Langsung ke konten utama

Ritual Nasional yang Lahir dari Perlawanan Surabaya

Oleh Wiratmo Soekito

PERLAWANAN organisasi-organisasi pemuda Indonesia di Surabaya selama 10 hari dalam permulaan bulan November 1945 dalam pertempuran melawan pasukan-pasukan Inggris yang dibantu dengan pesawat-pesawat udara dan kapal-kapal perang memang tidak dapat mengelakkan jatuhnya kurban yang cukup besar. Akan tetapi, hasil Perlawanan Surabaya itu bukannya kekalahan, melainkan, kemenangan. Sebab, hasil Perlawanan Surabaya itulah yang telah menyadarkan Inggris untuk memaksa Belanda agar berunding dengan Indonesia sampai tercapainya Perjanjian Linggarjati (1947), yang kemudian dirusak oleh Belanda, sehingga timbullah perlawanan-perlawanan baru dalam Perang Kemerdekaan Pertama (1947-1948) dan Perang Kemerdekaan Kedua (1948-1949), meskipun tidak semonumental Perlawanan Surabaya.

Gugurnya para pahlawan Indonesia dalam Perlawanan Surabaya memang merupakan kehilangan besar bagi Republik, yang ketika itu baru berumur 80 hari, tetapi sebagai martir, mereka telah melahirkan satu ritual nasional. Barangkali yang paling merasa kehilangan dengan gugurnya para pahlawan dalam Perlawanan Surabaya itu adalah orang-orang terdekat seperti misalnya kekasih, sanak-saudara, teman-teman seperjuangan, yang ketika itu tinggal di Surabaya dan sekitarnya. Akan tetapi, tidak hanya mereka saja, melainkan seluruh bangsa Indonesia yang sedang mengangkat senjata membela Proklamasi 17 Agustus maupun yang baru akan mengangkat senjata setelah diilhami oleh kepahlawanan Perlawanan Surabaya. Perlu diketahui bahwa ketika itu Perlawanan Surabaya tidak merupakan satu-satunya perlawanan di tanah air kita, karena di seluruh pelosok tanah air, di mana terdapat sisa pasukan Jepang yang disuruh oleh Inggris (dan Belanda) untuk merebut kembali kota-kota yang telah dikuasai oleh Republik atau bahkan di mana sudah terdapat pasukan Inggris yang ingin mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Hanya saja Perlawanan Surabaya adalah perlawanan yang paling dramatis di antara perlawanan-perlawanan lainnya di seluruh tanah air. Sebab, yang dihadapi oleh para pejuang bukan lagi tentara Jepang, yang harus menyerahkan Indonesia kepada Sekutu sebagai konsekuensi logis dari kapitulasinya dalam Perang Dunia Kedua pada 14 Agustus (1945), melainkan tentara Inggris sendiri lengkap dengan kekuatan-kekuatan militernya di darat, laut, dan udara. Perangnya pun belum merupakan perang gerilya, melainkan masih merupakan perang konvensional. Perang gerilya baru dimulai dalam periode post Linggarjati, setelah tentara Belanda menggantikan tentara Inggris. Jadi, dapatlah kita bayangkan betapa hebatnya Perlawanan Surabaya itu yang karena tidak seimbang sama sekali perlengkapan senjatanya, dapat diumpamakan sebagai pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh tentara Inggris. Dan mungkin kepahlawanan seperti yang dipertunjukkan oleh Perlawanan Surabaya itu belum pernah ada contohnya dalam sejarah Indonesia sendiri sejak dunia terbentang. Itulah sebabnya para pahlawan yang gugur dalam Perlawanan Surabaya itu pantas disebut kaum martir, yang barangkali lebih berat lagi daripada kaum martir yang berguguran dalam Revolusi Rusia 1905, yang telah mengilhami terciptanya lagu Le Chant des Martyrs (Nyanyian Kaum Martir) seperti di bawah ini (dalam versi Perancis):

Vous êtes tombés pour tous ceux qui ont faim,
Tous ceux qu’on méprise et opprime,
De votre pitié pour vos frères humains,
Martyrs et victims sublimes.
REFRAIN
Mais l’heure a sonné et le people vainqueur
S’étire, respire, prospère.
Adieu, camarades, adieu, nobles coeurs,
Adieu, les plus nobles des frères.

Dalam versi Indonesia kira-kira adalah sebagai berikut:

Engkau yang gugur bagi segenap mereka yang lapar,
Bagi segenap mereka yang terhina dan tertindas,
Dari belas-kasihanmu bagi saudara-saudaramu manusia, 
Para martir dan kurban mulia raya.
ULANGAN
Tapi lonceng telah berbunyi dan rakyatpun jaya
Menggeliat, hidup kembali, meraih untung.
Selamat jalan, kawan-kawan,
selamat jalan, para hati mulia,
Selamat jalan, orang-orang yang lebih mulia di antara saudara.

