Oleh AHMAD SYAFII MAARIF
Tentang waktu permulaan Kebangkitan Nasional, saya berbeda pendapat dengan ketetapan resmi, tetapi tidak perlu dibicarakan di sini. Yang penting dalam suasana bulan Mei 2011 ini kita melakukan refleksi tentang keindonesiaan kita dengan harapan dapat menggugah kesadaran batin bersama akan makna tanggung jawab kolektif terhadap bangsa yang sudah merdeka selama hampir 66 tahun.
Jika kesadaran itu tetap saja tumpul dan rapuh, segala peringatan--apa pun bentuk dan coraknya--adalah sebuah kesia-siaan.
Dalam pantauan saya, ditinjau dari sistem nilai konstitusi kita, perjalanan bangsa ini semakin kehilangan arah, sementara sebagian besar para elite seperti tidak hirau dan tidak peduli. Pragmatisme politik dan ekonomi telah semakin memperparah situasi kebangsaan kita.
Retrospeksi sejarah
Menurut catatan Leslie H Palmier, sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan 1945, dalam perspektif hubungan kekuasaan di Nusantara, ada tiga kelompok sosial penting yang interaksi mereka memengaruhi tanah jajahan.
Pertama, orang Belanda di negeri induk yang diwakili oleh Pemerintah Belanda di Den Haag. Kedua, komunitas Belanda lokal yang semakin diwakili oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Ketiga, rakyat jelata yang diperintah oleh dua golongan di atas, sementara pengaruh mereka terhadap pemerintah jajahan hampir tidak ada (Leslie H Palmier, Indonesia and the Dutch, London: Oxford University Press, 1962, halaman 2).
Sampai dengan era Politik Etis pada awal abad ke-20, pemerintah memang tidak berkeinginan untuk mencerdaskan penduduk pribumi. Ini adalah suatu politik yang sesungguhnya logis menurut kacamata penguasa, sebab rakyat yang cerdas akan sangat berbahaya bagi kelangsungan sistem penjajahan.
Pada akhir abad ke-19 di seluruh Nusantara terdapat lebih dari 80.000 murid, sebagian belajar pada sekolah-sekolah misi. Dari jumlah itu, pada tahun 1900 hanya ada 2.000 anak pribumi yang belajar di sekolah misi tersebut yang kualitasnya memang cukup bagus karena pemerintah memang selalu menghalangi mereka untuk belajar di sana.
Ribuan yang lain belajar di sekolah-sekolah desa yang mutunya jauh berada di bawah standar. Jika disandingkan dengan penduduk Nusantara sebanyak 30 juta pada 1900 itu, maka yang dapat belajar pada sekolah-sekolah yang bermutu tinggi amatlah kecil (Ibid, halaman 5).
Waktu terus bergulir dengan kecepatan tinggi. Sekalipun dengan susah payah bagi pribumi, Politik Etis memang telah membuka pintu bagi mereka untuk memasuki dunia pendidikan. BU (Budi Utomo) yang didirikan di Batavia pada 20 Mei 1908 atas inisiatif pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Indlansche Artsen/sekolah untuk melatih dokter pribumi) adalah gerakan pencerdasan awal untuk menebus ketertinggalan di atas.
Pencerdasan dan pencerahan
Dr Wahidin Sudirohusodo punya jasa besar dalam mengilhami para pelajar ini, termasuk di antaranya Soetomo, untuk menolong bangsa Jawa yang sebagian besar buta huruf. Langkah strategis BU kemudian diikuti antara lain oleh gerakan Adabiyah di Padang, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad di Jawa. Proses pencerdasan dan pencerahan ini memang berlangsung sangat lamban.
Cobalah membayangkan saat proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Dengan jumlah penduduk 70 juta, tingkat buta huruf rakyat Indonesia berada pada kisaran angka 90 persen, mayoritas adalah kaum perempuan.
BU pada masa awal dibentuk oleh dua kekuatan kultural: Jawa dan Barat. Muhammadiyah dan Al-Irsyad oleh Islam, Barat, Jawa, dan Arab, sedangkan Adabiyah oleh Islam, Barat, dan kultur Minangkabau. Dalam upaya mengembangkan organisasi modern, tokoh-tokoh BU banyak membantu Muhammadiyah, khususnya di residensi Yogyakarta. Ahmad Dahlan sendiri bahkan pernah menjadi pengurus BU di samping sebagai pengurus SI (Sarekat Islam).
Antara tahun 1920-1930 muncul pula Taman Siswa, NU (Nahdlatul Ulama), dan Persis (Persatuan Islam), semua bergerak di bidang pendidikan, baik yang bersifat umum maupun dalam corak madrasah dan pesantren. Khusus untuk NU, maka rahim pesantrenlah yang bertanggung jawab melahirkan karena keberadaan pesantren jauh mendahului NU.
Dalam bacaan saya, kekuatan kultural yang paling bertanggung jawab untuk proses keindonesiaan pada tahun 1920-an itu adalah sistem pendidikan Barat, baik yang didapat melalui pusat-pusat pendidikan domestik maupun yang langsung diterima oleh pelajar dan mahasiswa Indonesia di Eropa. Sistem pendidikan Barat-lah yang membuka otak dan hati para pemuda Indonesia tentang makna kemerdekaan, nasionalisme dan demokrasi.
Di Eropa para pemuda itu berhimpun dalam PI (Perhimpunan Indonesia). Di Tanah Air, khususnya di Batavia, mereka semula bergerak dalam organisasi-organisasi kedaerahan untuk kemudian melebur menjadi satu berkat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Dengan demikian, keindonesiaan yang sejati adalah hasil dari pergulatan sejarah di tahun 1920-an itu. PKI (Partai Komunis Indonesia) dan PNI (Partai Nasional Indonesia) juga muncul di era ini. Sebelum itu rumusan untuk sebuah bangsa yang bernama Indonesia masih bersifat remang-remang. BU, Adabiyah, SI, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Taman Siswa, Persis, dan NU belum punya gagasan yang jelas tentang keindonesiaan itu.
Di era pra-Sumpah Pemuda, yang disebut bangsa adalah bangsa Jawa, bangsa Sumatera, bangsa Batak, bangsa Bugis, bangsa Minahasa, bangsa Banjar, bangsa Ambon, dan lain-lain. Maka berkat Sumpah Pemuda, istilah aneka bangsa itu diciutkan menjadi suku bangsa, atau secara kultural menjadi subkultur.
Dengan kata lain, keindonesiaan tersebut diramu dan dianyam dari berbagai suku bangsa dan subkultur dalam sebuah kebinekaan yang sangat kaya, tetapi juga mengandung berjibun masalah yang tidak mudah dipecahkan sampai hari ini. Itu sebabnya para pendiri bangsa selalu menekankan perlunya percepatan proses nation and character building agar Indonesia merdeka tampil sebagai bangsa yang padu dan kuat di tengah pergaulan dunia.
Masa depan keindonesiaan
Sebagai penjabaran dari gagasan nasionalisme dan demokrasi, berbagai sistem politik telah diujicobakan sejak proklamasi. Akan tetapi, belum satu pun yang berhasil mendekatkan bangsa ini kepada tujuan yang telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Semestinya dengan modal filosofi Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya, Indonesia tidak perlu bingung dalam memastikan arah ke depan di tengah-tengah persaingan global yang tak kenal belas kasihan.
Namun, rupanya pengalaman pahit dalam proses berbangsa dan bernegara selama ini belum juga mampu menajamkan mata batin kita agar kesadaran untuk bertanggung jawab menjadi milik kita bersama. Masa depan yang dibayangkan tidak lain adalah terciptanya sebuah Indonesia yang adil, beradab, aman, dan nyaman di bawah kepemimpinan visioner, demokratik, dan punya hati nurani.
Ke arah itulah bola kesadaran nasional itu harus digulirkan dengan sungguh-sungguh.
AHMAD SYAFII MAARIF
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
Sumber: Kompas, 20 Mei 2011
Komentar
Posting Komentar