Langsung ke konten utama

Menjaga Persatuan Lewat Bahasa

Sekitar 90 tahun lalu, Kongres Pemuda II menyepakati bahasa Indonesia jadi bahasa persatuan. Kesepakatan itu kini terasa masih hangat di tengah munculnya gejala pemakaian bahasa atau ungkapan tertentu untuk menunjukkan perbedaan.

Bangunan dengan enam pilar di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat, itu masih kokoh berdiri. Bangunan berusia lebih dari dua abad yang kini menjadi kantor PT Kimia Farma itu merupakan bagian dari saksi perjuangan para pemuda di awal abad ke-20 untuk mewujudkan kemerdekaan di wilayah yang saat itu disebut Hindia Belanda.

Di gedung yang dulu bernama De Ster in het Oosten atau Bintang Timur itu, Mohammad Yamin, dalam Kongres Kerapatan Pemuda atau Kongres Pemuda I, 30 April 1926, menyatakan perlunya memakai bahasa yang sama untuk berkomunikasi di wilayah Nusantara yang beragam. Ia lalu mengusulkan bahasa yang dipakai itu adalah bahasa Melayu.

TD Asmadi di harian Kompas 21 Juli 2006 menulis, beberapa bulan sebelum kongres itu digelar, wartawan sekaligus tim perumus kongres, Mohammad Tabrani Suryowitjitro, telah mengusulkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi di Hindia Belanda. Tabrani bahkan mengusulkan penamaan bahasa itu sebagai bahasa Indonesia untuk merekatkan bangsa yang saat itu dicita-citakan bersama. "Agar orang yang berbahasa selain Melayu tidak merasa dijajah oleh bahasa Melayu, maka gunakan saja bahasa Indonesia," kata Tabrani dalam tulisannya di koran Hindia Baroe

Abdul Malik, pengajar di Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau, menulis, RM Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara jauh sebelumnya juga telah mengusulkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia pada Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, 28 Agustus 1916 (majalah Sastra Pusat Nomor 06/2014).

Bahasa perdagangan

Perkembangan kawasan Asia Tenggara sebagai pelintasan kapal-kapal Eropa yang mencari rempah dan kekayaan alam pada abad ke-17 semakin meluaskan penggunaan bahasa Melayu. 

Salah satu catatan penting penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan dan bahasa perdagangan di wilayah ini datang dari saudagar Inggris, Thomas Bowrey. Bowrey yang datang ke wilayah Asia Tenggara sekitar tahun 1680 menyebutkan, bahasa Melayu digunakan sangat luas oleh penduduk "negara Malayo".

"... di beberapa pulau seperti Jawa, Sumatera, Borneo (Kalimantan), Maccasser (Makassar), Balee (Bali), Cumbava (Sumbawa), Sallayer (Selayar), Bootoon (Buton), Booro (Buru), Ceram (Seram), dan Mollucas (Maluku) serta beberapa pulau lainnya, bahasa Melayu dapat diterima dan secara umum dipakai pada semua pelabuhan perdagangan di pulau tersebut sebagai bahasa dagang meskipun warga pulau-pulau tersebut juga memiliki bahasa masing-masing," tulis Bowrey dalam catatannya yang dibukukan sebagai Dictionary English and Malayo, Malayo and English yang terbit tahun 1701.

Selanjutnya, bahasa Melayu juga digunakan dalam perjanjian, surat-menyurat, dan pengumuman di era penjajahan Belanda. Seperti ditulis Zuber Usman dalam Bahasa Persatuan: Kedudukan, Sejarah, Persoalan-persoalannya (1970), saat itu segala urusan administrasi juga memakai bahasa Melayu.

Pada akhir abad ke-19, mulai muncul berbagai surat kabar yang menggunakan bahasa Melayu.

Sastrawan Ajip Rosidi di harian Kompas, 1 Januari 2000, menulis, para pemimpin pergerakan, seperti H Agoes Salim, Soekarno, M Hatta, Sjahrir, dan M Natsir, memakai bahasa Indonesia (Melayu) untuk tulisan dan pidato mereka.

Para tokoh pergerakan saat itu menyadari, tanpa persatuan dari anak-anak Nusantara yang amat beragam, imaji Indonesia sebagai negara merdeka tidak akan pernah terwujud. Kesadaran yang kemudian mewujud dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 itu juga memunculkan kesadaran tentang perlunya bahasa persatuan yang kemudian disepakati adalah bahasa Indonesia yang bersumber dari bahasa Melayu.

Menjaga Indonesia

Setelah 90 tahun dinyatakan sebagai bahasa persatuan, perkembangan dan tantangan terus dihadapi bahasa Indonesia.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, masih ada sekitar 400.000 kata dalam kamus keilmuan mengantre untuk diserap dalam kosakata bahasa Indonesia. Selain itu, ada kosakata dari 1.340 suku bangsa di negeri ini yang juga mengantre untuk diserap sebagai kosakata bahasa Indonesia. Penyerapan kata-kata itu akan memperkaya kosakata bahasa Indonesia.

Namun, kini juga ada fenomena lain yang perlu diwaspadai, yaitu pemakaian kata atau ungkapan tertentu, baik yang ada dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing, untuk membedakan satu komunitas/kelompok di Indonesia dengan komunitas lainnya. Pemakaian kata atau ungkapan itu akhirnya turut menciptakan segresi antarkelompok di antara bangsa Indonesia itu sendiri.

Menurut pakar linguistik Amerika Serikat, Noam Chomsky, penggunaan bahasa untuk menciptakan segregrasi ini sebagai upaya berbahasa untuk mengarahkan, membujuk orang atau sekelompok orang berjalan ke arah yang tidak tepat.

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dadang Suhendar berharap, jangan sampai bahasa Indonesia kehilangan keindonesiaannya di Tanah Air sendiri. Persatuan menjadi jalan untuk menjaga dan mencapai cita-cita bangsa Indonesia.

Soekarno, di Suluh Indonesia Muda tahun 1926 menulis, "... djikalau kita semua insjaf, bahwa pertjerai-beraian itu letaknja benih perbudakan kita; djikalau kita semua insjaf bahwa, permusuhan itulah jang mendjadi asal kita punja 'via dolorosa', djikalau kita semua insjaf bahwa Roch Rakjat Kita masih penuh kekuatan untuk mendjundjung diri menudju Sinar jang Satu jang berada di tengah-tengah kegelapan-gumpita jang mengelilingi kita ini, maka pastilah Persatuan itu terdjadi, dan pastilah Sinar itu terjapai juga. Sebab Sinar itu dekat!" 

(MAHDI MUHAMMAD/NINA SUSILO)



Perjalanan Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia

Abad ke-7 sampai abad ke-14
Bahasa Melayu (kuno) berkembang pada masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Bahasa Melayu terutama digunakan untuk perdagangan dan menyebarluaskan agama Buddha. 

Abad ke-15
Bahasa Melayu mulai mendapat sentuhan dari para pedagang Persia, Gujarat, dan Arab.

Tahun 1700 - 1850
Dalam kamus Inggris-Melayu tahun 1701, petualang Inggris, Thomas Bowrey, menulis, bahasa Melayu digunakan di Jawa, Sumatera, hingga Maluku.

Tahun 1850 - 1900
Terbit berbagai surat kabar berbahasa Melayu di Indonesia (Hindia Belanda).

Tahun 1908
Pemerintah kolonial mendirikan Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (1908), yang kelak menjadi Balai Pustaka (1917). Bahasa Melayu digunakan dalam setiap terbitan lembaga tersebut.

Tahun 1916
RM Soewardi Soerjaningrat mengusulkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, 28 Agustus 1916.

Tahun 1926
Pada Februari 1926, Tabrani mengusulkan pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu rakyat Bumi Putera. Dalam Kongres Pemuda I, 30 April 1926, M Yamin mengusulkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, seperti usulan Tabrani beberapa bulan sebelumnya.

Tahun 1928
Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928 menyepakati bahasa Melayu, yang kemudian disebut bahasa Indonesia, menjadi bahasa persatuan.

Sumber: Dari berbagai sumber.
Diolah oleh INA dan MHD



Sumber: Kompas, 30 Oktober 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...