"Tujuh puluh delapan tahun yang lalu, 20 Mei 1908, Dokter Soetomo telah membuat percikan api kebangkitan nasional di Gedung Stovia. Dan sampai kini nyalanya tetap memberi jiwa dan semangat untuk mengisi cita-cita kebangkitan nasional!" begitu antara lain sambutan Menteri Penerangan H. Harmoko, ketika meresmikan monumen Dokter Soetomo di Desa Ngepeh, Nganjuk, Jawa Timur. Monumen itu diresmikan pada tanggal 6 Mei yang lalu, di atas tanah seluas 1,75 hektar. Memang sepantasnya dibuat monumen agung untuk mengenang jasa-jasa beliau sebagai salah seorang pendiri Boedi Oetomo. Suatu wadah yang merupakan organisasi modern pertama lahir di Indonesia, bertujuan untuk memajukan pengajaran dan kebudayaan bangsa Indonesia. Sejak adanya Boedi Oetomo bangsa kita bangkit, untuk membebaskan diri dari penjajah. Itulah yang membuat Soetomo pernah diancam akan dikeluarkan dari STOVIA. Tapi dia tidak gentar. Soetomo dan kawan-kawannya terus melebarkan sayap Boedi Oetomo demi kemajuan bangsa Indonesia.
Untuk mengenang jasa-jasanya yang tidak sedikit itu, dalam rangka menyambut Hari Kebangkitan Nasional yang ke-78, pada tahun 1986 ini, kamu turunkan cuplikan riwayat hidup Dokter Soetomo yang sifatnya "unik" tapi sangat mungkin "membentuk pribadinya" menjadi orang besar. Cuplikan ini kami ambilkan dari riwayat hidup yang ditulisnya sendiri, beberapa puluh tahun silam.
Soetomo lahir di Desa Ngepeh, Kabupaten Nganjuk (Jawa Timur), pada hari Minggu Legi, 30 Juli 1888. Ia anak sulung dari pasangan suami-istri R Soewadji dan RA Soewadji. Tapi Soetomo sendiri diasuh kakek dan neneknya yang sangat memanjakannya.
"Eyang!" begitu bila Soetomo memanggil neneknya. Dan sebutan "Embah, untuk memanggil kakeknya. Kakek dan neneknya itu adalah orang tua ibu Soetomo. Nama mereka, R Ng Singowidjojo (kakek) dan RA Singowidjojo (nenek).
R Ng Singowidjojo adalah orang terpandang di Ngepeh, karena ia seorang Kepalang (jabatan di atas lurah). Tahun 1901 ia naik haji dan zaman itu langka sekali orang menunaikan ibadah haji. Tapi yang membuat Soetomo bangga bukanlah karena kakeknya itu seorang haji atau kepalang. Soetomo mengagumi kakeknya karena Sang Kakek sebagai pamong menjalankan tugasnya dengan baik sekali. Ia memperhatikan kepentingan rakyat dan selalu berusaha berbuat seadil mungkin. Tulis Soetomo: "Saya ingat akan adanya orang-orang yang beberapa hari diikat olehnya (oleh Sang Kakek) pada tiang pendopo." Melihat itu Soetomo heran dan lalu protes pada kakeknya agar orang itu dibebaskan. Antara lain kakeknya menjawab: "Daripada dia dihukum Belanda dengan siksaan berat, dimasukkan penjara, lebih baik saya hukum sendiri. Orang yang dimasukkan dalam penjara setelah keluar justru rusak mentalnya. Jadi, lebih baik saya hukum menurut aturan saya sendiri!" Soetomo mengerti, bahwa apa yang dilakukan kakeknya adalah demi kebaikan orang bersangkutan.
Kakek Soetomo itu juga berjiwa sosial dan suka pembaharuan. Misalnya, kalau dia keluar kota selalu membawa oleh-oleh yang aneh-aneh, untuk bisa dikembangkan. Misalnya, pohon sawo manila dan kambing gibas. Pohon itu lalu dibagi-bagikan, juga kambingnya agar menyebar-luas. Pun, kakek Soetomo cinta satwa terutama kuda. Karena terlalu cintanya, ia punya kuda tak pernah ditunggangi, ke mana-mana dituntun saja.
