"Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". (Ir Soekarno)
JAKARTA, KOMPAS -- Pernyataan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, itu menggambarkan betapa pemuda merupakan potensi yang luar biasa, tidak hanya untuk pembangunan bangsa, tetapi juga untuk mengguncangkan dunia. Dalam perkembangan bangsa ini, kaum muda banyak mewarnai sejarah Indonesia.
Tidak hanya dimulai dengan digelarnya Kongres Pemuda II tahun 1928, yang menegaskan "bertanah air dan berbangsa yang satu, bangsa Indonesia serta berbahasa persatuan, bahasa Indonesia", tetapi peristiwa pembentukan negeri ini, misalnya lahirnya Boedi Oetomo tahun 1908, pun digagas pemuda. Bahkan, organisasi kebangsaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, tidak bisa dipisahkan dari peranan kaum muda.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang diakui sebagai pemuda adalah warga negara yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16-30 tahun. Namun, dalam perkembangan di masyarakat, hingga usia kurang dari 40 tahun pun masih diyakini sebagai kaum muda.
Anak muda pendiri usaha rintisan unicorn "Tokopedia" William Tanuwijaya, pemuda itu berani menyatakan bisa dan berkarya. "Mereka selalu bisa menemukan satu alasan untuk bisa di tengah jutaan alasan untuk tak bisa. Mereka yang telah berani memulai dan terus membangun harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik," ujarnya di Jakarta, pekan lalu.
Oleh karena selalu mencari alasan untuk mengatakan bisa, sejarawan Didi Kwartanada mengingatkan, pemuda bisa membangun persatuan dan kesatuan dengan kesadaran kebangsaan yang melampaui sekat etnis, agama, dan berbagai identitas kelompok. Hal ini terlihat dari lahirnya Sumpah Pemuda, aksi mahasiswa Reformasi 1998, yang mengubah sejarah bangsa. Banyak sekali sejarah bangsa yang lahir dari tangan kaum muda.
Terkait dengan Kongres Pemuda II-1928, sudah berlangsung dalam semangat kebersamaan yang melampaui sekat suku, agama, dan ras serta kelas sosial pula. "Kongres hari pertama dibuka di Jonge Katholieke Bond, di kompleks Gereja Katedral. Lalu, penutupan kongres dilakukan di tempat yang sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda yang dimiliki dan disediakan Sie Kong Liong, pemilik rumah sekaligus Bapak Kost Mohammad Yamin dan kawan-kawan," kata Daradjadi, penulis buku sejarah, seperti Geger Pacinan 1740-1743: Koalisi Jawa Tionghoa Melawan VOC dan Mr Sartono: Pejuang Demokrasi dan Bapak Parlemen Indonesia.
Aktivis muda dari Jawa dan Sumatera, lanjut Daradjadi, yang sebagian besar juga pemeluk Islam, bisa bergandengan tangan dengan pemuda Kristiani dari sejumlah daerah serta aktivis Tionghoa, Indo, Arab, dan lain-lain sehingga tercapai Sumpah Pemuda dan dilantunkan lagu "Indonesia Raya" oleh WR Soepratman. WR Soepratman kala itu pun bekerja di koran Melayu Tionghoa, yakni Sin Po, yang khusus mengeluarkan naskah Indonesia Raya, pada terbitan ekstranya.
Sumpah Pemuda, yang terjadi 90 tahun lalu, menurut pengurus Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif, dalam artikelnya di Kompas, Sabtu (27/10/2018), merupakan kisah spektakuler perjuangan pemuda mengarungi jalan terjal multiseleksi. Kaum muda tampil sebagai penyintas pula.
Sumpah Pemuda adalah salah satu batu penjuru bangsa ini. Sejarah juga mencatat, anak muda negeri ini tak pernah lelah untuk melahirkan karya,yang pada akhirnya menjadi catatan dan penjuru sejarah bangsa.
(ONG/MED/TRA)
Sumber: Kompas, 28 Oktober 2018
Komentar
Posting Komentar