Langsung ke konten utama

Silsilah dan Karya Douwes Dekker

Dr Ernert Francois Eugene Douwes Dekker alias Dr. Danudirja Setiaboedi lahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879 sebagai anak ketiga dari keluarga Auguste Henri Eduard Douwes Dekker dan Louise Margaretha Neumann. Mereka menikah pada tahun 1875 di Surabaya.

Auguste D. D. adalah anak pertama dari Jan Douwes Dekker (lahir di Ameland, Nederland, pada tanggal 28 Juni 1816) saudara kandung dari Eduard D. D. alias Multatuli. Ayah dan ibu berturut-turut bernama Engel D. D. dan Sietske Klein.

Dengan demikian ayah dan ibu Multatuli juga adalah orang tua dari Jan D. D., kakeknya Dr. E. F. E. Douwes Dekker. Jadi bukan sebagaimana dikatakan bahwa ayah Multatuli adalah kakak dari kakeknya (Kompas, 11-9-1982, halaman IX, kolom 9).

Jan D. D. meninggalkan profesinya sebagai kapten kapal ayahnya sendiri untuk menjadi petani tembakau di Desa Bowerno, Bojonegoro. Ia meninggal pada 11 September 1864 di Gresik.

Dr. Ernest D. D. alias Dr. Setiaboedi kawin 11 Mei 1903 di Betawi dengan Clara Charlotte Deye, lahir tanggal 7 Mei 1885, puteri Dr. A. W. J. Deye, bekas dokter tentara (Officier van Gezondheid) dan dokter kota (Stadsgeneesheer). 

Keluarga Dr. Ernest D. D. dikurniai tiga puteri yaitu Louise Erna Adeline (22-2-1904), Hedwig Olga Hildegard (25-8-1908), dan Siglinde Ragna Sigrid (22-10-1911).

D. M. Koch, seorang Belanda totok teman baik dari mendiang Dr. Tjipto Mangunkusumo dan mendiang Bung Karno adalah juga sahabat karib dan teman seperjuangan dari Ernest D. D. sejak tahun 1907. "Wij raakten bevriend. Hij woonde met zijn gezin, echtgenote en twee kinderen, een dochter en een zoon op Tjikini waar ik vaak gastvrijheid genoot". (Kami menjadi teman akrab. Dia bersama keluarganya, isteri dan dua anak seorang putri dan seorang putera tinggal di Tjikini di mana saya juga sering menikmati keramah-tamahan mereka), demikian Koch dalam bukunya: Verantwoording--Een halve eeuw in Indonesië, 1956. 

Sekarang timbul pertanyaan: "Keterangan siapa yang benar?" Buku Ratu Dorowati--Roman uit de tijd van de val van Modjopait, G. Kolffesn Co, Batavia, 1911, salah satu di antara sekian banyak karya Dr. Ernest D. D. bukan novel sejarah seputar kerajaan Sriwijaya (Kompas, 11-9-1982, halaman IX, kolom 9).

Karya-karya lainnya di bidang sejarah dan politiknya kami sebutkan antara lain:
- Indie, Handboek voor den Indischen Nationalis, 1921-1922.
- Nationale Figuren, Indonesia Moeda, 1927.
- Vluchtig overzicht van de geschiedenis van Indonesië, 1935.
- Hoe kan Holland het spoedigst zijn kolonieën verliezen? 1908.
- Die holländische Pizarros's in Atjeh, Das Freie Wort, 1908.
- dan lain-lain.

Gelar doktor di bidang ketatanegaraan dan perdagangan (staatsen handelswetenschappen) diperolehnya dengan magna cuma laude di Universitas Zürich, Swiss, pada bulan Juli 1915 dengan thesis: Die wirtschaflichen Grundlagen der sogenamten holländische Kolonisation in Sud-Ost-Asien (800 halaman).

K. S. Depari
Jl. Simbolon 4 
Pematang Siantar
Sumatra Utara


Sumber: Tidak diketahui, 23 September 1982



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan