Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2008

Bahasa Indonesia sebagai Aspal Kolonial

T ulisan P Ari Subagyo berjudul "Masalah Utama Bahasa Indonesia" ( Kompas , 3/5) menarik untuk dikaji lebih mendalam. Sebab, apa yang dipersoalkan dalam tulisan itu selalu menjadi perdebatan yang aktual di kalangan orang muda Indonesia sesudah mereka berkumpul dan berikrar dalam Soempah Pemoeda pada 1928. Perdebatannya adalah di seputar "kesatuan bahasa" yang baru saja digagas atau dibangun demi tujuan perjuangan untuk merdeka dari Belanda. Bagi Partai Indonesia Raya, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang diperintahkan untuk digunakan dalam semua pernyataan umum terhadap setiap anggotanya. Begitu pula dengan anggota-anggota pribumi di Volksraad , yang telah memutuskan untuk berbicara dengan bahasa Indonesia ketika bersuara dalam dewan tersebut. Akan tetapi, seperti apakah sesungguhnya bahasa Indonesia yang ditunjuk oleh partai politik terbesar zaman itu dan badan penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda tersebut? Sebetulnya itu adalah juga bahasa Melayu. Na...

Rasa Persatuan di Sekolah Dokter Djawa

Oleh H. ROSIHAN ANWAR S EABAD Kebangkitan Nasional dirayakan 20 Mei 2008 tentu mengenang Boedi Oetomo, dokter-dokter lulusan STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen) seperti Wahidin, Cipto Mangunkusumo, Soetomo, dan sebagainya. Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan Perhimpunan Sejarah Kedokteran Indonesia mengadakan seminar internasional 22 Mei 2008 di Museum Kebangkitan Nasional Jakarta dengan tema "Stovia-Kemunculan Pergerakan Kebangsaan Nasional". Pelopor STOVIA ialah Sekolah Dokter Djawa yang dibuka tahun 1851. Menjelang akhir abad ke-19 Sekolah Dokter Djawa ditransformasikan menjadi Stovia. Siapa yang pernah melihat gambar siswa Sekolah Dokter Djawa dan STOVIA pada tahun-tahun permulaannya akan terkesan oleh busana yang dikenakan. Mereka semua berpakaian tradisional ala Jawa, baju (sorjan), kain, blangkon, dan kaki telanjang. Menurut keterangan sejarawan dr. Rushdy Husein kepada saya, Belanda mengadakan aturan tadi dengan tu...

100 Tahun Nasionalisme Bangsa

I STILAH ' kebangkitan nasional' dipopulerkan Perdana Menteri Hatta 1948. Saat itu, negeri Indonesia masih diwarnai perang kemerdekaan, ketika situasi politik bergejolak hebat. Melihat kondisi tersebut, Soewardi Sorjaningrat (Ki Hajar Dewantoro) dan Dr. Rajiman Wediodiningrat mengusulkan kepada Presiden Soekarno, Perdana Menteri Hatta, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ali Sastroamijoyo untuk memperingati kebangunan nasional melalui berdirinya perkumpulan Boedi Oetomo. Perkumpulan yang didirikan 20 Mei 1908 tersebut, dianggap bisa mengingatkan semua orang bahwa persatuan bangsa Indonesia sebenarnya sudah dicanangkan sejak lama. Usulan tersebut kemudian disetujui pemerintah Republik Indonesia dengan melaksanakan Peringatan Kebangunan Nasional yang ke-40 di Yogyakarta. Namun, diperingatinya pendirian perkumpulan Boedi Oetomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional sempat menjadi perdebatan tokoh-tokoh nasional saat itu. Menurut Guru Besar Sejarah Unpad Prof. Dr. Hj. Nina Herlina ...

100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL: Renaisans Asia Lahirkan Patriotisme Bangsa-bangsa

Oleh NINOK LEKSONO D alam seri pertama tulisan mengenai "100 Tahun Kebangkitan Nasional" pekan lalu disinggung. Kebangkitan Nasional tak bisa dilepaskan dari munculnya elite berpendidikan di Bumi Nusantara. Ulasan mendalam mengenai hal ini dapat dijumpai, antara lain, dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite  oleh Robert van Niel (1960, terjemahan Pustaka Jaya, 1984). Dikemukakan pula, pada akhirnya Pemerintah Belanda merasa terpanggil secara moral untuk memperbaiki peri kehidupan pribumi di tanah jajahan Hindia Belanda. Ini pula semangat dari pidato tahunan kerajaan, September 1901, di mana Ratu Wilhelmina menyebut tentang "satu kewajiban luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat di Hindia Belanda". Laporan wartawan Belanda, Pieter Brooshooft (bekerja di redaksi harian De Locomotief  di Semarang), yang pada tahun 1988 menyaksikan sendiri kehidupan sengsara rakyat pribumi, dipercayai ikut memengaruhi lahirnya kebijakan baru tersebut. Saat itu, tantangan...

100 Tahun Kebangkitan Nasional: Refleksi bagi Para Yunior Dokter Soetomo

T ahun ini, Indonesia memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional, suatu momen yang diawali dengan pendirian Boedi Oetomo oleh mahasiswa STOVIA atau sekolah dokter pribumi pada 1908. Waktu itu dr Soetomo dan kawan-kawan membentuk organisasi nasional modern pertama di Indonesia yang lintas agama, suku, jenis kelamin, dan golongan dengan tujuan awal untuk kemajuan bangsa, terutama dalam bidang pendidikan dan budaya. Hal ini dapat menunjukkan bahwa para dokter di masa itu telah berpikiran maju dengan menjadi pelopor pergerakan bangsa yang waktu itu masih terjajah. Mereka sangat peduli dengan nasionalisme dan kemajuan bangsa, di luar batas bidang kesehatan yang mereka geluti. Sesuai dengan namanya, Boedi Oetomo, terlihat bahwa hal utama bagi dr Soetomo dan kawan-kawan adalah budi, yang berarti akal, tabiat, daya, kebijaksanaan, kemurahan hati, dan kebaikan. Bagaimana dengan para yunior dr Soetomo dan kawan-kawan masa kini? Apakah dokter di Indonesia saat ini telah memberikan sesuatu bagi b...

100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL: Kipling, Ratu Wilhelmina, dan Budi Utomo

Pengantar Redaksi Dalam rangka perayaan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, harian "Kompas" menurunkan serial tulisan bertema "Kebangkitan Nasional 20 Mei, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus, dan Sumpah Pemuda 28 Oktober". Serial tulisan tematik itu akan terbit tiap hari Senin selama 25 kali mulai hari ini hingga Senin, 27 Oktober 2008. Di antara tanggal tersebut, harian "Kompas" akan menurunkan liputan khusus tematik. Momentum 100 Tahun Kebangkitan Nasional ini dijadikan momentum untuk melihat perjalanan bangsa ini pada masa lalu, kini, dan esok, serta posisi bangsa ini di tengah bangsa lain. Pergulatan pemikiran mengenai kebangsaan juga akan menjadi salah satu tema tulisan. "Pemerintah Belanda  memiliki panggilan moral terhadap kaum pribumi Hindia Belanda." Oleh MULAYAWAN KARIM D alam pidatonya, September 1901, Ratu Wilhelmina dengan tegas menyatakan, Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap kaum pribumi Hindia Belanda. Orasi Ratu Belan...