Dalam lembaga wakil rakyat zaman pemerintahan Presiden Soekarno, selain ada perwakilan partai politik (parpol), dan golongan, juga ada peluang untuk golongan warga negara asing (WNA) yaitu Tionghoa, Arab dan Belanda.
Ketika itu lembaga wakil rakyat bernama KNP yang kemudian berubah KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Lembaga inilah yang menjadi embrio dari MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
KNP/KNIP yang dibentuk dan dilantik 29 Agustus 1945, awal mula anggotanya ditunjuk oleh Presiden dan Wakil Presiden, terdiri dari atas tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai daerah dan golongan termasuk mantan Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan. Ada 2 versi sumber tentang jumlah anggotanya, ada yang menulis 60 orang dan yang lain 103 orang. Sidang pertama berlangsung 19 - 23 Agustus 1945, sidang ke-II 16 - 17 Oktober 1945, dan sidang ke-III 25 - 27 November 1999 yang dihadiri 132 anggota.
Pelaksanaan sidang ke-IV berlangsung di Solo, Jawa Tengah (28 Februari - 2 Maret 1946). Anggota yang diundang berjumlah 203 orang dan 15 wakil daerah. Sidang V berlangsung di Malang, Jawa Timur (25 Februari - 6 Maret 1947), dihadiri 407 anggota. Parpol yang ada waktu itu adalah Masyumi, termasuk partai besar dengan 60 wakil, PNI (Partai Nasional Indonesia) mengirimkan 45 wakil, Partai Sosialis (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI), PKI (Partai Komunis Indonesia), masing-masing mengirim 35 wakil, Parkindo (Partai Kristen Indonesia) sebanyak 8 wakil dan Partai Katolik hanya 4 wakil. Golongan yang ada hanya buruh dan tani, sedangkan dari wakil Sumatera (51), Kalimantan (12), Sulawesi (15), Maluku (7), dan Sunda Kecil (7). Untuk golongan warga asing diwakili suku Tionghoa (7 orang), Arab dan Belanda masing-masing 3 wakil.
Sidang KNP VI yang merupakan sidang terakhir berlangsung di Yogyakarta (6 - 15 Desember 1949) dengan 536 anggota terdiri dari parpol, golongan, daerah warga negara asing dan tidak berpartai (109). Parpol yang ada adalah Masyumi (60), PNI (45), PSI (36), PBI (34), Parkindo (12), PKRI (12), PSII (12), dan Partai Murba (8). Susunan anggota ini merupakan yang terakhir KNP untuk menuju ke Badan Pekerja (BP) KNIP berdasarkan Maklumat No. X tanggal 16 Oktober 1945.
BP KNIP diserahi tugas kekuasaan legislatif, ikut menetapkan GBHN, dan melakukan pekerjaan KNIP sehari-hari. BP KNIP terdiri dari 15 anggota dengan Ketua Sutan Sjahrir, Wakil Ketua Mr Amir Sjarifudin, dan penulis Mr Suwandi. Pada sidang BP KNIP ini, susunan anggota sama dengan sidang VI KNP, kecuali tidak masuk golongan orang Belanda, Partai Katolik, PSII dan PKRI.
Vakum
Di masa pasca kemerdekaan RI, pernah terjadinya kevakuman dalam konfigurasi ketatanegaraan politik selama lebih kurang 10 tahun (1949 - 1959). Berdasarkan Konstitusi RIS 1949 - 1950 dan UUDS RI 1950 - 1959 walaupun sudah kembali kepada negara kesatuan, juga tidak dikenal lembaga MPR.
Setelah melewati masa vakum, terbentuk MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) melalui Penetapan Presiden No 2/1959 sebagai pelaksanaan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, antara lain pembentukan MPRS, DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara), dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).
Lembaga tertinggi negara sementara ini berlangsung dalam periode 1959 - 1965, awal MPRS pertama 1960 - 1963 dengan jumlah anggota 611 orang terdiri dari 9 partai yaitu PNI (44), Nadlatuh Ulama (36), PKI (30), Parkindo (6), Partai Katolik (5), PSII (5), Partai Perti (2), Partai Murba (1), dan Partindo (1). Selain itu, ada golongan ABRI, tani, buruh, alim ulama, dan sebagainya serta utusan daerah.
Komposisi MPRS 1964 - 1965 masih sama tetapi jumlah anggota bertambah menjadi 663 orang dan susunan partai bertambah 1 yaitu IPKI.
Dalam periode MPRS 1964 - 1965, majelis telah bersidang sebanyak 3 kali yaitu Sidang Umum I (1960), Sidang Umum II (1963), dan Sidang Umum III (1965).
Meskipun masa Orde Lama telah selesai sejalan dengan meletusnya G30S (Gerakan 30 September), lembaga MPRS masih berfungsi hingga 1968 pada Sidang Umum V.
Jumlah anggota MPRS periode 1966 - 1971 sebanyak 542 orang atau dua kali lipat dari anggota DPR. Komposisi keanggotaan dalam Sidang Umum IV (1966) terdiri dari partai PNI (44), NU (36), Parkindo (6), Partai Katolik (5), PSII (5), Partai Perti (2), Partindo (2), dan IPKI (2). Lalu ditambah dengan Golongan Karya/Fungsional (ABRI, buruh, tani, alim ulama, dan lain-lain serta utusan daerah).
Setahun kemudian diselenggarakan Sidang Umum Istimewa (1967) dengan komposisi yang hampir sama dengan sebelumnya, tetapi anggota bertambah menjadi 663. Ada golongan parpol bertambah yaitu Partai Murba (4). Golongan parpol masih didominasi PNI (47) dan NU (46), sedangkan Parkindo dan Partai Katolik masing-masing 11 anggota. PSSI (12), Perti (6), Partindo (2), dan IPKI (8).
Komposisi keanggotaan MPRS 1968 pada Sidang Umum V terjadi perubahan yaitu adanya gabungan parpol dengan total anggota 828 orang. Ada gabungan fraksi-fraksi: Unsur Nasional (PNI, IPKI, dan Murba), Unsur Islam (NU, PSII, PARMUSI), Unsur Karya, Unsur Kristen/Katolik, Unsur Daerah/Sub. Golongan Daerah, dan jumlah yang belum tergabung dalam satu fraksi.
MPR periode 1972 - 1977, hasil dari Pemilu 1971, komposisi anggota terdiri dari kelompok Partai Demokrasi Pembangunan yang kemudian dikenal Partai Demokrasi Indonesia (PDI), terdiri dari Partai Katolik, Parkindo, PNI, Murba, dan IPKI. Fraksi Persatuan Pembangunan (PP) terdiri dari PSII, NU, Parmusi dan Perti, Fraksi Karya Pembangunan, Fraksi ABRI, dan Fraksi Utusan Daerah (UD). Total anggota 920 orang, dua kali dari jumlah anggota DPR. Pimpinan DPR dijabat Dr KH Idham Chalid dan Wakil Ketua Drs Sumiskum.
Setelah terjadinya fusi parpol, dalam MPR 1977 - 1982 (hasil Pemilu 1977), lembaga tinggi negara diwakili 5 kelompok fraksi yaitu ABRI, Karya Pembangunan, PDI, PP dan UD dengan total anggota 920 orang. Pimpinan MPR Adam Malik yang kemudian digantikan Daryatmo karena ybs terpilih sebagai wakil presiden. Wakil Ketua MPR dijabat K H Masykur.
(Susianna)
Sumber: Suara Karya, 4 Oktober 1999
Komentar
Posting Komentar