Langsung ke konten utama

Islamisasi Dinasti Prabu Siliwangi

Oleh AHMAD MANSUR SURYANEGARA

DINASTI Sang Prabu Siliwangi pada abad ke-15 menjadikan Islam sebagai agamanya secara aman dan damai. Diawali dengan sebab adanya pernikahan kedua Sang Prabu Siliwangi dengan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa, Syah Bandar Cirebon. Subang Larang adalah santri Syekh Kuro atau Syekh Hasanuddin dengan pesantrennya di Karawang. Dinasti Sang Prabu Siliwangi dari pernikahannya dengan Subang Larang, terlahirlah tiga orang putra putri. Pertama, Pangeran Walangsungsang, kedua, Nyai Lara Santang, dan ketiga, Raja Sangara. Ketiga-tiganya masuk Islam.

Pesantren Syekh Kuro

Syekh Kuro yang dikenal pula dengan nama Syekh Hasanuddin memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu Siliwangi. Persahabatan Ki Gedeng Tapa dengan Syekh Kuro menjadikan putrinya, Subang Larang, masantren di Pesantren Syekh Kuro. Adapun kedudukan Ki Gedeng Tapa adalah sebagai Syahbandar di Cirebon. Menggantikan Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Ki Gedeng Tapa dikenal pula dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati.

Dalam Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya Cirebon yang ditulis (1720) atas dasar Negarakerta Bumi, menuturkan bahwa Ki Gedeng Sinangkasih memiliki kewenangan yang besar. Tidak hanya sebagai Syahbandar di Cirebon semata. Ternyata juga memiliki kewenangan mengangkat menantunya, Raden Pamanah Rasa sebagai Maharaja Pakwan Pajajaran dengan gelar Sang Prabu Siliwangi.

Adapun istri pertama Sang Prabu Siliwangi adalah Nyi Ambet Kasih putri kandung Ki Gedeng Sindangkasih. Istri kedua, Subang Larang, putri Ki Gedeng Tapa. Istri ketiga, Nyai Aciputih putri dari Ki Dampu Awang.

Dari peristiwa pergantian kedudukan di atas ini, antara Ki Gedeng Tapa dan Sang Prabu Siliwangi memiliki kesamaan pewarisan. Keduanya memperoleh kekuasaan berasal dari Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Hubungan antara keduanya dikuatkan dengan pertalian pernikahan. Sang Prabu Siliwangi mempersunting putri Ki Gedeng Tapa yakni Subang Larang. Dengan demikian Sang Prabu Siliwangi adalah menantu Ki Gedeng Tapa.

Pernikahan di atas ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kekuasaan politik yang sedang diemban oleh Sang Prabu Siliwangi. Tidaklah mungkin kelancaran kehidupan Kerajaan Hindu Pajajaran, tanpa kerja sama ekonomi dengan Syahbandar Cirebon, Ki Gedeng Tapa. Begitu pula sebaliknya, Ki Gedeng Tapa tidak mungkin aman kekuasaannya sebagai Syahbandar, bila tanpa perlindungan politik dari Sang Prabu Siliwangi. Guna memperkuat power of relation antara keduanya, maka diikat dengan tali pernikahan.

Pengaruh eksternal

Pengaruh islamisasi terhadap Dinasti Sang Prabu Siliwangi tidak dapat dilepaskan hubungan dengan pengaruh Islam di luar negeri. Di Timur Tengah, Fatimiyah (1171) dan Abbasiyah (1258) memang sudah tiada, digantikan oleh kekuasaan Mamluk di Mesir dan Mongol di Baghdad. Namun pada kelanjutan Dinasti Khu Bilai Khan, Mongol pun memeluk Islam. Kemudian membangun kekaisaran Mongol Islam di India.

Perkembangan kekuasaan politik Islam di Timur Tengah di bawah Turki semakin berjaya. Konstantinopel dapat dikuasainya (1453). Di Cina Dinasti Ming (1363-1644) memberikan kesempatan orang-orang Islam untuk duduk dalam pemerintahan. Antara lain Laksamana Muslim Cheng Ho ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo memimpin misi muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara (1405-1430). Membawa pasukan Muslim 27.000 dengan 62 kapal. Demikian penuturan Lee Khoon Choy, dalam Indonesia Between Myth and Reality. Di Cirebon Laksamana Cheng Ho membangun mercusuar. Di Semarang mendirikan Kelenteng Sam Po Kong.

Misi muhibah Laksamana Cheng Ho tidak melakukan perampokan atau penjajahan. Bahkan memberikan bantuan membangun sesuatu yang diperlukan oleh wilayah yang didatanginya. Seperti Cirebon dengan mercusuarnya. Oleh karena itu, kedatangan Laksamana Cheng Ho disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon.

Perubahan tatanan dunia politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh Islam seperti di atas berdampak besar dalam keluarga Sang Prabu Siliwangi. Terutama sekali pengaruhnya terhadap Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar di Cirebon.

Karena sangat banyak kapal niaga Muslim yang berlabuh di pelabuhan Cirebon, kapal niaga dari India Islam, Timur Tengah Islam, dan Cina Islam. Pembangunan mercusuar di pelabuhan Cirebon memungkinkan tumbuhnya rasa simpati Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon terhadap Islam. Dapat dilihat dari putrinya, Subang Larang, sebelum dinikahkan dengan Sang Prabu SIliwangi, dipesantrenkan terlebih dahulu ke Syekh Kuro. Di bawah kondisi keluarga dan pengaruh eksternal yang demikian ini, putra putri Sang Prabu Siliwangi mencoba lebih mendalami Islam dengan berguru ke Syekh Datuk Kahfi dan Naik Haji.

Gunung dan guru

Naskah Carita Purwaka Caruban Negari kelanjutannya menuturkan, setiap dalam upaya pencarian guru pasti tempat tinggalnya ada di Gunung. Tampaknya sudah menjadi rumus, para Guru Besar Agama atau Nabi selalu berada di Gunung. Dapat kita baca Rasulullah saw juga menerima wahyu Al Quran dan diangkat sebagai Rasul di Jabal Nur. Jauh sebelumnya, Nabi Adam as dijumpakan kembali dengan Siti Hawa ra, di Jabal Rahmah.

Tempat pendaratan Kapal Nuh as setelah banjir mereda di Jabal Hud. Pengangkatan Musa as sebagai Nabi di Jabal Tursina. Demikian pula Wali Sanga selalu terkait aktivitas dakwah atau makamnya dengan gunung. Tidak berbeda dengan kisah islamisasi putra putri Prabu Siliwangi erat hubungannya dengan guru-guru yang berada di gunung.

Subang Larang tidak mungkin mengajari Islam putra putrinya sendiri di istana Pakuan Pajajaran. Diizinkan putra pertamanya Pangeran Walangsungsang untuk berguru ke Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati. Di sini Pangeran Walangsungsang diberi nama Samadullah.

Walaupun demikian Pangeran Walangsungsang harus pula berguru kedua guru Sanghyang Naga di Gunung Ciangkap dan Nagagini di Gunung Cangak. Di sini Pangeran Walangsungsang diberikan gelar Kamadullah. Di Gunung Cangak ini pula berhasil mengalahkan Raja Bango. Pangeran Walangsungsang diberi gelar baru lagi Raden Kuncung. Dari data yang demikian, penambahan atau pergantian nama memiliki pengertian sebagai ijazah lulus dan wisuda dari studi di suatu perguruan.

Dengan cara yang sama Lara Santang harus pula mengaji ke Syekh Datuk Kahfi Cirebon. Dalam Naskah Babad Cirebon dikisahkan Lara Santang sebelum sampai ke Cirebon, berguru terlebih dahulu ke Nyai Ajar Sekati di Gunung Tangkuban Perahu. Kemudian menyusul berguru ke Ajar Cilawung di Gunung Cilawung. Di sini setelah lulus diberi nama Nyai Eling.

Naik haji

Atas anjuran Syekh Datuk Kahfi agar Pangeran Walangsungsang dan Lara Santang Naik Haji. Ternyata dalam masa Ibadah Haji di Makkah, Lara Santang dipersunting oleh Maolana Sultan Mahmud disebut pula Syarif Abdullah dari Mesir. Lara Santang setelah haji dikenal dengan nama Syarif Mudaim. Dari pernikahannya dengan Syarif Abdullah, lahir putranya, Syarif Hidayatullah pada 12 Mualid 1448 dikenal pula setelah wafat dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan putra kedua adalah Syarif Nurullah.

