Oleh Djamal Marsudi
Dalam gerakan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, pers nasional merupakan senjata yang ampuh guna melumpuhkan dan menumbangkan kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang telah bercokol di Indonesia selama 350 tahun lamanya. Maka tepat sekali sambutan Presiden Soeharto pada Hari Ulang Tahun PWI beberapa tahun yang lalu, beliau antara lain mengatakan: Pena adalah lebih tajam daripada senjata. Oleh karena itu, bersamaan dengan timbulnya kaum pergerakan, timbullah berbagai ragam surat kabar harian, majalah, dan kantor berita yang pada umumnya bersifat perjuangan.
Berkali-kali surat kabar-surat kabar Indonesia itu "dibredel" pemerintah Hindia Belanda. Wartawan-wartawannya diborgol dan dipenjarakan tidak sedikit, tetapi perjuangan pers tetap berjalan. Pada tahun 1937, yang berarti menjelang pecah Perang Dunia II, atas usaha-usaha pemuda wartawan yang dinamis didirikan sebuah kantor berita nasional bernama "Antara" yang lahir pada tanggal 13 Desember 1937 di Jakarta oleh Pandu Kartawiguna, Mr. Soemanang, Albert Manumpak Sipahutar, Armyn Pane, Adam Malik, dan lain-lain lagi, sedangkan penulis di kala itu masih belajar sebagai korespondennya saja.
Pada bulan Mei 1940 negeri Belanda telah diserbu oleh Nazi Jerman, hanya lima hari negeri Belanda bisa dipertahankan. Oleh karena negeri Belanda diduduki Nazi Jerman, maka negeri jajahannya yang bernama Hindia Belanda harus dapat berdiri sendiri, sehingga kekuasaan di Hindia Belanda beralih dari tangan sipil pindah ke tangan militer, sekaligus pemerintah Kolonial Belanda memaklumkan keadaan darurat perang yang mereka namakan Oorlog van Beleg.
Pada bulan Juni 1940 partai-partai politik di Indonesia yang bergabung dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI), atas prakarsa Mohammad Hoesni Thamrin dan teman-temannya dari tokoh-tokoh Partai Indonesia Raya (Parindra) mengajukan resolusi meminta kepada pemerintah Hindia Belanda mempergunakan hukum tata negara dalam masa genting untuk melakukan perubahan-perubahan ketatanegaraan, dan diadakan parlemen penuh menggantikan Dewan Rakyat (Volksraad) yang ada. Resolusi ini diajukan kepada Gubernur Jenderal, Volksraad, Ratu Wilhelmina, dan Kabinet Belanda yang sedang dalam pelarian di London, karena negeri Belanda pada waktu itu sudah diduduki oleh kaum Nazi Jerman.
Resolusi dijawab Dr. H. J. Levelt atas nama pemerintah Belanda: "Belum waktunya mengadakan suatu rancangan perobahan ketatanegaraan di Indonesia, apalagi atas dasar 'Indonesia Merdeka', dengan alasan karena rakyat Indonesia masih banyak yang buta huruf sehingga belum waktunya mempunyai parlemen sendiri."
Tidak lama kemudian Gubernur Jenderal Mr. A. W. L. Tjarda van Starkenborg Stagchouwer dalam sidang Volksraad mengatakan, berhubung dengan adanya situasi politik, maka partai-partai politik dilarang mengadakan sidang. Demikian pula mengenai perubahan kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan, sebaiknya ditunda sampai masa sesudah perang selesai. Tegasnya di dalam keadaan darurat perang, rakyat Indonesia tidak boleh bersuara.
Sehubungan dengan adanya situasi politik dan militer yang semakin genting maka timbullah gagasan pada pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan "Milisi Bumiputera". Soal milisi ini sebenarnya sudah menjadi keinginan pergerakan nasional sejak tahun 1915, yaitu pada waktu berkecamuknya Perang Dunia I di Eropa, yaitu yang disebut Indie Weerbaar yang tidak jadi dilaksanakan. Sementara itu pengalaman politik pada bangsa Indonesia sudah meningkat banyak dan mereka sudah kritis dalam menghadapi rencana mobilisasi anak pribumi yang datang dari pihak pemerintah Hindia Belanda.
Rencana Undang Undang Milisi diajukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda ke Dewan Rakyat (Volksraad) Juni 1940 untuk dipertimbangkan. Dalam keterangannya, pemerintah antara lain berkata: Untuk memenuhi kehendak rakyat asli di Indonesia yang telah lama dilahirkan, yaitu hendak turut mempertahankan tanah tumpah darahnya. Dengan jalan ini, demikian pendapatnya, akan dapatlah dibentuk milisi rakyat Indonesia. Tetapi yang direncanakan pemerintah ini, bukanlah yang diminta oleh kaum nasionalis dari tahun 1915. Hal milisi ini baru akan menjadi soal, apabila rakyat Indonesia terlebih dahulu diberi hak bersuara, yaitu dengan melalui "Indonesia Berparlemen".
Pada waktu masalah milisi dibicarakan dalam sidang Dewan Rakyat (Volksraad), wakil-wakil Parindra tidak turut serta mempertimbangkan dan tidak turut serta dalam pemungutan suara, dengan alasan sebagai protes atas tidak adanya permufakatan terlebih dahulu sebelum anjuran itu dijadikan pokok pembicaraan dalam sidang Volksraad. Walaupun demikian anjuran pemerintah itu diterima juga oleh Volksraad dengan suara: 43 lawan 4 suara.
Dengan adanya pengumuman wajib militer bagi rakyat Indonesia yang diumumkan pemerintah Hindia Belanda, maka surat kabar-surat kabar Belanda membuat berita yang berlebihan dengan mengatakan, bahwa milisi umum itu telah disambut hangat dan gembira oleh pemuda-pemuda Indonesia. Di dalam komentarnya lebih lanjut, pers Belanda antara lain mengatakan: "Pemerintah dan rakyat Belanda memandang penting tentang kegunaan milisi bagi rakyat Indonesia dan Hindia Belanda pada khususnya, apalagi mengingat hubungan yang sudah terjalin selama 350 tahun lamanya antara rakyat Indonesia dan rakyat Belanda. Demikian stimulasi pers Belanda untuk mengambil hati masyarakat jajahannya.
"Antara Menentang Keras Milisi"
Sebaliknya pers Indonesia yang dipelopori Kantor Berita "Antara" dalam menanggapi undang-undang wajib milisi, Kantor Berita "Antara" menentang keras adanya milisi di Indonesia. Oleh karena pada waktu itu pemerintah Belanda sudah ketakutan terhadap bahaya dari Utara, yaitu fasisme militer Jepang ("bahaya kuning"). Untuk menentang pers Belanda, Kantor Berita "Antara" dalam tajuknya antara lain mengatakan: "Bagi rakyat Indonesia tidak merasakan perlunya untuk memanggul senjata, bahaya kuning yang selalu ditakuti oleh Belanda, bagi rakyat Indonesia bukan merupakan bahaya, karena bangsa Jepang dan bangsa Indonesia adalah sama-sama bangsa Asia."
Kalau pers Belanda mengatakan, bahwa Undang Undang Milisi di Indonesia disambut hangat dan gembira oleh pemuda-pemuda Indonesia, buletin Kantor Berita "Antara" beritanya berlainan. Berita singkatnya demikian: "Seorang pemuda di Kabupaten Tasikmalaya telah jatuh pingsan, setelah dia membaca di surat kabar tentang pengumuman pemerintah Hindia Belanda, wajib militer umum bagi pemuda Indonesia untuk membantu dinas militer Belanda."
Dengan adanya berita yang merugikan pemerintah Hindia Belanda yang sedang dalam keadaan darurat perang, maka Adam Malik yang menjadi Pimpinan Kantor Berita "Antara", dipanggil Kepala Polisi P. I. D. Belanda di Jakarta, untuk menanyakan asal-usul berita dari Tasikmalaya itu. Dalam pemeriksaan tersebut Adam Malik tidak mau memberikan keterangan tentang nama pembantunya yang membikin berita dari Tasikmalaya.