Lagu di atas, yang hingga kini saya masih hafal, mungkin tak dikenal dalam Perlawanan Surabaya, tetapi menurut hemat saya, Revolusi Rusia 1905, yang telah mengilhami terciptanya lagu tersebut, masih kalah hebat bila dibandingkan dengan Perlawanan Surabaya 1945. Betapa tidak? Revolusi Rusia 1905 adalah sebuah revolusi yang gagal, sehingga Lenin harus mengasingkan diri ke Swiss dan Trotsky ke Amerika Serikat, sedang Perlawanan Surabaya telah berhasil memaksa Belanda, melalui tekanan Inggris, untuk meninggalkan sikap tak kenal kompromi dan mengambil sikap bersedia berunding. Ini disebabkan oleh keinsafan Inggris bahwa Perlawanan Surabaya didukung oleh massa rakyat Indonesia. Bahkan, lebih hebat Proklamasi 17 Agustus sendiri. Mengapa?

Ketika Soekarno-Hatta mengumumkan Proklamasi 17 Agustus, baru sebagian rakyat yang tahu, meskipun peristiwa tersebut telah merupakan suatu ritual nasional juga. Baru sesudah M. Jusuf Ronodipuro, sebagai penyiar radio Hoso Kyoku Jakarta (tatkala itu Radio Republik Indonesia belum ada), dengan segala akal dan tipu daya, berhasil menyiarkan naskah Proklamasi tersebut, barulah rakyat mengetahuinya. Akan tetapi, heroisme Sukarno-Hatta tidak lekas terasah, melainkan Perlawanan Surabaya yang telah menentukan masa depan Republik. Sesungguhnya tidak dapat kita bayangkan bagaimana masa depan Republik, yang dibentuk keesokan harinya setelah Proklamasi 17 Agustus, apabila tidak pernah terjadi Perlawanan Surabaya.

Secara dialektis, Inggris lah sebenarnya yang telah menciptakan Perlawanan Surabaya itu, karena keliru dalam analisa. Inggris pasti tidak mengira bahwa ultimatumnya, yang menghina para pejuang, akan ditolak. Padahal, Inggris terkenal pintar dalam politik. Oleh karena dalam analisanya itu tidak pernah menghitung kemungkinan ultimatumnya ditolak, Inggris mengalami kejutan (shock) ketika melihat Perlawanan Surabaya terjadi hic et nunc (di sini dan sekarang) pada awal bulan November 1945 itu. Suatu peristiwa besar dalam sejarah, seperti halnya dengan Perlawanan Surabaya itu, memang tidak dapat didikte oleh siapa pun. Peristiwa besar dalam sejarah itu seolah-olah, bahkan mungkin tidak seolah-olah, merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Inggris sendiri, ketika menghadapi serangan-serangan angkatan udara Jerman dalam Perang Dunia Kedua, sudah pernah kehilangan semangat keberanian untuk melakukan perlawanan, sedang Paris sudah jatuh ke tangan musuh. Baru setelah Laurence Olivier, dengan filmnya Henry V ciptaan Shakespeare, berhasil menciptakan satu ritual nasional, kembalilah semangat keberanian Inggris untuk melanjutkan perang. Inggris ketika itu beruntung memiliki Shakespeare dan Olivier. Akan tetapi, Indonesia tidak memiliki seorang Shakespeare dan tidak memiliki pula seorang Olivier seperti yang telah dimiliki oleh Inggris. Walaupun begitu, Indonesia telah berhasil melahirkan semangat keberanian untuk menolak ultimatum Inggris seperti yang dibuktikan dengan tindakan nyata dalam Perlawanan Surabaya. Apalagi kalau Indonesia memiliki seorang Shakespeare dan seorang Olivier yang memang belum dimilikinya. Dari kepahlawanan Perlawanan Surabaya itu yang perlu kita petik hikmahnya ialah bahwa kepahlawanan tersebut telah melahirkan satu ritual nasional.

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak sanggup hidup menyendiri, karenanya mau tidak mau, ia harus membentuk sebuah suku, sebuah klan, sebuah bangsa. Sebagai bagiannya, ia sungguh bergantung secara mendalam kepada pengalaman-pengalaman kolektif sukunya, klannya, atau bangsanya. Pengalaman-pengalaman kolektif ini melahirkan suatu identitas yang terdiri dari kebiasaan bersama, kepercayaan bersama, konsep bersama, juga bahasa bersama, mitos bersama, hukum bersama, aturan-aturan tingkah-laku bersama. Akan tetapi, yang paling penting daripada kesemuanya itu, ialah, bahwa suku, klan, atau bangsa yang bersangkutan itu harus dapat menghayati identitasnya. Sebagai salah satu alat untuk menghayati identitas tersebut adalah ritual dan, dengan sendirinya, ritual nasional diperlukan untuk menghayati identitas nasional. Dan setiap ritual bersifat dramatis, serupa dengan suatu peristiwa teater yang menyatukan para aktor, sutradara, dan penulis naskah drama dengan publik mereka. Bila Perlawanan Surabaya analog dengan peristiwa besar di atas pentas, rakyat Indonesia analog dengan publik pentas tersebut yang dalam kehadiran mereka mengadakan suatu ritual. Oleh sebab ritual diperlukan untuk menghayati identitas sosial maka ritual nasional diperlukan untuk menghayati identitas nasional. 

