Oleh KI SUPRIYOKO
SERATUS tiga tahun yang silam, tepatnya tanggal 20 Mei 1908, Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Suradji, Soewarno, Goembrek, Muhammad Saleh, R. Angka, dan kawan-kawan yang waktu itu tercatat sebagai pelajar pada sekolah pendidikan dokter Hindia, School tot Opleiding van Indische Artsen atau STOVIA sepakat melahirkan organisasi sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan politik yang diberi nama Boedi Oetomo. Lahirnya Boedi Oetomo memang melalui sejarah yang cukup panjang dan penuh dengan romantika. Bagaimanapun Boedi Oetomo lahir di lingkungan orang-orang Belanda sehingga tidak boleh terlalu "telanjang" yang dapat menimbulkan kemarahan pemerintah kolonial.
Menurut sejarawan berkelas dunia yang berprofesi sebagai dosen pada Deparment of History, National University of Singapore (NUS), Prof. M. C. Ricklefs, B.A., Ph.D., FAHA, nama Wahidin Soedirohoesodo tidak tercatat di dalamnya karena memang tidak termasuk pendiri Boedi Oetomo. Ketika dia berdiskusi di pesantren yang saya asuh, Pesantren Ar-Raudhah Yogyakarta, Pak Ricklefs menyatakan bahwa Wahidin memang menjadi penggagas dan bahkan pernah memimpin Boedi Oetomo, tetapi bukan pendiri Boedi Oetomo.
Kondisi pendidikan
Ketika Boedi Oetomo lahir, yang kemudian hari kelahirannya dicanangkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, kondisi masyarakat kita amat memprihatinkan. Kinerja pendidikannya rendah, ekonominya buruk, kesehatannya jelek, dan kependudukannya pun sangat tidak membanggakan.
Meskipun tidak tercatat sebagai pendiri akan tetapi lahirnya Boedi Oetomo tidak terlepas dari jasa baik Wahidin, seorang dokter dari Jawa yang notabene sebagai orang yang gigih memperjuangkan cita-cita untuk memintarkan rakyat Indonesia; meskipun secara resmi istilah Indonesia belum digunakan pada saat itu.
Sejak sebelum Boedi Oetomo berdiri, Wahidin tercatat sebagai pejuang yang suka datang dari satu kota ke kota lain di Pulau Jawa untuk menemui tokoh masyarakat guna mengomunikasi gagasan mengumpulkan "dana pelajar" demi menyekolahkan anak-anak bangsa yang cerdas tetapi memiliki kendala ekonomi untuk melanjutkan sekolahnya. Wahidin berkeinginan agar anak-anak cerdas Indonesia dapat bersekolah setinggi mungkin dan dari kecerdasannya tersebut akan dikombinasikan dengan semangat perjuangan untuk memerdekakan rakyat.
Pada suatu saat Wahidin berdiskusi dengan Soetomo dan kawan-kawan di lingkungan STOVIA Jakarta. Dalam diskusi tersebut di samping melontarkan gagasan tentang "dana pelajar", Wahidin juga mengutarakan gagasannya tentang perlunya sebuah organisasi untuk menghantarkan kemerdekaan bangsa. Gagasan ini pun segera "ditangkap" oleh Soetomo dan kawan-kawan yang kemudian dapat mendirikan Boedi Oetomo sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Menurut sejarawan Abdurachman Surjomihardjo dalam karya tulisnya Awal Mula dan Perkembangan Wawasan Kebangsaan Indonesia 1908-1945 (1989), disebutkan bahwa pikiran-pikiran yang dilontarkan oleh para pelajar STOVIA sebagai pendiri Boedi Oetomo pada waktu itu ada empat hal yang saling kait-mengait. Ada pun empat hal yang dimaksud adalah sebagai berikut: Pertama, tidak meratanya pendidikan bagi golongan rendah oleh karena pelayanan pendidikan masih didominasi oleh kaum bangsawan dan priyayi. Kedua, keterbelakangan sosial ekonomi yang merupakan kontras kehidupan khususnya di Batavia. Ketiga, perlu ditumbuhkannya cara berpikir "progresivisme sekuler" yang menggambarkan kemajuan bangsa tanpa membedakan keturunan, jenis kelamin, dan agama. Keempat, menjalankan taktik politik modern.
Dalam kongres pertamanya tanggal 3 sampai dengan 8 Oktober 1908, cita-cita Boedi Oetomo pun diformulasikan secara sederhana, yaitu perluasan pengajaran kepada bangsa Jawa. Meskipun secara eksplisit Boedi Oetomo menyebutkan bangsa Jawa akan tetapi di dalam kiprahnya berskala nasional, Indonesia, sehingga semangat yang dikobarkan pun pada dasarnya adalah semangat kebangsaan; yaitu bangsa "Indonesia".
Jadi, semangat kebangsaan kita lahir di tengah-tengah masyarakat yang masih tertinggal. Melalui pengajaran (baca: pendidikan), Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, dan kawan-kawan, ingin mengentaskan kebodohan bangsa agar dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa lain.
Perbaikan pendidikan
Meskipun jaraknya sudah berselang lebih dari satu abad, tetapi kondisi pendidikan di Indonesia sekarang ini ada beberapa hal yang sama, terutama belum meratanya pelayanan pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
Angka partisipasi pendidikan pada berbagai satuan mengalami kenaikan pesat dibandingkan dengan kondisi satu abad silam kiranya memang benar. Namun, ketuntasannya memang terasa makin jauh. Sekarang ini angka partisipasi pendidikan pada satuan sekolah menengah pertama (SMP) masih berkutat pada angka 60 persen, artinya terdapat 60 dari setiap 100 anak usia SMP yang bersekolah. Lainnya? Tidak bersekolah, menganggur, bekerja seadanya, dan sebagainya. Tingkat partisipasi pada satuan sekolah menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi tentu lebih kecil lagi.
Mengenai pelayanan pendidikan yang bermutu juga belum merata. Benar bahwa pemerintah mulai memberikan pelayanan pendidikan bermutu melalui Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) misalnya, dan sekarang ini tercatat lebih dari 1.000 sekolah berstatus RSBI dari berbagai satuan, tetapi pelayanannya masih "pilih kasih". Semua orang tahu kalau RSBI cenderung dinikmati oleh orang-orang yang kantongnya tebal, si kaya, the have, atau apa pun namanya. Bagi masyarakat miskin atau the have not jangan harap dapat masuk RSBI dengan mudah.
Kondisi pendidikan seperti sekarang ini rasanya sangat sulit untuk diperbaiki. Masalahnya kondisi pendidikan sekarang ini bukan diciptakan oleh pemerintah penjajah tetapi justru oleh pemerintah kita sendiri. Untuk memperbaikinya diperlukan kebangkitan nasional yang kedua, yaitu kebangkitan pendidikan nasional!!!***
Penulis, Direktur Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta dan pengasuh Pesantren Ar-Raudhah Yogyakarta.
Sumber: Pikiran Rakyat, 20 Mei 2011
Komentar
Posting Komentar