Pengantar Redaksi:
Jejak nasionalisme mencoba menginventarisasi warisan bangsa yang menjadi energi perjuangan yang membebaskan negeri ini. Jejak-jejak itu terserak sepanjang bentangan Nusantara. Setelah laporan jejak nasionalisme di Banda, Maluku, diturunkan bulan lalu, bulan ini "Kompas" menurunkan laporan jejak nasionalisme di Boven Digoel, Papua, yang di masa lalu menurunkan tempat pengasingan tokoh-tokoh bangsa.
Dalam catatan historis, nama Boven Digoel tentu tidak asing lagi. Pemerintah Hindia Belanda pernah menjadi Boven Digoel di pedalaman Papua sebagai salah satu tempat pengasingan bagi para pejuang perintis kemerdekaan Indonesia. Walaupun teralienasi, mereka tetap menyalakan suluh perjuangan.
Oleh KORANO NICOLASH LMS
Pada awalnya, menurut Andrianus Moromon, sarjana sejarah Universitas Cenderawasih, Papua, Boven Digoel dijadikan Belanda sebagai tempat tahanan sekaligus pengasingan baru akibat tempat tahanan dan pengasingan lainnya sudah penuh.
Salah satu sebabnya, Belanda mendapat tantangan keras dari dunia internasional akibat mengasingkan tokoh-tokoh itu ke luar negeri.
"Seperti Tan Malaka yang sempat diasingkan Belanda ke Singapura. Serta Bung Hatta yang diasingkan Hindia Belanda ke negeri mereka sendiri," kata Andrianus yang berasal dari Kampung Wanggatkibi, di Distrik Mindiptana, Kabupaten Boven Digoel.
"Awalnya, pada tahun 1926 dan 1927 saat terjadi pemberontakan komunis, penjara dan tempat pengasingan di Jawa dan tempat pengasingan lainnya sudah penuh. Itu sebabnya Boven Digoel yang terletak di tengah hutan Papua, di mana saat itu hanya dapat dicapai dengan kapal laut melalui Sungai Digoel, menjadi pilihan," tutur Andrianus yang kini menjadi staf di Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Boven Digoel.
Salah satu Digoelis (istilah untuk penghuni Boven Digoel), H Tarmidzy Thamrin, dalam memoarnya, Boven Digoel Lambang Perlawanan terhadap Kolonialisme, menulis, Boven Digoel ditetapkan sebagai penjara dan tempat pengasingan dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda pada 10 Desember 1926.
"Pada tahun 1926 dan 1927, pemberontak yang dibawa ke Boven Digoel mencapai 1.308 orang. Mereka ada yang berasal dari Sumatera Barat, Banten, Priangan Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Kalimantan, Ternate, dan Jakarta berikut tempat lainnya," tulis Tarmidzy yang "didigoelkan" pada 1948 karena aktif dalam Persatuan Pemuda Indonesia di Sorong, Irian Barat.
Menurut Andrianus, bukan hanya asal saja yang berbeda, latar belakang idealisme mereka juga beragam. "Sebab selain mereka yang berasal dari aliran komunisme, juga ada yang dari aliran nasionalisme seperti PNI. Ada pula yang brlatar belakang kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Celebes, dan Jong Sumatra. Tidak ketinggalan mereka yang beraliran keagamaan, seperti Syarekat Islam, PSII, serta Permi atau Persatuan Muslim Indonesia," jelasnya.
Tumbuhnya nasionalisme
Dalam keberagaman latar belakang idealisme masing-masing serta berdatangan dari daerah yang berbeda-beda itu tadi, Boven Digoel pun menjadi tempat persemaian nasionalisme.
Sutan Syahrir yang sepulang menunaikan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda, dan menjadi penggerak kemerdekaan "didigoelkan" pada November 1934. Mohammad Hatta juga harus menikmati Boven Digoel yang saat itu masih terkenal sebagai penjara dan tempat pengasingan yang alamnya pun mampu memusnahkan siapa saja.
Sungai Digoel, yang memiliki panjang 683 kilometer, dan rawa-rawa di kawasan Boven Digoel dipenuhi buaya. Nyamuk malarianya juga mampu mengakibatkan kematian dalam hitungan hari.
"Kehadiran Sutan Syahrir pada 1935 yang diikuti kawan-kawannya seperti Burhanuddin, Sayuti Melik, Bondan, Suko, dan Ali Arkam. Khalid Salim (adik KH Agus Salim) dan M Kasan pada tahun berikutnya menjadi titik awal tumbuhnya jiwa nasionalisme Indonesia di Boven Digoel," tutur Andrianus.
Berbagai idealisme mulai sadar akan perlunya jiwa nasionalisme Indonesia. Karena hanya dengan bersatu dalam perjuangan, kita mampu untuk dapat mengakhiri penjajahan Pemerintah Hindia Belanda dari bumi Nusantara.
Syahrir yang ketika datang ke Boven Digoel langsung dimasukkan ke penjara Tana Tinggi menjadi penggerak untuk menyatukan semua idealisme serta berbagai latar belakang kedaerahan itu menjadi padu dalam semangat nasionalisme.
"Upaya Syahrir ini belakangan diketahui Belanda. Itu sebabnya Syahrir bersama rekan-rekannya pun dipindahkan ke dalam penjara Boven Digoel, yang letaknya kini di Kota Lama Tanah Mera ini," timpal Thimoteus Anuk, staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Boven Digoel.
Penjara Boven Digoel ini menjadi salah satu penjara yang membuat para tahanan ataupun mereka yang diasingkan ke sana bergidik. Itu karena ada sebuah sel bawah tanah. Mereka yang akan masuk ke sel itu harus berada dalam kondisi bugil, tanpa batas waktu yang jelas.
Bisa dibayangkan, dalam kegelapan yang pekat tanpa busana, nyamuk akan menjadi "sahabat" mereka. "Selain kematian, tidak jarang tahanan mengalami gangguan mental berkepanjangan," tutur Andrianus.
"Mohammad Hatta tidak sampai masuk ke dalam penjara ini. Enam bulan menjalani masa pengasingan di Bovel Digoel, empat bulan merasakan penjara Tana Tinggi," katanya. "Dua bulan sisanya dijalani Hatta di Petak 6 yang kini letaknya di Desa Sokanggo, di jalan menuju Taman Makam Pahlawan Perintis Kemerdekaan Boven Digoel," kata Thimoteus. Tahun 1936 Syahrir dan Hatta dipindahkan ke Banda Neira, Maluku.
Berkembang di Jayapura
Hasil dari pergerakan untuk menumbuhkan nasionalisme Indonesia yang digaungkan Syahrir selama berada di Boven Digoel itulah yang kemudian dilanjutkan Sugoro Atmoprasojo, mantan guru di Perguruan Taman Siswa, yang juga sempat menikmati pembuangan di Boven Digoel. Sugoro memupuk semangat itu saat menjadi Direktur Sekolah Pamong Praja, di Kota Nica, Jayapura, pada 1940-an. Kota Nica kini bernama Kampung Harapan, Sentani.
Kepada sejumlah peserta Kursus Kilat Pamong Praja, seperti Frans Kaisiepo, Marten Indey, dan lain-lain, semangat nasionalisme Indonesia itu ditularkan. Maka, pada perayaan ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau, terjadi pengibaran bendera Merah Putih di Kota Nica oleh para pemuda Irian Barat pada 1947.
"Padahal, saat upacara HUT Ratu Belanda yang jatuh pada tanggal 31 Agustus itu, mereka seharusnya mengibarkan bendera Koninkrijk der Nederlanden," tutur Andrianus. Kaisiepo dan Indey kemudian menjadi Pahlawan Nasional.
"Itu sebabnya, saya cenderung menyebut tahanan dan pembuangan di Boven Digoel ini sebagai penjara yang memerdekakan," kata Andrianus. Memerdekakan bangsa ini.
Sumber: Kompas, 24 Mei 2012
Komentar
Posting Komentar