Dari sini pulalah dapat kita lihat bahwa Perlawanan Surabaya memiliki nilai budaya yang besar, karena membuat bangsa Indonesia lebih bersatu dan lebih mendalami identitas dirinya.***



Sumber: Suara Karya, 10 November 1986



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

Korban Westerling Tolak Permintaan Maaf Belanda

JAKARTA, (PR),- Hubungan diplomatik Indonesia-Belanda dinilai ilegal. Soalnya, baik secara internasional maupun nasional, tidak ada dasar hukumnya. "Coba, apa landasan hukum hubungan Indonesia-Belanda. Ini perlu dipertanyakan dan dikaji oleh pakar hukum tata negara," kata sejarawan Anhar Gonggong dalam diskusi bertajuk "Permintaan Maaf Belanda atas Kasus Westerling" bersama anggota Dewan Perwakilan Daerah Abdul Aziz Kahhar Mudzakkar dan Ketua Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/2013). Sampai saat ini, kata Anhar, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan hanya mengakui Indonesia merdeka tanggal 27 Desember 1949. Begitu pula dengan Indonesia yang bersikukuh bahwa kemerdekaannya diproklamasikan 17 Agustus 1945. "Artinya, Belanda memang tak pernah ikhlas terhadap Indonesia. Karena sejak Indonesia merdeka, Belanda kehilangan lumbung ekonomi dan politik," tambah guru besar se...

Berburu Keberuntungan di Trowulan

T anpa terasa sudah hampir dua pekan hari-hari puasa terlewatkan. Dan sudah hampir dua pekan pula Trowulan dikunjungi banyak tamu. Memang, di setiap bulan Ramadhan, Trowulan--sebuah kecamatan di kabupaten Mojokerto--sekitar 50 km barat laut Surabaya, selalu dikunjungi banyak pendatang. Apa yang bisa dilakukan pengunjung di Trowulan di setiap Ramadhan? Menurut banyak orang yang pernah mengunjungi Trowulan, banyak yang bisa dipelajari dan diperhatikan secara saksama di kota bersejarah itu. Trowulan adalah bekas kota kejayaan Kerajaan Majapahit. Di kota itu hingga kini masih banyak peninggalan bekas kejayaan kerajaan Majapahit, salah satu di antaranya adalah Kolam Segaran. "Selain itu, juga ada situs kepurbakalaan kerajaan Majapahit. Ada Candi Tikus, Candi Brahu, makam Ratu Kencana, makam Putri Campa, dan yang paling banyak dikunjungi pendatang adalah makam Sunan Ngundung," ujar Suhu Ong S Wijaya, paranormal muslim yang tiap Ramadhan menyempatkan berziarah ke makam-makam penyeba...

Perjuangan Pelajar Sekolah Guru

Oleh Maman Sumantri TIDAK lama sesudah tersirat secara luas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, berkobarlah semangat juang para pemuda, pelajar, mahasiswa, dan warga masyarakat lainnya di seluruh Indonesia. Mereka serempak bangkit berjuang bahu-membahu secara berkelompok dalam badan-badan perjuangan atau kelasykaran, dengan tekad mengisi dan menegakkan proklamasi kemerdekaan. Kelompok badan perjuangan atau kelasykaran yang turut dalam perjuangan menegakkan proklamasi kemerdekaan pada awal revolusi kemerdekaan di Kota Bandung dan sekitarnya, di antaranya Pemuda Republik Indonesia, Hizbullah, Barisan Merah Putih, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), Barisan Berani Mati, Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Indonesia Maluku, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Lasykar Rakyat, Pasukan Istimewa, (PI), Lasykar Wanita Indonesia (Laswi), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR)....

Museum Sumpah Pemuda yang Bagai Terlupakan

S atu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa merupakan tiga pokok substansial yang dapat mempersatukan keberagaman etnis, bahasa, dan budaya ke dalam satu wadah yang bernama Indonesia. Mengingat demikian pentingnya peristiwa tersebut bagi upaya pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia, maka secara nasional setiap tanggal 28 bulan Oktober selalu dikenang sebagai Hari Sumpah Pemuda. Satu hal yang barangkali agak terlupakan oleh kita, ketika memperingati hari bersejarah ini, adalah sebuah museum yang bernama Museum Sumpah Pemuda dan terletak di Jl Kramat Raya No 106 Jakarta Pusat. Di museum inilah, ikrar itu diucapkan. Di gedung ini pulalah, Wage Rudolf Supratman menggesekkan biolanya, melantunkan lagu Indonesia Raya untuk yang pertama kalinya pada 28 Oktober 1928. Segala proses yang menyangkut lahirnya ikrar Sumpah Pemuda 66 tahun silam, tertata secara apik lewat sajian foto dan patung di museum yang tidak begitu luas ruangannya ini. Sarana Pembinaan Berbeda dengan museum-museum lainny...