemenangan . Sebab, hasil Perlawanan Surabaya itulah yang telah menyadarkan Inggris untuk memaksa Belanda agar berunding dengan Indonesia sampai tercapainya Perjanjian Linggarjati (1947), yang kemudian dirusak oleh Belanda, sehingga timbullah perlawanan-perlawanan baru dalam Perang Kemerdekaan Pertama (1947-1948) dan Perang Kemerdekaan Kedua (1948-1949), meskipun tidak semonumental Perlawanan Surabaya. Gugurnya para pahlawan Indonesia dalam Perlawanan Surabaya memang merupakan kehilangan besar bagi Republik, yang ketika itu baru berumur 80 hari, tetapi sebagai martir, mereka telah melahirkan satu ri...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebat...