BERDIRINYA Boedi Oetomo (BU) tahun 1908, tak bisa dilepaskan dari gejala bangkitnya kelas menengah masyarakat Jawa. Dan kebangkitan kelas menengah Jawa ini ternyata dimotori oleh golongan priyayinya. Baik priyayi profesional "jebolan" Stovia, maupun priyayi birokratis yang kebanyakan berpangkat "regent" (: bupati yang diangkat penguasa kolonial) dan sekelompok wedana, yang semuanya terserap ke dalam hierarki administrasi kolonial. Kebangkitan golongan priyayi membuktikan adanya penyusunan pandangan-pandangan Barat (Eropa ke dalam masyarakat penguasa Jawa melalui proses rekayasa pendidikan).
Sejak 1864, orang-orang Jawa telah diterima dalam sekolah Belanda, bernama ELS (Europeesche Lagere School). Ini adalah satu-satunya sekolah dasar yang mengajarkan bahasa Belanda kepada orang Jawa. Saat itu, bahasa Belanda adalah syarat utama untuk meneruskan pendidikan seseorang di sekolah kedokteran atau sekolah guru. Bagi masyarakat penguasa Jawa, ELS adalah sarana "demokratisasi" awal di sektor pendidikan, yang pernah dipeluangkan oleh penguasa kolonialnya.
Pada tahun 1851 berdirilah Stovia. Saat itu sekolah bergengsi ini masih berjuluk Sekolah Dokter Jawa, atau Sekolah Latihan Kedokteran Pribumi. Pada taraf awal lama pendidikannya cuma tiga tahun. Lalu diperpanjang menjadi lima tahun. Diperbaiki lagi menjadi tujuh tahun. Dan akhirnya menjadi sembilan tahun pada tahun 1908. Sekolah Dokter Jawa ini menerima status akademis yang penuh sebagai Stovia dalam tahun 1902.
Meskipun profesi kedokteran menerima kehormatan akademis yang tinggi, bahkan di kalangan bangsa Belanda sendiri, namun status sosialnya di kalangan masyarakat Jawa masih sangat rendah. Atau, lebih tepat, cenderung "direndahkan" secara politis. Priyayi-priyayi Jawa, terutama dari jalur birokrasi pemerintahan, menerima kehadiran pejabat-pejabat kesehatan itu dengan rasa permusuhan. Bisa dimaklumi, karena kehadiran kelas priyayi baru ini berpotensi ancaman terhadap citra dan gengsi sosial para priyayi birokratis. Apa sebabnya?
Seorang lulusan dokter kesehatan akan langsung dipekerjakan dengan gaji berkisar antara 75 sampai 150 gulden per bulan. Skala gaji seperti ini adalah sama dengan skala gaji untuk asisten wedana kelas satu: suatu kedudukan tertinggi bagi priyayi bukan ningrat dalam sistem administrasi kolonial saat itu. Itupun kalau si priyayi mampu melampaui ujian masa dinas yang lamanya sampai 16 tahun. Karenanya, di mata para priyayi birokrasi, Stovia sering dianggap suatu sekolah untuk orang miskin. Di sini, sentimen sosial berbicara. Osvia atau Sekolah Guru malah lebih digandrungi. Padahal, secara profesional lulusan Osvia tidaklah dapat melucuti rantai ketergantungan ekonominya kepada pemerintah kolonial Belanda. Hanya para lulusan Stovia-lah yang sesungguhnya berpeluang untuk itu.
Begitu lulusan Stovia telah menyelesaikan ikatan dinasnya dengan pemerintah kolonial, mereka segera dapat melakukan praktek umum sebagai dokter pribumi. Pada umumnya, penguasaan bahasa Belanda mereka pun sangat baik. Jadi mereka dapat membebaskan diri dari ketergantungan ekonomi kepada pemerintah kolonial Belanda. Golongan priyayi profesional ini bisa mempunyai kesempatan untuk memperoleh kebebasan ekonomi dari kantor administrasi kolonial. Potensi ke arah ketaktergantungan ekonomi inilah yang menjadi penyulut aspirasi politik mereka. Wajarlah jika dari mereka lalu muncul pengutaraan kekesalan terhadap bentuk dan nilai usang masyarakat tradisional. Mereka juga yang mempunyai keinginan untuk pembaruan sosial. Mahasiswa-mahasiswa terkemuka Stovia, seperti Tjipto Mangoekoesoemo, Soewardi Soeryaningrat, dan Soetomo, berhasil menelurkan kemauan-kemauan dinamis, untuk meningkatkan lebih jauh aspirasi-aspirasi pribadi mereka sendiri. Suatu keberanian politik yang mustahil dipunyai golongan guru atau para "regent". Guru-guru masih bergantung kepada administrasi kolonial untuk sarana pekerjaan mereka. Sedang para "regent" cenderung mempertahankan Status Quo dengan mempertahankan bentuk masyarakat paternalistik yang sudah ada, karena dipandang sangat menguntungkan kedudukan mereka.
Di Jawa sendiri saat itu, formalisme pangkat cenderung lebih diagungkan ketimbang keterampilan profesional. Perlakuan merendahkan martabat dokter oleh birokrat dari golongan ningrat pribumi menjadi kelaziman. Untuk mengukur ketinggian martabat seseorang dalam hierarki sosialnya lebih banyak ditambatkan pada ascribed status, atau status keturunan. Status yang diperjuangkan berdasarkan keahlian, atau achieved status belum menjadi sarana mobilisasi status. Ini menunjukkan kondisi tipikal dari corak masyarakat paternalistik pada masa transisinya, di mana status sosial, kedudukan birokratis, prestasi pendidikan dan derajat penghasilan masih belum mapan dalam hierarki masyarakatnya.
Spektrum sosial dalam tubuh masyarakat priyayi Jawa sendiri masih berupa mosaik yang berbhineka. Dalam masyarakat priyayi itu terdapat suatu perbedaan yang mencolok antara priyayi birokratis dan bukan birokratis. Priyayi ningrat berdasarkan ascribed status dengan priyayi bukan ningrat yang memegang ascribed status. Priyayi yang berpendidikan Belanda dan yang masih berpendidikan pribumi. Priyayi yang bekerja berdasarkan profesi dalam praktek swasta dan mereka yang bekerja dengan ketaatan penuh kepada birokrasi pemerintah kolonial. Dalam kondisi kolasi-sosial seperti ini kecenderungan ke arah isolasi kelompok pun terjadilah. "Proteksionisme" di tingkat kesadaran status kelas dengan sendirinya memaksa kelompok-kelompok tertentu dalam golongan masyarakat priyayi untuk berembuk mempersatukan diri dengan kelompok tertentu lainnya, yang dalam bentuk kohesi kelas tersebut dianggap dapat meningkatkan atau melindungi kepentingan-kepentingan sosial dan priviliege mereka. Masyarakat priyayi Jawa bukanlah merupakan golongan yang serba sama dengan kepentingan-kepentingan sosial yang seragam.
Dalam kondisi begitulah, BU dilahirkan. Gerak penglahiran ini bertombak dua. Ketika Wahidin menghimbau dukungan dan dana-dana dari orang-orang Jawa yang berkedudukan tinggi dalam pemerintahan, demi menguatkan dukungan dana dan penyiapan kemungkinan "infrastruktur politik" bagi pembiayaan pendidikan para priyayi, maka para mahasiswa di Stovia, yang kebanyakan berasal dari priyayi rendah dan priyayi angkatan muda, dipimpin oleh Soetomo mulai pula mempersiapkan dasar persatuan secara lebih konsepsional.
