Langsung ke konten utama

Mencari Makna Baru Kebangkitan Nasional

MASIHKAH nasionalisme bersemayam di dada anak bangsa ini? Bahkan, masihkah ada nasionalisme?

Itulah pertanyaan penting yang muncul tiap kali 20 Mei tiba, tiap kali bangsa ini merayakan Hari Kebangkitan Nasional. Pertanyaan yang tidak hanya mengandung skeptisisme, tetapi juga keraguan yang amat mendalam.

Tentu ada alasan yang sangat meyakinkan untuk tidak yakin lagi bahwa nasionalisme masih menggelegar. Ada banyak fakta kasatmata yang membuktikan bahwa nasionalisme hanya tinggal romantisme kaum republiken. Yang tampak semakin menonjol bukan patriotisme, bukan nasionalisme, bukan cinta bangsa, melainkan cinta kepentingan.

Contoh bisa dikejar hingga yang membaca kelengar. Ada yang memperjuangkan sangat gigih amendemen konstitusi dengan kepentingan utama menambah kekuasaannya sebagai badan legislatif. Ada yang mencak-mencak karena pendiri partainya dicopot dari jabatan menteri, lalu mendesak partainya untuk menarik dukungan kepada presiden. Ada yang menjadikan pembuatan undang-undang di parlemen sebagai objek mencari uang besar. Ada yang membagi-bagi dana nonbujeter departemen dan mengalir ke banyak tokoh dan banyak partai untuk dana pemilu. Ada yang membiarkan dana daerah disimpan di SBI dan tidak peduli sekalipun dana itu tidak dapat menggerakkan perekonomian. Ada yang menjadikan otonomi daerah sedemikian rupa sehingga seperti hendak memisahkan dari republik. Dan, tentu, ada yang dengan senang hati menggadaikan negara ini untuk kepentingan asing.

Posisi negara ini dalam banyak hal yang hebat sudah sangat merosot. Bulu tangkis sepertinya sudah menjadi kejayaan masa lalu. Program KB yang dikagumi dunia tinggal kenangan. Negara yang disegani di kawasan ASEAN hanya tersisa sebagai basa-basi diplomasi. Gantinya ialah menjadi negara yang paling korup di dunia.

Dengan semua penilaian buruk itulah Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei kita rayakan. Yaitu, dengan kejujuran mengakui bahwa di tengah percaturan bangsa-bangsa di dunia, Indonesia telah tertinggal sangat jauh. Nyaris masuk kotak, tidak layak lagi diperhitungkan.

Kejujuran itu sangat penting digarisbawahi, sebab salah satu yang hilang dari dada anak bangsa ini adalah keberanian untuk jujur. Bahkan, kehilangan kejujuran terhadap diri sendiri.

Yang merebak adalah kemunafikan. Yang berkembang adalah merasa benar sendiri sesuai dengan kepentingan. Di manakah nasionalisme? Tidakkah nasionalisme tinggal sisa-sisa? Di manakah patriotisme? Di manakah kebangsaan? Tidakkah kebangkitan nasional cuma tinggal catatan sejarah yang diam, dingin, dan berhenti sebagai hafalan di sekolah dasar?

Semua pertanyaan itu mengajak untuk berani melihat muka buruk, tanpa kaca dibelah. Dengan sudut pandang yang berani melihat kenyataan diri sendiri itulah kebangkitan nasional harus direnungkan, dan kemudian dari sana memberinya makna baru.

Dunia memang telah berubah dibanding 1908. Nasionalisme pun memerlukan tafsir dan makna baru. Yang dihadapi bukan lagi penjajahan fisik. Kebangsaan tidak cukup sekadar digelorakan kembali, tetapi juga dengan jawaban-jawaban baru sesuai dengan perubahan tantangan zaman.

Tetapi sebagian besar masalah kiranya tidak terletak di dunia luar, melainkan berada di dalam diri sendiri. Sudah lama bangsa ini kehilangan keteladanan. Untuk bisa bangkit dari dalam jelas diperlukan keteladanan baru.

Itulah keteladanan yang hanya bisa muncul dari sosok negarawan.



Sumber: Media Indonesia, 19 Mei 2007/No. 9628/Tahun XXXVIII



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...