Langsung ke konten utama

Sumarsono dan "Bandung Lautan Api"

"Hanya satu yang saya jadikan pegangan, berjuang mengamankan proklamasi tanpa kompromi!" Inilah yang mendasari semangat juang pemuda Sumarsono untuk ikut serta mempertahankan kota Bandung agar tidak dikuasai Sekutu. Maka ia pun, yang waktu itu baru berusia 23 tahun, sebagai Komandan Batalyon II/Resimen 8/Divisi II Siliwangi bersama anak buahnya membumihanguskan kota Bandung. Pembumihangusan itu terjadi pada tanggal 24 Maret 1946, yang dicatat dalam sejarah kita sebagai peristiwa Bandung Lautan Api.

Sumarsono yang waktu itu berpangkat mayor dikenal oleh pihak Sekutu sebagai penjahat perang yang paling berbahaya. Maka dari itu, Sekutu berusaha mati-matian untuk bisa menangkap Sumarsono. Antara lain, Sekutu menjanjikan hadiah 1.000 dollar Singapura bagi siapa saja yang bisa menangkap Sumarsono. "Ya, waktu itu saya disayembarakan melalui radio British Broadcast di Singapura," kenang Sumarsono, nadanya datar tetapi mantap. "Tetapi saya tidak takut. Saya justru makin agresif dan teman-teman berpesan agar saya hati-hati," sambungnya. "Ya ...!" akhirnya Sumarsono tertawa, matanya berbinar. Pembicaraannya tidak bernada datar lagi. Ia makin semangat. Seperti ada kekuatan yang menggugah masa silamnya yang bersejarah itu. Lalu, mengalirlah cerita seputar Bandung Lautan Api.

Karena Sang Waktu, tentu saja Sumarsono yang paling ditakuti Sekutu 41 tahun yang lalu, lain dengan Sumarsono yang sekarang telah berusia 65 tahun. Sumarsono 41 tahun yang lalu adalah pemuda yang gagah, garang, memanggul senjata dan memuntahkan peluru untuk menyikat musuh. Sekarang ia kalem dan kebapakan. "Dulu saya pantang kasihan dalam menghadapi musuh. Ya, kalau kita kasihan, emosional, bisa melemahkan perjuangan. Pokoknya dalam perang itu kita membunuh atau dibunuh!" kata Sumarsono.

Sebagai 'seekor singa' tentu ia banyak membunuh musuh. "Saya banyak melakukan dosa!" sambungnya sendu. Untuk membersihkan 'dosa-dosanya' itu kini ia selalu bangun tengah malam, bersembahyang untuk membersihkan jiwa dan minta ampun kepada Tuhan. Selain itu, untuk ketenteramannya, karena sampai sekarang ia masih dibayangi medan pertempuran yang pernah ditapakinya itu. Antara lain ia sering mendengar teriakan, jeritan, rintihan maupun terbayang akan tingkah-laku kawan atau musuh yang menjelang ajal.

"Benar-benar memilukan," ucap Sumarsono, penuh perasaan.

Kobaran api yang membakar kota Bandung, juga sulit dilupakannya. Sumarsono begitu fasihnya menuturkan rangkaian pembakaran kota Bandung. Awalnya dari sebuah info bahwa Sekutu akan membebaskan tawanan Belanda yang ada di Ciateul. Info itu diterima Sumarsono pada tanggal 6 Desember 1945. Tentu saja, sebagai Komandan Batalion II ia tidak membiarkan tindakan Sekutu itu. Maka ia pun lalu bergerak bersama Pasukan Hizbullah dan Sabillah pimpinan Husinsyah dan Batalyon III pimpinan Achmad Wiranatakusumah menghadang Sekutu yang akan membebaskan tawanan Belanda itu. Waktu itu Sekutu bersenjata lengkap dan dilindungi tank serta panser. Sampai di Cikawao dihancurkan oleh Sumarsono dkk. Sekutu yang kena hajar itu lalu kalap.

Sumarsono mengaku tidak tahu apa yang kemudian dilakukan Sekutu. Tahu-tahu, tanggal 24 Maret ada perintah dari atas agar semua kesatuan bersenjata RI meninggalkan Bandung dalam radius 11 km. "Waktu itu, timbul reaksi di kalangan pemuda. Umumnya tidak setuju kalau Bandung diserahkan begitu saja terhadap Sekutu. Tetapi kita 'kan harus disiplin, menaati perintah. Kita kan bukan pasukan liar. Tetapi meningalkan Bandung juga tidak mudah. Maka dari itu, sebelum kita tinggalkan Bandung kita bumi hanguskan dulu," kenang Sumarsono.

Gerakan membumihanguskan Bandung itu menurut Sumarsono terjadi pada pukul 20.00 WIB. Bandung pun diwarnai jilatan api dan dentuman dinamit. Langit Bandung memerah bara. "Pasukan saya mendapat tugas meratakan gedung-gedung vital, sarana air, listrik, jembatan, dan jalan-jalan. Pokoknya semua bergerak dengan intensif!" begitu cerita Marsono. Gerakan membumihangukan Bandung berlangsung dari pukul 20.00 sampai 03.00 dini hari. Semua pasukan menuju Cilampeni. Tiga hari kemudian Sumarsono dan anak buahnya masuk ke Bandung lagi untuk menteror musuh, hingga Bandung 'normal'.