Nenek Soetomo, RA Singowidjojo, selain wanita yang taat menjalankan ibadah, ia pun cinta lingkungan. Di sekitar tamannya ia tanami perdu melati dilengkapi kolam. Jendela kamarnya senantiasa dibuka lebar-lebar, harumnya melati dan udara segar senantiasa memandikan kamarnya. Tiap malam terang bulan, ia selalu mengajak Soetomo menikmati indahnya bulan di tengah malam, sambil bersyukur kepada Tuhan.
Ada saatnya senang, ada saatnya harus prihatin, itulah prinsip hidup kakek dan nenek Soetomo. Saatnya bersenang-senang, mereka membuat pesta semua kenalannya diundang, tapi saatnya harus prihatin ya ... tirakat, juga menjauhi makanan yang enak-enak. Untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan, sebagai kepalang, kakek Soetomo selalu mengetrapkan sambatan (bekerja gotong-royong). Gaya hidup orang yang mengasuhnya itu, membekas sekali di hati Soetomo dan setelah ia dewasa mengetrapkannya. Ini terbukti dari sikap hidupnya yang senantiasa merakyat. Ia selalu ingin bersama rakyat, sekalipun kedudukan Soetomo "di atas". Misalnya, sebagai dokter ia tak merasa tinggi, tapi sangat memperhatikan kepentingan rakyat. Ia praktek dengan tarif murah, bahkan yang miskin dibebaskan dari pembayaran.
*
Soetomo suka membaca buku karangan Multatuli (Max Havelar). Sangat mungkin, ini yang mempengaruhinya sehingga ia tergugah mendirikan Boedi Oetomo. Untuk menghimpun kekuatan, kesatuan dan persatuan, ia berlandaskan permainan gamelan. Hal itu ia ungkapkan melalui tulisannya yang berjudul Kewajiban dan Gamelan. Antara lain dalam tulisan itu ia ungkapkan: Marilah kita teliti bagaimana para penabuh gamelan melakukan pekerjaan mereka masing-masing.
Pertama yang kita lihat yaitu bahwa masing-masing penabuh sudah ahli menangani tugasnya. Si Panjak yaitu si penabuh kendang haruslah seorang yang sudah mahir dalam hal menabuh kendang. Penabuh gambang, saron, kempul, gong, dan lain sebagainya semuanya haruslah orang-orang yang sudah terampil, demikian pula tukang rebab dan pesinden.
Selain daripada itu, masing-masing penabuh harus paham betul tentang aturan dan cara menabuh tiap-tiap lagu. Setiap penabuh harus tahu bilamana ia boleh membunyikan instrumen yang dipegangnya dan kapan ia harus berhenti. Sebab bila ia tidak tahu tentang aturan dan cara itu dan tidak ditepati, maka lagu yang sedang diperdengarkan menjadi sumbang (blero). Misalnya penabuh gong, bila belum waktunya menabuh sudah memukul gong, maka tentu suara gamelan menjadi blero. Bila pesinden membawakan lagu tidak sesuai dengan tinggi rendahnya nada, tentu tidak dapat memuaskan pendengar yang sedang menikmati suara gamelan itu. Jadi harus ada kerja sama di samping tiap warga mengetahui dan mahir dalam bidangnya masing-masing.
Jika masing-masing warga berbuat demikian, yaitu mengetahui dan melaksanakan kerja sama, tentu dapat menghasilkan suara atau lagu karena sama-sama berdisiplin dan bekerja sama, sudah barang tentu hasil pekerjaannya akan serba harmonis dan dapat memperdengarkan lagu gamelan yang merdu, yang menggembirakan semua orang. (NP)
Sumber: Suara Karya, 18 Mei 1988
Komentar
Posting Komentar