Langsung ke konten utama

Era Media Membangun Imajinasi Satu Bangsa

Dua dekade sebelum Sumpah Pemuda 1928, "Medan Prijaji", surat kabar pertama milik anak negeri, mengenalkan imajinasi tentang satu bangsa di tanah Hindia Belanda. Lewat dikotomi bangsa yang "terperintah" dan yang "memerintah", gagasan kebangsaan yang inklusif, melintasi sekat suku, agama, dan etnis dimunculkan di ruang publik.

Di persilangan Jalan Naripan dan Jalan Braga, Kota Bandung, berdiri gedung-gedung cagar budaya dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pramoedya Ananta Toer di bukunya, Sang Pemula (1985), menulis, saat Medan Prijaji bertransformasi dari surat kabar mingguan jadi harian pada pertengahan 1910 hingga akhirnya ditutup 1912, media massa itu diterbitkan di percetakan AC Nix di Jalan Naripan No 1, Bandung.

Namun, kini, tak mudah menemukan jejak Medan Prijaji, yang didirikan RM Tirto Adhi Soerjo pada 1907 itu. Akhir September lalu, beberapa wisatawan dari luar dan dalam negeri, berbaur dengan penduduk setempat, melintas di depan Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK). Di beberapa laman daring, gedung yang ada di Jalan Naripan Nomor 7-9 itu disebut sebagai bekas kantor surat kabar Medan Prijaji. Namun, tak ada penanda di bagian dalam ataupun luar gedung itu yang masih menunjukkan bahwa tempat itu pernah jadi kantor Medan Prijaji.

"Saya tidak tahu apa benar Medan Prijaji pernah di gedung ini. Saat zaman Belanda, di bagian belakang gedung memang pernah ada percetakan. Tapi, sekarang sudah tidak ada bekasnya," kata Ade, petugas pengelola Gedung YPK.

Seperti halnya dengan jejaknya yang sulit ditapaki di masa kini, peranan Medan Prijaji dalam membangun kesadaran kebangsaan relatif tak banyak dikenal. Padahal, Medan Prijaji jadi titik tolak penting sebagai surat kabar harian pertama yang dibangun oleh anak negeri di era itu. Pada masa jayanya, 1910-1912, oplah Medan Prijaji mencapai 2.000 eksemplar, jumlah yang signifikan di masa itu, bahkan jika dibandingkan dengan surat kabar yang diterbitkan oleh orang-orang Belanda.

Medan Prijaji dan Tirto Adi Soerjo menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Tirto, yang kerap memakai inisial TAS dalam tulisannya, adalah pionir pers anak negeri. Ia juga tokoh pergerakan. Salah satu kerja TAS dalam dunia pergerakan dan organisasi saat itu adalah turut mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) bersama Haji Samanhudi.

Tirto juga sempat mendirikan Hotel Medan Prijaji yang dahulu ada di Jalan Kramat Raya, Jakarta, sebagai salah satu unit usaha untuk menyokong surat kabar. Saat itu, iklan surat kabar banyak direbut media milik orang Belanda. Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petit Histoire Jilid 2 (2009) mencatat pendapatan iklan surat kabar Belanda, seperti De Locomotief dan De Java Bode, berkisar 14.000-60.000 gulden per bulan. Sedangkan surat kabar milik orang Indonesia saat itu hanya mendapat iklan sekitar 1.500 gulden per bulan.

Pers kebangsaan

Medan Prijaji membuka babak baru dalam sejarah Indonesia karena media massa mulai digunakan untuk membentuk pendapat publik, memperjuangkan hak dan keadilan, sekaligus membangun kesadaran awal, cikal bakal semangat kebangsaan. 

Sebelum Medan Prijaji, memang sudah ada berbagai surat kabar di Jakarta dan di daerah, baik yang menggunakan bahasa daerah, bahasa Melayu, maupun bahasa Belanda yang kepemilikannya didominasi oleh orang Belanda dan Tionghoa.

Namun, menurut pengajar sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Andi Suwirta, surat kabar sebelum era Medan Prijaji punya tujuan utama untuk mendukung perniagaan pada saat itu. "Medan Prijaji sejak awal dibentuk untuk mengadvokasi pihak-pihak yang dianggap ditindas," katanya.

Medan Prijaji dan Tirto punya sumbangsih membangun "imajinasi" sebagai bangsa yang satu, sesuatu yang sebelumnya tak terbayang di tanah Hindia Belanda. Gambaran ini terefleksi dalam moto yang ditampilkan di laman muka surat kabar Medan Prijaji, yakni "Suara bagi sekalian raja-raja, bangsawan asali (kelahiran) dan pikiran (cendekiawan), priayi dan saudagar bumiputra dan pejabat-pejabat dari bangsa yang terperintah lainnya yang dipersamakan dengan anak negeri, di seluruh Hindia Belanda." Setelah menjadi surat kabar harian, Medan Prijaji memakai moto yang lebih tajam, "Organ buat bangsa yang terperintah di Hindia Belanda, tempat akan membuka suaranya anak Hindia".

Taufik Rahzen dan Muhidin M Dahlan dalam Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (2007) menuturkan, dengan menyatakan bahwa Medan Prijaji sebagai suara "dari bangsa yang terperintah", Tirto mendobrak politik adu domba yang saat itu dilakukan Belanda dengan membangun stratifikasi kelas berbasis ras. Dengan kata lain, mereka berpendapat, rumusan "bangsa yang terperintah" itu memungkinkan munculnya "imajinasi" atas identitas kolektif di seluruh Hindia Belanda yang menembus sekat suku, agama, ras, dan golongan.

Setelah Medan Prijaji, media massa di masa awal kebangkitan kesadaran nasional juga terus mendorong transformasi semangat satu bangsa. Media massa jadi alat perjuangan mayoritas organisasi pergerakan di saat itu untuk menyampaikan gagasan mengenai bangsa "Indonesia", terlebih setelah kata "Indonesia" digunakan sebagai pengganti Hindia Belanda oleh tokoh-tokoh pergerakan yang sedang menuntut ilmu di Belanda.

Perhimpunan Indonesia di Belanda, misalnya, memiliki majalah Hindia Putra yang kemudian diubah namanya menjadi Indonesia Merdeka. Sudibyo dalam Perhimpunan Indonesia (2004) menuturkan, majalah Indonesia Merdeka yang diterbitkan dalam bahasa Belanda saat itu menjadi semacam perlawanan terhadap propaganda Belanda mengenai Hindia Belanda di dunia internasional.

Organisasi lain juga menyebarkan gagasan keindonesiaannya melalui media cetak. Misalnya, Indonesia Muda menerbitkan Majalah Indonesia Moeda, Jong Sumatera juga memiliki majalah, sedangkan Sarekat Islam (SI) mempunyai Oetoesan Hindia dan Djawa Moeda. Soekarno, setelah mendirikan Partai Nasional Indonesia, juga menerbitkan majalah politik Soeloeh Indonesia Muda.

Di tengah gairah gerakan memopulerkan Indonesia sebagai satu bangsa, Andi Suwirta menuturkan, saat itu media massa berperan penting menyebarluaskan kesadaran nasional sebagai satu bangsa. Kondisi ini terus menguat setelah Sumpah Pemuda 1928. Meski jumlah penduduk yang melek huruf saat itu masih sedikit, media massa menyentuh elite-elite terdidik yang jadi "minoritas kreatif" yang bisa membuat perubahan sosial.

"Imajinasi negara bangsa Indonesia diwacanakan oleh elite terdidik yang jumlahnya kecil, tetapi menjadi motor penggerak mendorong antitesa kolonialisme yang eksploitatif," katanya.

Tantangan masa kini

Dalam perjalanan bangsa Indonesia, media massa juga mengalami transformasi seiring dengan perubahan tantangan yang dihadapi; era penjajahan Jepang, revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan kini era Reformasi. Namun, peranan media sebagai perawat "komunitas terbayang" itu masih tetap penting. Di era banjir informasi serta menguatnya penetrasi media sosial yang memungkinkan setiap orang bisa memproduksi konten dan informasi, "imajinasi" kebangsaan itu menghadapi tantangan. Ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia.

Imajinasi sebagai satu bangsa yang sama, yang jadi landasan negara bangsa demokratis, kini menghadapi tantangan utama, salah satunya dari media sosial yang menghasilkan efek "gelembung informasi". Fenomena itu memperkuat fragmentasi di masyarakat. Media massa arus utama yang menyatukan warga dari berbagai latar belakang sehingga merasa menjadi satu bangsa yang sama, perlahan mulai "digerus" media sosial (Gordon Hull, The Conversation, 6/11/2017).

Guru Besar Komunikasi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Karim Suryadi menuturkan, nasionalisme dan media massa berjalan beriringan. Media di era saat ini tetap memainkan peran penting. Ini karena di setiap zaman, perubahan zaman nasionalisme perlu ditafsir ulang kendati tetap memiliki semangat yang sama. Media massa bisa menampilkan wajah itu dalam bentuk keseharian yang bisa dengan cepat dirasakan publik.

Hanya saja, media massa saat ini juga menghadapi tantangan yang besar. Salah satunya, kata Karim, politisasi media demi kepentingan politik pemilik. Di masa pra-kemerdekaan, para anak negeri yang jadi pemilik media juga punya preferensi politik, tetapi politik kenegaraan dengan visi jauh ke depan. Saat ini, preferensi politik sebagian pemilik media massa terjebak dalam "kekinian" dan "kedisinian". Dengan kata lain, fokus pada politik hari ke hari, jangka pendek, dan berkelindan dengan kepentingan sempit sang pemilik.

Hal ini bisa berbahaya karena akan merusak media dari dalam sehingga tidak lagi dipercaya oleh publik. Pada saat bersamaan, hal ini perlahan juga menggerogoti landasan kebangsaan Indonesia. "Suka atau tidak, menjaga semangat kebangsaan butuh media. Jika keindonesiaan bisa diibaratkan dnegan tubuh, media ialah saluran yang membawa darah yang bisa mempersatukan atau sebaliknya," kata Karim.

Pertanyaannya, kini masihkah media massa menjalankan tugas merawat imajinasi keindonesiaan itu?

(ANTONY LEE/RINI KUSTIASIH)



Tirtho Adhi Soerjo dan Medan Prijaji

1880 - Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora, Jawa Tengah, dari keluarga bangsawan Jawa. Ia merupakan cucu RMT Tirtonoto, Bupati Bojonegoro.

1893 - Mulai bersekolah di sekolah kedokteran STOVIA di Jakarta.

1894-1895 - Tirto sudah mulai mengirim berbagai tulisan ke surat kabar terbitan Betawi (Jakarta). Tirto juga sempat membantu Chabar Hindia Olanda selama dua tahun.

1900 - Tirto dikeluarkan dari STOVIA. Lalu diangkat menjadi redaktur Pembrita Betawi. Setahun kemudian diangkat sebagai redaktur kepala.

1903 - Tirto dengan modal pribadi dan bantuan dana dari Bupati Cianjur mendirikan Soenda Berita di Cianjur. Menjadi terbitan pertama pers Indonesia dengan redaksi ada di desa.

1907 - Pada bulan Januari, Medan Prijaji dalam bentuk surat kabar mingguan mulai terbit.

1910 - Pertengahan tahun, Medan Prijaji menjadi surat kabar harian, dicetak di percetakan AC Nix, Jalan Naripan Nomor 1, Bandung, Jawa Barat.

1912 - Pada 22 Agustus, Medan Prijaji ditutup karena kesulitan keuangan.

1918 - Tirto Adhi Soerjo meninggal dunia.

Gagasan pendirian Medan Prijaji:

1. Memberi informasi
2. Menjadi penyuluh keadilan 
3. Memberi bantuan hukum
4. Tempat orang tersia-sia mengadukan halnya
5. Mencari pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan di Betawi
6. Menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri
7. Membangunkan dan memajukan bangsanya
8. Memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan

Sumber: Disarikan dari Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (2003)



Sumber: Kompas, 27 Oktober 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...

Jiwa Bandung Lautan Api

Ingan Djaja Barus Staf Khusus di Dinas Sejarah Angkatan Darat Ingat anak-anakku  sekalian. Temanmu,  saudaramu malahan ada  pula keluargamu yang mati  sebagai pahlawan yang tidak  dapat kita lupakan selama- lamanya. Jasa pahlawan kita  telah tertulis dalam buku  sejarah Indonesia. Kamu  sekalian sebagai putra  Indonesia wajib turut mengisi  buku sejarah itu - Pak Dirman, 9 April 1946 T ANGGAL  24 Maret 1946, terjadi sebuah peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kita, yaitu Bandung Lautan Api. Suatu peristiwa patriotik yang gemanya abadi di setiap hati. Tak hanya bagi mereka yang pernah hidup dalam masa berlangsungnya peristiwa itu, tetapi juga bagi mereka yang lahir lebih kemudian. Pada hakikatnya peristiwa "Bandung Lautan Api" merupakan manifestasi kebulatan tekad berjuang dan prinsip "Merdeka atau Mati" TNI AD (Tentara Republik Indonesia/-TRI waktu itu) bersama para pemuda pejuang dan rakyat Jawa Barat. Mereka bergerak melawan...

Lincoln--Stanton

P rabowo sudah resmi masuk Kabinet Indonesia Maju. Bersama para pejabat kabinet lainnya, Prabowo dilantik Presiden Joko Widodo sebagai menteri pertahanan. Sebelumnya ia bersafari silaturahmi, menyambangi para ketua umum partai koalisi Jokowi. Dengan demikian, kisah nyata Lincoln-Stanton berulang di Indonesia. Edwin McMasters Stanton (1814-1869) adalah politikus dan ahli hukum yang getol sekali mencermati langkah-langkah Abraham Lincoln dan mengecamnya dengan keras. Namun, oleh Presiden Lincoln (1861-1865), Stanton justru diangkat menjadi Menteri Peperangan (Secretary of War) dalam Perang Sipil (1861-1865). Lincoln akan selalu dikenang sebagai "Great Emancipator" karena ia sangat mendukung upaya untuk menghentikan perbudakan di Amerika Serikat. Sementara Stanton membuktikan kehebatannya sebagai nasionalis dan negarawan yang setia kepada kepala negaranya. L WILARDJO Klaseman, Salatiga Sumber: Kompas , 11 November 2019