Langsung ke konten utama

Pribumi dan Tenun Keindonesiaan

Oleh DENNY INDRAYANA

Saya sendiri menanya diri saya kadang-kadang. He Soekarno, apa "kowe iki" bener-bener asli? Ya, engkau itu dianggap asli Indonesia. Tetapi apakah saya betul-betul asli itu? "Mboten sumerep". Saya tidak tahu, Saudara-Saudara. Coba lah, siapa bisa menunjukkan asli atau tidak asli dari darahnya itu. Saya ini tidak tahu, Saudara-Saudara, dianggap asli. Tetapi mungkin saya itu juga 10%, 5%, 2%, ada darah Tionghoa di dalam badan saya ini!

Pidato Bung Karno pada pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki, 14 Maret 1963

Kata "pribumi" kembali menjadi topik perdebatan, terutama setelah dipidatokan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Mengapa kata itu sangat sensitif dan cenderung bermakna diskriminatif? Berikut adalah jawabannya dari sejarah panjang dan perjalanan hukum ketatanegaraan.

Sedari awal Nusantara tidak dihuni hanya oleh satu suku asli. Berbeda dengan Australia yang punya suku Aborigin atau Amerika yang mempunyai suku Indian yang memang dianggap sebagai penduduk asli (indigenous people). Tidak ada satu pun suku di Indonesia yang bisa mengatakan bahwa merekalah satu-satunya suku asli Indonesia.

Politik kolonial

Kalaupun ada konsep "pribumi", kata itu bukan merujuk pada satu suku di Indonesia. Pribumi lahir dari kolonialisme yang menjajah Ibu Pertiwi dengan politik pecah belahnya. Berdasarkan Undang-Undang Kolonial Belanda tahun 1854, penduduk Indonesia dibagi ke dalam tiga kasta. Ras kelas pertama golongan Eropa, bangsa kulit putih. Ras kelas kedua adalah golongan Timur Asing yang meliputi Tionghoa, Arab, dan India. Ras yang ketiga, kasta terbawah, adalah inlander yang diterjemahkan sebagai "pribumi".

Itulah cikal bakal segregasi dan diskriminasi hukum dalam tubuh masyarakat Hindia Belanda. Kebijakan diskriminatif itu bertahan meski ada perubahan undang-undang Belanda di tahun 1925, Pasal 163 Indische Staatsregeling tetap mengadopsi tiga kasta penduduk tersebut.

Pada tahun 1920-an itu pula kata Indonesia semakin marak dan menjadi simbol perjuangan kemerdekaan yang berpuncak pada Sumpah Pemuda 1928 dengan deklarasi satu tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Bagi pemerintah penjajah, penduduk Hindia Belanda lebih pas dijuluki inlander ketimbang Indonesia. Kata pertama lebih bernuansa melecehkan, sedangkan yang kedua lebih bermakna subversif karena bentuk pemberontakan kepada pemerintahan kolonial.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, menjadi pribumi karenanya terkesan lebih Indonesia. Perasaan heroik itu dipersonifikasikan dalam perumusan naskah asli UUD 1945 yang dalam Pasal 6 Ayat (1) mengatur, "Presiden adalah orang Indonesia asli". Makna historis-yuridis dari "Indonesia Asli" pada norma tersebut adalah "pribumi'. Artinya, keturunan Indonesia dari golongan Eropa ataupun Timur Asing tidak bisa menjadi presiden Indonesia. Bahkan, sebelum akhirnya dicoret, rumusan awal pasal tersebut juga mensyaratkan presiden "beragama Islam". Frase tersebut dihilangkan bersama dengan penggantian kata "Muqaddimah" yang bernuansa Islam dan tujuh kata Piagam Jakarta terkait penerapan syariat Islam.

Terkait dengan aspirasi keislaman itulah, makna sosiologis kata "pribumi" bukan hanya terbatas pada orang Indonesia asli saja, melainkan juga beragama Islam. Di sini secara sosiologis-historis, kata "pribumi" di Indonesia mempunyai makna yang hampir sama dengan kata "bumiputera" yang ada di Malaysia. Di negeri jiran tersebut, bumiputera bukan hanya dimaksudkan untuk etnis Melayu, melainkan juga beragama Islam. Karena itu, etnis Melayu yang non-Muslim tidak dianggap Bumiputera, sebagaimana halnya etnis China dan India. Di Indonesia, faktor kesamaan beragama Islam itu pula yang menyebabkan etnis Arab terasa lebih mudah melebur ke dalam pemaknaan kata "pribumi" ketimbang etnis China meski keduanya sama-sama masuk dalam kasta Timur Asing di era Hindia Belanda.

Segregasi hukum di era penjajahan Belanda tersebut terus berlanjut di masa awal kemerdekaan, terutama dalam aturan hukum terkait kewarganegaraan. Selain Pasal 6 Ayat (1), Pasal 26 UUD 1945 juga membunyikan frasa "Indonesia asli" sebagai syarat menjadi WNI. Terkait hukum kewarganegaraan ini, makna sosiologis-yuridis kata "nonpribumi" di Indonesia menjadi lebih mengarah kepada saudara-saudara kita dengan etnis Tionghoa.

Identiknya Republik Rakyat China dengan Partai Komunis menyebabkan berbagai kebijakan hukum kewarganegaraan pemerintahan Orde Lama dan--utamanya--Orde Baru mengarah kepada perbedaan perlakuan kepada etnis Tionghoa. Saya tidak akan mengulas satu per satu aturan hukum yang diskriminatif tersebut. Pada dasarnya aturan hukum demikian membatasi kesempatan etnis Tionghoa menjadi WNI serta pembatasan kegiatan keagamaan dan adat-istiadat China.

Nondiskriminasi

Kebijakan diskriminatif demikian mulai dihilangkan di era reformasi. Sedari awal pemerintahannya, Presiden BJ Habibie sudah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 yang tidak hanya melarang penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi "dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan progam ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan", tetapi lebih jauh memerintahkan dihilangkannya diskriminasi berdasarkan suku, agama, dan ras dalam setiap pelayanan negara.

Angin lebih segar diembuskan oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang di antaranya, menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Keppres Nomor 14 Tahun 1967 terkait larangan pelaksanaan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat China. Lebih jauh, pada perubahan UUD 1945, kata "Indonesia asli" tidak lagi ada dalam syarat presiden ataupun aturan kewarganegaraan. Karena itu, seseorang yang sejak lahir adalah WNI seperti halnya Anies Baswedan yang keturunan Arab ataupun Basuki Tjahaja Purnama yang berdarah Tionghoa, keduanya mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi presiden Indonesia.

Kebijakan antidiskriminasi juga ditegaskan dalam berbagai aturan hukum seperti bab terkait hak asasi manusia (HAM) dalam perubahan UUD 1945, UU HAM, UU Pengadilan HAM, hingga UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan menjelang akhir jabatannya, untuk makin menghilangkan praktik diskriminasi, Presiden SBY menerbitkan Keppres Nomor 12 Tahun 2014 yang pada intinya mengubah istilah China menjadi Tionghoa.

Demikianlah, makna kata "pribumi" yang awalnya hanya mengacu pada inlander Indonesia asli, sebagai hasil ciptaan kolonial Belanda, sudah bergeser dan seharusnya tidak lagi dimaknai sempit sebagai hanya WNI non-keturunan, tetapi semua "WNI sejak kelahirannya". Sebagaimana frasa dan definisi itu diatur dalam syarat presiden Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 setelah amandemen. Demikian pula, istilah "nonpribumi" yang sangat diskriminatif dan lebih mengacu kepada saudara-saudara kita Tionghoa, sebaiknya dihilangkan dan tidak lagi digunakan.

Apalagi, jika pemaknaan diskriminatif etnis Tionghoa, isu komunis, dan agama itu dikapitalisasi dalam kontestasi politik perebutan kekuasaan seperti pilkada dan Pilpres 2019. Dampak kerusakan sosiologisnya akan sangat berbahaya dalam hal menjaga tenun kebangsaan kita yang berbineka.

Bukan berarti saya tidak setuju adanya persoalan serius kesenjangan sosial yang mewarnai sentimen etnis dalam masyarakat kita. Laporan Bank Dunia 2016 menunjukkan, hanya 1 persen WNI yang menguasai 50,3 persen aset nasional atau hanya 10 persen yang menguasai 77 persen aset nasional. Ketimpangan yang sangat tinggi itu menyebabkan Indonesia dinobatkan sebagai juara ketiga dunia dalam hal kesenjangan ekonomi. Namun, alasan ketimpangan ekonomi itu tak boleh menjadi dasar kebijakan yang diskriminatif. Keberpihakan pada pengusaha lemah tentu harus dilakukan tanpa membedakannya berdasarkan etnis dan agama tertentu. 

Terlebih lagi kesenjangan demikian terjadi karena masih suburnya sistem ekonomi yang koruptif dan kolutif, di mana pengusaha akan lebih sukses bisnisnya jika mempunyai beking politik dari penguasa. Sebagaimana tecermin dalam indeks crony-capitalism yang dilansir The Economist pada tahun 2016 yang menempatkan Indonesia sebagai juara ketujuh dunia dalam hal kolusi pengusaha dan penguasa. Dengan realitas demikian, masalah kesenjangan ekonomi yang sangat timpang bukanlah andil dari etnis pengusaha tertentu saja, melainkan merupakan akibat dari kebijakan koruptif dan kolutif dari penguasa. Artinya, perang terhadap iklim usaha yang koruptiflah yang harus lebih dikedepankan.

Sebagai penutup, berbeda dengan Presiden Soekarno, saya tahu persis saya punya darah Tionghoa. Ayah saya Sunda, ibu saya Banjar, dan nenek saya (dari ayah) berasal dari Tionghoa. Anak-anak kami mendapatkan darah Jawa karena istri saya dari Pekalongan. Ketika ada yang bertanya saya asli suku mana, dengan mantap saya katakan: Indonesia!

DENNY INDRAYANA
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Melbourne Law School, dan Faculty of Arts University of Melbourne, Australia.



Sumber: Kompas, 20 Oktober 2017



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

PERISTIWA WESTERLING 23 JANUARI 1950 DI BANDUNG

Oleh : Djamal Marsudi Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional. Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan. T...