Oleh : Dr. H. Roeslan Abdulgani
LIMA PULUH tahun yang lalu, pada 28 Oktober 1928, pemuda-pemuda kita, yang masih diliputi oleh emosi-kekuasaan dan rasa kedaerahan, menyatakan niat dan tekadnya untuk bersatu di bawah naungan Sumpah: Satu Bangsa, Satu Tanah Air, dan Satu Bahasa. Hal itu dinyatakan oleh wakil-wakil organisasi pemuda: "Jong Java", "Jong Sumatera", "Sekar Rukun" (Pemuda Sunda), "Jong Celebes" (Sulawesi Muda), "Jong Islamieten Bond" (Pemuda Islam), "Pemuda Kaum Betawi", "Pemuda Indonesia", dan "Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia" di Gedung Kramat 106 di Jakarta. Pemuda-pemuda itu sedang mengadakan Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia yang ke-II.
Memang benar! Lahirnya Hari Sumpah Pemuda itu di Kota Jakarta. Namun benih-benihnya sudah lebih dulu ditaburkan di kota-kota lain. Malahan juga sudah dijalankan dalam praktek perjuangan. Siapa yang dengan cermat mengikuti kronologi sejarah Tanah Air kita sekitar tahun 1920-an dulu itu, tentu akan menjumpai fakta-fakta yang menunjukkan bahwa gagasan persatuan Tanah Air dan Bangsa sudah lama dipropagandakan oleh orang-orang tua kita, dan terutama oleh pemuda-pemuda dan mahasiswa-mahasiswa kita di kota-kota lain.
Mahasiswa kita, yang sedang belajar di negeri Belanda tahun 1923 sudah merobah nama organisasinya dari "Indische Vereeniging" menjadi "Perhimpunan Indonesia". Tujuannya ditegaskan sebagai mencapai "Indonesia Merdeka". Dasarnya ditentukan sebagai persatuan Indonesia, dijiwai oleh Nasionalisme dan Patriotisme. Pelopor-pelopor "Perhimpunan Indonesia" adalah Moh. Hatta, Ali Sastroamidjojo, Achmad Soebardjo, Arnold Mononutu, dan banyak lain-lain lagi. Semuanya masih berusia sekitar 25 tahun. Kebanyakan malahan di bawah 25 tahun.
Kalau kita menengok di Tanah Air sendiri, maka pemuda-pemuda kita di Bandung pada tahun 1925 mendirikan "Studi Klub Indonesia", yang kemudian pada tahun 1927 dirobah perkumpulan "Studieklub" itu menjadi suatu Pergerakan Rakyat, dengan nama "Partai Nasional Indonesia", atau PNI. Sayap pemudanya diberi nama "Pemuda Indonesia". Pelopor-pelopornya adalah pemuda-pemuda Soekarno, Iskaq Tjokroadisurio, Sunario, dan banyak lain-lain lagi. Kesemuanya berusia sekitar 25 tahunan! Dan seperti halnya dengan "Perhimpunan Indonesia" di negeri Belanda, organisasi yang dibangunkan oleh pemuda-pemuda di Kota Bandung itu bertujuan "Indonesia Merdeka". Dasar perjuangannya adalah persatuan Indonesia, dijiwai oleh Nasionalisme dan Patriotisme!
Fakta-fakta sejarah di atas menunjukkan bahwa lahirnya Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dulu itu tidak berdiri sendiri. Ia didahului oleh macam-macam kejadian. Ia terkait erat dengan situasi dan kondisi umum pada waktu itu.
Bagaimana situasi dan kondisi pada waktu itu?
Tahun 1925-an terkenal dengan politik tangan besinya Pemerintah kolonial Belanda. Tipu muslihat divide-et-impera digerakkan. Dimasukkan oleh Pemerintah kolonial Belanda jarum pemecah-belah yang sangat halus, tapi tajam sekali. Yaitu, bahwa kita itu sejak dulu kala tidak pernah merupakan suatu "Natie". Tidak pernah merupakan suatu kesatuan "Nation", atau "Bangsa". Kita adalah sekadar "volksstammen"; kumpulan suku-suku, yang satu sama lain selalu perang. Bangsa Belanda lah yang menghentikan "kebiasaan perang antar suku" itu. Bangsa Belanda lah yang membawa peradaban dan perdamaian. Yaitu Pax Neerlandica!
Di samping itu, feodalisme pribadi kita yang mengalami degenerasi dan dekadensi itu disanjung-sanjung oleh kolonial Belanda. Kedudukan mereka diperkuat oleh Tentara dan Polisi kolonial, untuk dihadapkan kepada bangkitnya nasionalisme dan patriotisme pemuda-pemuda kita. Adapun Pergerakan Nasional kita sendiri pada sekitar tahun 1925-an dihalang-halangi. Para pemimpinnya banyak yang ditangkap dan dibuang.
Justru dalam saat-saat demikian itulah, pemuda-pemuda kita yang saya sebut di atas, baik yang di negeri Belanda maupun yang di Tanah Air, tidak tinggal diam. Mereka melawan dengan gigih sekali politik devide-et-impera itu. Mereka menghadapinya dengan propaganda persatuan nasional. Mereka mengobar-ngobarkan jiwa Nasionalisme dan Patriotisme. Cinta kepada rakyat sendiri. Dan Cinta kepada Tanah Air sendiri.
Namun tidak sedikit korban di antara mereka itu. Pada tahun 1927, Dr. Tjiptomangunkusumo, yang menjiwai perjuangannya pemuda Soekarno cs, ditangkap dan dibuang ke Banda Neira. Sesaat sebelum diberangkatkan ke tempat pembuangan, Dr. Tjiptomangunkusumo masih sempat menulis surat terbuka kepada pemuda-pemuda kita itu. Surat itu tertanggal 10 Desember 1927, dan a.l. berbunyi:
"Putusan telah jatuh. Aku dibuang ke Banda. Aku minta padamu, janganlah difikirkan lebih jauh nasib diriku ini. Hari kemudian dari Tanah Air kita dan Rakyat kita adalah terletak dalam hari sekarang. Hari sekarang ini adalah kamu. Karenanya, ta' boleh kamu melupakan ikhtiar, walau bagaimanapun juga kecilnya, untuk membikin indahnya hari kemudian itu seindah-indahnya. Serahkanlah segenap jiwa-ragamu kepada ikhtiar menyelamatkan hari kemudian anak cucu kita itu. Agar supaya keturunanmu ta' akan dapat mengatakan, bahwa hidupmu ialah hidup yang sia-sia belaka."
Demikianlah seruan yang ditinggalkan oleh Dr. Tjiptomangunkusumo kepada para pemuda kita, sesaat sebelum beliau dibuang ke Banda. Suatu seruan yang penuh dengan keteguhan hati, dan kepercayaan pada hari depan. Isi surat selengkapnya masih dapat diperiksa dalam berbagai arsip tentang Sejarah Pergerakan Nasional kita, baik di berbagai museum di Jakarta, maupun di negeri Belanda.
Hampir bersamaan dengan penangkapan terhadap Dr. Tjiptomangunkusumo di Bandung itu, maka para mahasiswa kita yang sedang belajar di negeri Belanda juga ditangkapi. Mereka diseret di muka hakim di Den Haag. Tapi mereka tidak gentar sedikit pun. Dengan semangat yang menyala-nyala dan dengan keteguhan hati yang ikhlas, mereka membela diri. Dengarkan apa yang dikemukakan oleh pemuda Hatta di muka Pengadilan Belanda itu pada 9 Maret 1928. Beliau antara lain berkata:
"Memang kita berjuang untuk Indonesia Merdeka. Kita lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan, daripada terus sampai kiamat menjadi jajahannya bangsa lain. Tuan-tuan Hakim yang terhormat! Apabila saya bersama-sama dengan kawan-kawan saya siap untuk mendengarkan keputusan tuan-tuan mengenai pergerakan kemerdekaan kita itu, maka saya teringat kepada kata-kata syairnya pujangga Rene De Clercq, yang telah dijadikan pedoman bagi keseluruhan INDONESIA MUDA, dan yang berbunyi : Hanya satu Tanah, yang dapat disebut Tanah Airku. Ia maju karena perbuatan, dan perbuatan itu ialah perbuatanku!"
Demikianlah isi hati pemuda Bung Hatta cs pada waktu itu, yang menyala-nyala dengan jiwa perjuangan dan pengorbanan, disumberi oleh semangat Nasionalisme dan Patriotisme.
Coba perhatikan! Kejadian-kejadian di atas semua terjadi sebelum tanggal 28 Oktober 1928. Jadi jelas sekali, bahwa semua itu mendahului lahirnya Hari Sumpah Pemuda. Dengan lain perkataan, maka seruan-seruan itu rupanya masuk ke dalam barisan pemuda-pemuda kita, yang pada waktu itu masih ada yang terkena emosi kesukuan dan rasa kedaerahan. Buktinya ialah, bahwa mereka-mereka itu, baik yang dari "Jong Java", "Jong Sumatera", "Jong Celebes", "Sekar Rukun", "Pemuda Kaum Betawi", "Jong Islamieten Bond", dan lain-lain lagi lekas-lekas, yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928, menyatakan Sumpah Pemuda, yang isinya persatuan Tanah Air, persatuan Bangsa dan persatuan Bahasa.
Dan dua tahun kemudian, pada 31 Desember 1930 tengah malam memasuki tanggal 1 Januari 1931, organisasi pemuda-pemuda kedaerahan dan kesukuan itu bersama-sama di Kota Surakarta meleburkan diri dalam organisasi: "Indonesia Muda". Organisasi "Indonesia Muda"itu adalah penjelmaan dari Sumpah Pemuda itu.
Lahirnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 dan berdirinya "Indonesia Muda" pada tahun 1930/1931, disertai pula dengan penangkapan-penangkapan Bung Karno cs dan pemimpin-pemimpin lainnya di Bandung dan di seluruh Indonesia oleh Pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Dari fakta-fakta sejarah di atas, jelaslah bahwa Sumpah Pemuda adalah suatu bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan rakyat melawan kolonialisme. Karena itu jiwa Sumpah Pemuda adalah anti-feodalisme dan pro-persatuan Nasional. Ia pun adalah pengemban Amanat Penderitaan Rakyat. Karenanya ia juga berjiwa kerakyatan dan keadilan sosial. Kesemuanya itu tidak boleh kita lupakan, apabila kita hari ini bersama-sama memperingati Hari Sumpah Pemuda setengah abad usianya.
Masalahnya sekarang ialah: Apakah jiwa itu semua masih relevan dan masih perlu untuk masa sekarang? Jawabnya ialah jelas: Masih relevan dan masih perlu!
Sebabnya, sekalipun situasi dan kondisi kita sekarang ini jauh berbeda dari 50 tahun yang lalu, namun kita tidak boleh lupa, bahwa Negara Republik Indonesia yang kita miliki bersama sekarang ini, adalah berdasarkan Pancasila. Dan Pancasila adalah pengejawantahan Persatuan Nasional yang berjiwa anti-kolonial, yang berkerakyatan, yang berkeadilan sosial, dan yang religius.
Nasionalisme dan patriotisme demikian itu masih relevan dan masih perlu dalam menanggulangi berbagai persoalan politik, sosial, dan ekonomi dewasa ini. Di tengah-tengah berbagai kemajuan selama ini, kita tidak boleh membuta-tulis terhadap berbagai situasi dan kondisi umum, yang sedang meliputi Negara dan Rakyat kita. Gejala-gejala neo-kolonialisme di bidang finek, munculnya neo-feodalisme di bidang kehidupan sosial-budaya, menjalarnya dekadensi dan degenerasi mental di sementara kalangan elite dan birokrasi kita; kesemuanya itu perlu kita perhatikan dan prihatinkan bersama.
Sebab itu semua dapat meretakkan kesatuan dan persatuan Bangsa dan Tanah Air kita. Juga memperlemah ketahanan Nasional kita. Lebih-lebih lagi di tengah-tengah tarikan dan desakan ideologi-ideologi dan kepentingan-kepentingan negara-negara besar yang sedang mengelilingi Negara dan Tanah Air kita.
Hanya dengan Apinya Sumpah Pemuda yang murni sesuai dengan sejarahnya kita dapat mengatasi itu semua. Karenanya, biarkanlah pemuda-pemuda kita sendiri dengan bebas, dan dengan rasa dharma baktinya dan rasa tanggung jawabnya sendiri menyalakan terus Api Sumpah Pemuda itu.--
Sumber: KORPRI 188, Juni 1992
Komentar
Posting Komentar