Sumarsono berhasil menjadi 'singa' karena didukung anak buahnya yang 'singa-singa kecil' itu. Mereka itu antara lain Husen Wangsaatmadja (Komandan Kompi I), Poniman yang kini kita kenal sebagai Jenderal Poniman (Komandan Kompi II), Kompi III dipimpin oleh HR Dharsono, Udaka memimpin Kompi IV, T. Pelloupessy memimpin Kompi V dan Yunus Rumais memimpin Kompi VI.

"Anggota Batalyon II itu kurang lebih seribu orang. Di dalamnya termasuk sembilan orang Jepang yang membelot ke RI," Sumarsono tersenyum.

Senyumannya makin panjang, ketika menceritakan bagaimana 'kelicikan'nya dalam memperoleh senjata. "Itu yang paling mengasyikkan, bagaimana sibuknya waktu itu dalam mencari senjata untuk perang. Kami merebut dan merampas dari musuh. Bahkan rakyat ikut mencarikan senjata. Jadi, kita maju perang dengan senjata yang kita cari sendiri. Waktu itu semangat juang memang tinggi sekali, saling bahu-membahu. Luar biasa, luar biasa!" Sumarsono menggeleng-geleng. Dalam hal mencari senjata untuk perang itu, baginya sangat mengesankan. "Umumnya semua pejuang di Bandung mengatakan begitu lho. Khususnya waktu merebut pabrik senjata di Kiara Condong," ungkapnya. Perebutan itu terjadi pada tanggal 5 Oktober 1945 dari tangan Jepang. "Sayang, waktu perebutan di Kiaracondong itu saya baru dinas ke luar kota," sambungnya.

Sumarsono memulai kariernya sebagai tentara pada tahun 1941. Waktu itu ia baru lulus dari Middelbare, lalu masuk Vrijwilligers Corps (Pasukan Sukarelawan Belanda). Setelah mendapat latihan, ia lalu ditugaskan di Ciateur sampai Jepang mendarat di Pulau Jawa.

Kedatangan Jepang melumpuhkan Belanda. Sumarsono pun ditawan. Kemudian ia dibebaskan dengan syarat harus masuk bala tentara Jepang. Dengan berat hati, Sumarsono memilih masuk Kaigun (Angkatan Laut Jepang) dan digembleng di Morokembangan, Surabaya. "Saya dibentuk menjadi pasukan berani mati, demi Asia Timur Raya," tutur Marsono, yang kelahiran Palembang. Rencananya, setelah digembleng itu, Marsono akan dikirim ke Pulau Solomon. Tetapi Sumarsono dkk. tidak sampai ke tujuan, sebab sampai di Biak kapalnya disergap Sekutu. Akhirnya kembali ke Surabaya, lalu dipindahkan ke Bandung. Setelah Jepang menyerah, Sumarsono bergabung dengan teman-temannya yang eks Peta, Heiho, Polisi Jepang dan kesatuan tentara Jepang lainnya. "Saya dan teman-teman lalu bergabung dalam BKR. Kami tidak memiliki apa-apa waktu itu, kecuali semangat yang membara untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Mulailah kami berjuang dan mencari senjata," katanya.

Sumarsono dan teman-temannya masuk BKR pada tanggal 29 Agustus 1945. Waktu itu BKR (Badan Keamanan Rakyat) dibentuk di Bandung di bawah pimpinan Aruji Kartawinata dan markasnya di Pasir Kaliki.

Bergabungnya Sumarsono dan teman-temannya, jelas memperkuat pertahanan pejuang di kota Bandung. Keterlibatannya Sumarsono dalam Bandung Lautan Api sungguh besar perannya. Maka dari itu, setelah lautan api Bandung berangsur padam, Sumarsono mendapat tugas berjuang di Sukabumi. Akhir 1947 pindah ke Bogor Selatan, awal 1948 ke Banten. Tahun 1948-1949 bergerilya di Gunung Karang, sekitar Pandeglang. Tahun 1950 bersama Kol. Kawilarang bertugas melikuidasikan Negara Indonesia Timur yang waktu itu dipresideni oleh I Gde Cokerde Sukowati, serta mengembalikannya ke pangkuan negara kesatuan RI.

Tugas Sumarsono masih berlanjut. Tahun 1950-52 ikut menumpas RMS di Ambon. Lalu menumpas DI/TII di Palopo, Sulawesi Selatan. Tahun 1953 ia minta pensiun dengan pangkat Mayor. Permintaan pensiun itu karena prinsip. "Saya mencintai bangsa dan tanah air Indonesia. Meskipun saya sudah pensiun saya tetap berjuang untuk kepentingan bangsa dan negara, dengan cara saya," kata Sumarsono, di rumah kontrakannya, rumah petak yang sangat sederhana.

"Saya selain berwiraswasta juga mendirikan sekolah bersama teman-teman saya," sambungnya. Sekolahan yang dimaksudkan berada di Bandung, sedang dicarikan dana untuk perbaikan gedungnya. (Naning Pranoto)



Sumber: Suara Karya, 24 Maret 1987



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...