Apakah Indonesia mau bangkrut? Pertanyaan itu muncul dari ngalor-ngidul bicara saat mencari aktualisasi Hari Kebangkitan Nasional 2011.
Judul tulisan ini dimodifikasi dari kalimat Sutan Sjahrir dalam Renungan Indonesia. Selengkapnya berbunyi: "Aku cinta pada negeri ini, terutama barangkali karena aku selalu mengenal mereka sebagai pihak yang menderita, pihak yang kalah."
Sjahrir kritis terhadap Indonesia, tidak lelah memperjuangkan sosialisme untuk Indonesia dengan senantiasa dilandasi cinta yang tidak pernah letih, terutama dalam upaya mengembangkan Indonesia (Mengindonesia) bernapaskan kemanusiaan.
Setelah 103 tahun kebangkitan nasional, bangsa Indonesia kini terjerat dalam politik pencitraan dan perilaku kurang terpuji elitenya. Kita tidak bermaksud bernostalgia dengan masa lalu, tetapi menangkap semangat luhur penuh inspiratif yang disampaikan bapak-bapak bangsa, di antaranya Sjahrir.
Menyikapi kondisi memprihatinkan negeri ini secara kritis, membangun kesadaran bersama, seperti yang dilakukan dalam "metode pendidikan" Paulo Freire di Brasil. Ujungnya pendobrakan atas kondisi ketertindasan yang disertai kesadaran bersama dan bukan sekadar anut grubyuk--ikut-ikutan.
Apakah suasana ketidakpuasan saat ini didasari sikap kritis semacam itu? Ya dan tidak. Ya, sebab mengembangkan sikap kritis atas praksis pemerintahan tidak digerakkan motivasi memetik keuntungan kelompok atau pribadi. Tidak sebagai kebalikan dari semua sikap kritis dengan motivasi utama siap menggantikan.
Ketidakpuasan itu sehari-hari kita saksikan dan disampaikan secara masif oleh media massa. Harapan pada kinerja pemerintahan nyaris sia-sia. Kelompok-kelompok yang bersikap kritis plus sudah pasang kuda-kuda bersiap menjadi sais baru. Kesabaran rakyat ada batasnya, tetapi kita tidak ingin selalu kembali dari nol.
Adakah gerakan rakyat yang damai, tidak serba membalikkan seperti yang umumnya terjadi? Afrika Selatan dengan sosok Nelson Mandela yang jadi contoh klasik tidak serta-merta bisa dipungut mentah-mentah. Kultur politik sosial budaya lain. Yang sebaiknya dipungut adalah semangat yang mendasari, yakni merasa memiliki Indonesia sebagai warisan bersama yang harus terus kita kembangkan. Indonesia adalah milik bersama.
Apa langkah konkret tidak letih mengindonesia? Di antaranya "roh" Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 plus amandemen 2002 diterjemahkan dalam praksis pemerintahan. Pasal-pasal tentang Negara Kesejahteraan dalam tubuh UUD 1945 termasuk yang diamandemen, sudah waktunya memperoleh landasan legal. Sudah saatnya, demi terwujudnya hak asasi manusia dan mengantisipasi representasi buruk parpol, dilegalkan calon presiden dan wakil presiden perorangan.
Sumber: Kompas, 20 Mei 2011
Komentar
Posting Komentar