Walangsungsang setelah haji, dikenal dengan nama Haji Abdullah Iman. Karena sebagai Kuwu di Pakungwati, dikenal dengan Cakrabuana. Prestasi Cakrabuana yang demikian menarik perhatian Sang Prabu Siliwangi, diberi gelar Sri Mangana. Pengakuan Sang Prabu Siliwangi yang demikian ini, menjadikan Walangsungsang atau Cakrabuana, yakni Raja Sangara masuk Islam dan naik haji kemudian berubah nama menjadi Haji Mansur.

Untuk lebih lengkapnya kisah islamisasi Dinasti Sang Prabu Siliwangi, dapat dibaca pada Dr. H. Dadan Wildan M.Hum, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta.

Silsilah Prabu Siliwangi

Kembali ke masalah pokok artikel saya di atas ini. Suatu artikel yang saya angkat dari karya Dr. H. Dadan Wildan M.Hum. Bagi saya sejarah Prabu Siliwangi merupakan belukar yang sukar saya pahami. Dari karya Dr. H. Dadan Wildan M.Hum ada bagian sangat menarik, Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya Cerbon 1720. Diangkat dari terjemahannya karya Pangeran Sulendraningrat (1972), dan Drs. Atja (1986).

Prabu Siliwangi seorang raja besar dari Pakuan Pajajaran. Putra dari Prabu Anggalarang dari dinasti Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau Kraton Galuh. Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati.

Istri pertama adalah Nyi Ambetkasih, putri dari Ki Gedengkasih. Istri kedua, Nyai Subang Larang putri dari Ki Gedeng Tapa. Ketiga, Aciputih Putri dari Ki Dampu Awang.

Selain itu, CPCN juga menuturkan silsilah Prabu Siliwangi sebagai keturunan ke-12 dari Maharaja Adimulia. Selanjutnya bila diurut dari bawah ke atas, Prabu Siliwangi (12) adalah putra dari (11) Prabu Anggalarang, (10) Prabu Mundingkati, (9) Prabu Banyakwangi (8) Banyaklarang (7) Prabu Susuktunggal (6) Prabu Wastukencana (5) Prabu Linggawesi (4) Prabu Linggahiyang (3) Sri Ratu Purbasari (2) Prabu Ciungwanara (1) Maharaja Adimulia. Sudah menjadi tradisi penulisan silsilah, hanya menuliskan urutan nama. Tidak dituturkan peristiwa apa yang dihadapi pada zaman pelaku sejarah yang menyandang nama-nama tersebut. Kadang-kadang juga disebut makamnya di mana.

Pengenalan Islam

Adapun Dinasti Prabu Siliwangi yang masuk Islam adalah dari garis ibu, Subang Larang. Dapat dipastikan dari Subang Larang ajaran Islam mulai dikenal oleh putra-putrinya. Walaupun Subang Larang sebagai putri Ki Gedeng Taparaja Singapora bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Namun Subang Larang adalah murid dari Syekh Hasanuddin atau dikenal pula sebagai Syekh Kuro.

Adapun putra pertama adalah Walangsungsang. Kedua, putri Nyai Larang Santang. Ketiga, Raja Sangara. Tidak mungkin Subang Larang dengan bebas membelajarkan ajaran Islam secara terbuka dalam lingkungan istana. Oleh karena itu, Walangsungsang, mempelopori meninggalkan istana dan berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati di Cirebon. Syekh Datuk Kahfi dikenal pula dengan nama Syekh Nuruljati.

Dalam pengajian dengan Syekh Nurjati, diwisuda dengan ditandai pergantian nama menjadi Ki Somadullah. Kemudian membuka pedukuhan baru, Kebon Pesisir. Kelanjutannya menikah dengan Nyai Kencana Larang putri Ki Gedeng Alang Alang. Dari sini memperoleh gelar baru Ki Wirabumi.***

-Penulis adalah ahli sejarah



Sumber: Pikiran Rakyat, 22 November 2004



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan