Langsung ke konten utama

Pintu Terbuka dari Laweyan

Kemandirian ekonomi dalam pemerintahan sendiri serta penghapusan feodalisme dan kolonialisme jadi tujuan Sarekat Islam. Cita-cita besar itu bermula dari kesadaran sejumlah pedagang batik Laweyan di Solo, Jawa Tengah.

"... Penindasan selalu melahirkan adanya kelompok kecil dari kalangan minoritas kreatif. Kelompok kecil tersebut tampil menjadi kelompok pemimpin mayoritas suatu bangsa dan memotivasi terbentuknya integritas suatu bangsa."

(Arnold J Toynbee dalam A Study of History)

Jejak Laweyan sebagai benih dan pemantik pergerakan nasional sekilas tak terlihat apabila kita menginjakkan kaki di sana. Rumah-rumah megah bergaya indies dan sebagian besar lagi masih bergaya Jawa dikelilingi tembok-tembok tinggi bercat putih. Umumnya pintu gerbang terbuka. Namun, beberapa rumah masih tertutup dan menyisakan ruang pamer berdinding kaca yang memamerkan koleksi batiknya. Rumah-rumah besar di gang-gang sempit yang hanya bisa dilewati dua sepeda motor.

"Pintu gerbang kami sebelumnya selalu tertutup karena para saudagar Laweyan dulu tidak mau motif batiknya dicuri. Kami baru membuka diri tahun 2004, ketika ada upaya mengembangkan batik ke arah edukasi dan pariwisata," ungkap Alpha Pabela Priyatmono, Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, September lalu, di ruang pamernya, Batik Mahkota. Sebelumnya, batik-batik Laweyan dijual dengan sistem kulakan untuk dipasarkan di sekitar Solo dan Yogyakarta.

Sejak munculnya batik cetak (printing), tahun 1970-an, batik tulis Laweyan tergerus. Dalam upayanya untuk bangkit, komunitas batik Laweyan kini mengolah kampung wisata batik. Ke depan, pengembangan dilakukan dengan membuka koperasi bahan baku dan produksi bagi perajin batik.

Keberadaan koperasi pembatik, menurut Alpha, merupakan bagian dari refleksi kelompok Laweyan masa kini atas apa yang dirintis Samanhoedi (lahir tahun 1868), pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awal abad ke-20. Komunitas batik menyadari, kemandirian dan saling tolong di antara mereka jadi solusi saat menghadapi kesulitan.

Samanhoedi adalah saudagar batik dengan aset melimpah. Ia memiliki toko dan cabang usaha di sejumlah kota di luar Solo, seperti Surabaya, Tulungagung, Purwokerto, dan Bandung.

Nasruddin Anshoriy dan Agus Hendratno dalam buku HOS Tjokroaminoto mencatat, SDI didirikan Samanhoedi bersama koleganya sesama pengusaha batik, M Asmodimejo, M Kertotaruno, W Sumowerdoyo, dan Haji M Abdulrajak. SDI didirikan pada 16 Oktober 1905 atau tiga tahun sebelum Boedi Oetomo lahir. Namun, sumber lainnya mencatat, SDI berdiri tahun 1911. Pada 1912, ketika Haji Oemar Said Tjokroaminoto bergabung, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI).

Catatan Museum Samanhoedi, yang berada persis di belakang Kantor Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, menyebutkan, benih organisasi SDI adalah kelompok ronda "Rekso Rumekso". Saat itu, persaingan usaha makin ketat antara pengusaha batik Laweyan dan kelompok Tionghoa. Pengusaha batik Laweyan merasa diperlakukan tidak adil karena Belanda mengistimewakan pengusaha Tionghoa.

Kesadaran berorganisasi

Penting digarisbawahi, munculnya kesadaran berorganisasi di kalangan pedagang batik tidak didasari pertentangan ras, tetapi upaya pencarian kesetaraan dalam praktik ekonomi yang berkeadilan. Sejarawan Universitas Sanata Dharma, Heri Priyatmoko, mengatakan, usaha-usaha awal SDI diarahkan untuk memperbaiki kondisi pedagang batik Laweyan dalam persaingan usaha. "Samanhoedi telah memiliki kesadaran terbatas akan kebangsaan atau katakanlah proto-nasionalisme ketika dia mendirikan SDI. Meskipun SDI mulanya berorientasi ekonomi yang sifatnya komunal, dari sini lahir embrio perlawanan terhadap struktur yang lebih besar, yakni feodalisme dan kolonialisme," tuturnya.

Bergabungnya Tjokroaminoto dalam SDI menambah daya juang. Namun, Tjokro melihat cakrawala yang lebih luas dari perjuangan ekonomi. Tjokro melihat penindasan bumiputra tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang lain. SDI pun berubah nama menjadi SI tahun 1912.

Pilihan "Islam" sebagai sebuah nama organisasi karena pada masa itu Islam menyatukan kalangan terjajah di Nusantara. Aji Dedi Mulawarman dalam buku Jang Oetama menyebutkan, pada awal abad ke-20, Islam adalah representasi kebangsaan dan bumiputra.

Tjokro mampu mengartikulasikan "Islam" sebagai alat pemersatu rakyat. Islam, dalam pandangan Tjokro, memiliki sisi yang menginginkan keadilan, kesetaraan, serta merupakan ideologi pembebasan dari penindasan. Inklusivitas gerakan SI mampu menarik massa. SI memiliki pengikut yang lebih besar daripada Boedi Oetomo, yang diikuti kalangan priayi dari Jawa dan Madura.

Susanto Tirtoprodjo dalam bukunya, Sedjarah Pergerakan Nasional Indonesia, mencatat, anggota SI tahun 1916 mencapai 360.000 orang yang tersebar di 80 cabang. Sumber lain dari buku Jang Oetama menyebutkan, sampai tahun 1919, anggota SI mencapai 2,5 juta orang.

SI sejak awal menampakkan diri sebagai organisasi politik yang egaliter. Tjokro lebih senang menggunakan nama Haji Oemar Said Tjokroaminoto tanpa gelar ningrat, raden mas, yang diperolehnya sedari lahir.

Corak demokratis SI ditunjukkan Tjokro dengan sikap kooperatifnya terhadap Belanda dalam pembentukan Volksraad, Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda, pada tahun 1918. Tjokro melihat secara kritis Volksraad karena dia menghendaki bumiputra mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengatur dirinya melalui Volksraad. Tjokro akhirnya menjadi anggota Volksraad bersama dengan rekannya, Agus Salim dan Abdoel Moeis.

Pernyataan penting

Mengenai demokrasi ini, Tjokro telah menegaskannya dalam kongres SI tahun 1916 di Bandung. Ada empat pernyataan penting dalam kongres tersebut sebagaimana dicatat dalam buku HOS Tjokroaminoto. Pertama, agama Islam adalah agama yang mengajarkan ide demokrasi. Kedua, Islam merupakan dasar pokok bagi pendidikan moral dan intelektual. Ketiga, pemerintahan Hindia Belanda tidak perlu campur tangan dalam bidang agama dan hendaknya tidak membuat diskriminasi di antara agama-agama. Keempat, rakyat perlu diberi kesempatan berpartisipasi dalam politik.

SI akhirnya menjadi Partai Sarikat Islam (PSI) tahun 1923 dan berubah lagi mejadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) tahun 1929. Perwakilan PSII beberapa kali masuk kabinet Orde Lama. Tahun 1973, ketika terjadi fusi partai politik era Orde Baru, PSII melebur ke Partai Persatuan Pembangan (PPP).

Dalam konteks Indonesia modern, kemandirian, seperti diperjuangkan SDI dan SI, masih relevan. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, kemandirian menciptakan efek berantai bagi pelaku usaha.

"Kalau suatu unit berdaulat, tentu yang timbul adalah keadilan, tidak ada diskriminasi, dan bisa mendukung kesinambungan usahanya. Kalau usaha berkelanjutan tentu akan memberikan umpan balik kepada tenaga kerjanya juga," ujar Enny.

Kooperatif

Prinsip koperasi sebagaimana digagas oleh Mohammad Hatta, menurut Enny, sangat baik diterapkan untuk membantu perekonomian nasional.

"Filosofinya kooperatif, bukan persaingan. Kalau persaingan bisa berakhir dengan zero sum game atau sama-sama rugi dan pasti nanti ada yang mendominasi. Kalau kooperatif, sama-sama untung meski keuntungan itu harus dibagi dengan yang lain. Negara-negara maju telah mempraktikkan hal itu, misalnya Denmark yang berhasil dengan koperasi pertaniannya," tutur Enny.

Setelah Reformasi 1998, PSII menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas) dengan nama Syarikat Islam (SI) dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva sebagai ketua umum.

"Bagi SI, cita-cita ekonomi yang diletakkan para founding father itu masih jauh dari harapan. Para founding father menginginkan ekonomi yang berkeadilan, dan tidak lain itu adalah ekonomi kerakyatan," kata Hamdan. (REK/GAL)



Sarekat Islam

16 Agustus 1882 Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto lahir. Ia putra RM Tjokroamiseno, Wedono, Kleco, Madiun. Garis keturunanya berasal dari kalangan keraton dan ulama. Ia merupakan keturunan dari ulama Kiai Ageng Muhammad Besari, yang mendirikan pondok pesantren di Tegalsari, Ponorogo.

1902 Tjokro lulus dari OSVIA, Magelang.

1911 Sarekat Dagang Islam (SDI) didirikan oleh H. Samanhoedi dibantu Tirto Adhi Soerjo.

1912 Tjokro bergabung dan SDI berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI)

1914 Kongres SI di Yogyakarta, Tjokro mejadi Ketua SI dengan mengusung berdirinya pemerintahan sendiri atau zelfsbestuur, yang lepas dari kolonialisme dan penindasan.

1916 SI menjadi Central Sarekat Islam (CSI). Jumlah anggota SI mencapai 360.000 orang dengan 80 cabang.

1923 CSI berubah menjadi Partai Sarikat Islam (PSI).

1924 Tjokro mengeluarkan sintesa pemikirannya tentang Sosialisme dan Islam.

1929 PSI menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan menjadi anggota Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Tahun 1930, PSII keluar dari PPPKI. Perwakilan PSII beberapa kali masuk kabinet semasa Orde Lama.

1973 Ketika terjadi fusi partai politik di masa Orde Baru, PSII melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan.

1998 Syarikat Islam keluar dari fusi politik.

1999 menjadi parpol peserta pemilu.

2015 Syarikat Islam menjadi organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam dakwah ekonomi.

Tjokro memesankan program tahdhim sebagai arah gerakan para kader SI, yakni berisikan trilogi SI: sebersih-bersih tauhid, setinggi-tinggi ilmu, dan sepandai-pandai siyasah.

Sumber: REK, diolah dari buku Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto, HOS Tjokroaminoto: Pelopor Perjuangan, Guru Bangsa, dan Penggerak Sarikat Islam, serta hasil wawancara lapangan.



Sumber: Kompas, 28 Oktober 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...