Program utama BU sendiri berusaha meningkatkan dan membuat lebih banyak serta lebih baik lagi kualitas pendidikan Belanda untuk kaum priyayi. Maksudnya agar priyayi-priyayi itu mampu untuk berlomba secara lebih baik dalam dunia modern. Sebagaimana ternyata kemudian, BU lebih banyak didukung oleh para priyayi bukan ningrat, priyayi birokratis rendahan, guru-guru, dan dokter-dokter kesehatan. Sedang priyayi profesional bukan ningrat lebih berperan dalam tingkat pengajuan prakarsa, ketimbang para priyayi ningrat birokratisnya.
Dalam publikasi Jong Indie I, NO. 14: Okt. 3, 1908 yang merupakan usulan daftar BU cabang Batavia pimpinan Soewarno, dicakupkan masalah-masalah programatis BU, meliputi: pendidikan desa, perawatan orang miskin, perbaikan-perbaikan dalam kesejahteraan sosial, kesederhanaan bagi golongan-golongan atas dan pengembangan industri pribumi, juga pembentukan modal di kalangan golongan menengah.
Daftar topik itu jelas cuma bersifat usulan. Dalam kongres pertama BU di Yogyakarta, tanggal 3 s/d 5 Oktober 1908, perselisihan haluan di tingkat pengesahan daftar topik itu terjadi. Priyayi profesional angkatan tua, diwakili oleh Wahidin, Radjiman, dan Djiwasewaja tak berhasil mencapai kata mufakat dengan para penggagas dari angkatan mudanya, yang suaranya diwakili oleh Goenawan Mangoenkoesoemo, Soetomo, dan Tjipto Mangoekoesoemo.
Wahidin, dalam pidato pembukaan kongres, lebih mengagungkan nilai sejarah Jawa dan menekankan pentingnya pendidikan Barat bagi kemajuan Jawa. Yang jadi obsesinya cuma pendidikan golongan priyayi, bukan pendidikan desa secara umum. Asas ini berbeda haluan dengan prakarsa angkatan mudanya. Goenawan misalnya, menekankan pentingnya mendirikan lebih banyak sekolah-sekolah desa dengan dana beasiswa bagi anggota golongan priyayi. Soetomo berharap supaya BU bisa meningkatkan pendidikan dasar di atas bentuk-bentuk pendidikan lainnya. Sedang Tjipto, yang selalu bersuara keras, mengemukakan pentingnya pendidikan yang bukan hanya untuk priyayi Jawa saja, melainkan bagi seluruh penduduk Hindia Belanda. Iapun mengusulkan supaya BU mengorganisasikan diri secara politik untuk melindungi dan meningkatkan kepentingan-kepentingan organisasinya. Dalam kelanjutannya, usulan angkatan muda tersebut toh tidak mendapat "follow up" yang tepat.
Hampir semua priyayi birokratis, yang sebenarnya lebih berkepentingan dalam mengamankan status quo, di bawah pengaruh para "regent" sendiri, memboikot kongres itu. Priyayi birokratis lebih berkepentingan memelihara konservatisme, ketimbang sungguh-sungguh memikirkan gagasan-gagasan radikal. Kecenderungan untuk isolasi kelompok pun akhirnya muncul lagi. Hampir bersamaan dengan kongres BU, para "regent" juga sibuk mengorganisasikan kemungkinan persatuan mereka sendiri. Didirikanlah Sedya Mulya, artinya: Upaya Yang Maha Mulia. Sikap konservatif BU tampak pula dari keberhasilan Tirtokusumo, seorang "regent" dari Karanganyar, dipilih sebagai ketua BU pertama, dari tahun 1908-1911. Tjipto dan Suryodipuro, sebagai tanda penghargaan terhadap wakil angkatan muda, dipilih sebagai anggota biasa untuk panitia kerja. Pada kongres BU kedua, September 1909, Tjipto dan Suryodipuro kembali mengusulkan untuk menjadikan BU sebagai organisasi politik. Juga diusulkan agar keanggotaan BU bisa diperluas, selain orang Jawa dan Bali, mencakup pula semua penduduk Hindia Belanda, termasuk masyarakat Indo-Eropa dan masyarakat Cina yang bersimpati. Karena usul-usul mereka ditolak, keduanya lalu mengundurkan diri dari panitia kerja BU.
Dampak kelahiran BU, bagi inspirasi kita mendatang, tidak terletak pada riwayat organisasionalnya yang dibentroki keragaman haluan. Pada tingkat sosio-kultural, BU justru muncul sebagai tonggak peneguhan intelektualisasi elite pribumi, yaitu dengan tepat menggambarkan perubahan yang telah terjadi dalam golongan priyayi Jawa. Pada kongres pertama, secara konsensus ditetapkan bahwa BU pada tahap itu akan menolak aksi pengembangan aspirasi politik golongan priyayi. Sebaliknya, akan memilih pengembangan kebudayaan. Pada taraf embrional ini, BU menolak gagasan pembaruan-pembaruan sosial secara radikal pada semua tingkat masyarakat Jawa. Sebaliknya, akan mempertahankan BU sebagai persatuan priyayi eksklusif, membela kepentingan priyayi, terutama di sektor pendidikan, di atas segala kepentingan lainnya. Pengaruh kultural BU terhadap masyarakat tradisional Jawa adalah tersedianya kemampuan budaya untuk bisa mengambil kedudukan selaras, sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosial yang telah ada. Tahun 1908 merupakan tahun di mana priyayi profesional, birokrat bukan ningrat dan mahasiswa-mahasiswa muda Stovia mempersiapkan diri menjadi pemimpin-pemimpin Jawa, yang lebih berciri konformis, ketimbang reformis. Merekalah contoh paling awal dari ciri kaum terpelajar Jawa atau Indonesia.
Perbedaan titik berat haluan dalam tubuh BU, menunjukkan pula sifat-sifat dasar yang beragam dari masyarakat elite Jawa saat itu. Sekaligus menunjukkan sifat dasar yang berbeda-beda dari kapasitas inspirasi para priyayi profesional yang sedang berkembang di dalamnya. Perselisihan haluan di lingkungan priyayi Jawa sesungguhnya berakibat konstruktif bagi mempercepat perubahan dan pembentukan pandangan serta cita-cita kaum intelek saat itu. Kita tetap bisa mengapresiasi keanekaan pandangan tersebut terutama dari segi penawaran aspirasi kultural yang akan dipakemkan nantinya. Dari posisi ini, BU bertindak sebagai pendorong yang menganjurkan berdirinya "kelompok-kelompok kepentingan" yang dipersiapkan untuk memperjuangkan kepentingan golongan-golongan tertentu dalam masyarakat.
Sedya Mulya didirikan dalam tahun yang sama dengan BU, dengan tujuan melindungi kepentingan para "regent". Serikat Dagang Islam yang berorientasi pada perlindungan pedagang golongan santri, berdiri tahun 1911, dipelopori Tirtoadisuryo dan Samanhudi. Muhammadyah, yang bertumpu pada agama Islam sebagai sumbu organisasinya, didirikan setahun kemudian. Tahun 1913 Douwes Dekker yang mendapat dukungan dari para cendekiawan seperti Tjipto Mangoenkoesomo, Abdoel Moeis, dan Soewardi Soeryaningrat, mendirikan Indische Partij. Semua "kelompok-kelompok kepentingan" di atas memang dituntut menemukan jalan sendiri untuk memecahkan problem dalam mewujudkan idealisme mereka. Meskipun jawaban yang diasongkan terhadap setiap tantangan historisnya berbeda, tetapi masing-masing mempunyai tempat dan sumbangannya dalam pembentukan dan penggalangan nasionalisme Indonesia. ***
(Benny Yohanes).
Sumber: Pikiran Rakyat, 15 Mei 1988
Komentar
Posting Komentar