"Untuk saya lebih baik ditembak atau digantung daripada harus melanggar Kode Ethik Jurnalistik," demikian jawaban tegas dari Adam Malik waktu itu.
Ramalan pers Belanda tentang bahaya kuning menjadi kenyataan pada tanggal 8 Desember 1941. Siaran Radio Belanda yang bernama NIROM menyiarkan berita tentang pecahnya Perang Pasifik.
Sehubungan dengan pecahnya Perang Pasifik, tokoh-tokoh politik, gerakan-gerakan pemuda, dan wartawan-wartawan yang dianggap oposisi dan menentang pemerintah Hindia Belanda ditangkap oleh Polisi PID dan Militer Belanda. Penangkapan ini dilakukan serentak di seluruh Indonesia, tidak terkecuali penulis yang pada waktu itu sedang berkelana mencari bahan-bahan penulisan/berita di Kota Ambon. Adapun rekan penulis dari Kota Ambon di antaranya Abdul Hamid, Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab Mingguan SUISMA (Suara Islam Maluku). Dari Kota Ambon, penulis dengan rekan-rekan wartawan diangkut dikumpulkan dengan Kapal KPM "Ribrek" ke "Interneering Kamp Garut", untuk dikumpulkan bersama-sama rekan tawanan lainnya.
Pendiri-pendiri Antara Diinternir
Tokoh-tokoh pemuda dan para wartawan yang ditangkap oleh Polisi PID Belanda di Jakarta di antaranya: Adam Malik, A. M. Sipahutar, Pandu Kartawiguna, ketiganya pendiri Kantor Berita Antara. Dari kalangan pemuda di antaranya: Chairul Saleh, Soekarni, Latief Hendraningrat, Asmara Hadi (H. R.) yang setelah keluar dari tawanan Belanda lalu menerbitkan "Pemandangan Jakarta". Satu-satunya wartawati yang ikut pula ditangkap dan diinternir di Garut S. K. Trimurti.
Penangkapan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda berdasarkan pasal-pasal dari Kitab Undang Undang Hukum Pidana pasal 153 bis yang berbunyi:
"Barang siapa dengan perkataan, tulisan atau gambar melahirkan pikirannya yang biarpun secara menyindir atau samar-samar, memuat anjuran untuk mengganggu keamanan umum atau menentang kekuasaan Pemerintah Nederland atau Pemerintah Hindia Belanda dapat dihukum penjara maksimum 6 tahun atau denda maksimum 300 rupiah."
Istilah-istilah dalam pasal inilah yang dapat menjerat pembicara di rapat atau penulis di surat kabar ialah dengan kata-kata menyindir, samar-samar, dan mengganggu keamanan umum.
Mengenai jalannya penangkapan terhadap diri Adam Malik, baiklah penulis mengutip tulisan Asmara Hadi (H. R.) dalam bukunya yang berjudul "Di Belakang Kawat Berduri" yang terbit pada tahun 1942 pada halaman 9, 10, dan 12. Sebelum menceritakan diri Adam Malik, Asmara Hadi menceritakan dirinya sendiri antara lain:
"Sangkaku saya akan dibawa ke Hopburo (Pen: Kantor Polisi) tetapi tidak, auto berhenti di depan Stasion Gambir dan saya dimasukkan ke dalam ruang yang sebelum pecahnya perang dipakai sebagai gudang. Saku saya diperiksa dulu sebelum masuk. Kertas dan potlot tidak diperkenankan dibawa ke dalam. Siapa yang beruang, tidak boleh menyimpan lebih dari sepuluh rupiah dalam kantongnya. Setelah badan saya diperiksa dan ternyata tidak ada barang yang terlarang, barulah saya boleh masuk dengan ancaman bahwa kepala saya akan dihujani pelor kalau saya berani mencoba lari. Seakan-akan jiwa saya tidak berharga sepeser buta pun." Demikian tulis Asmara Hadi yang menjadi menantu Ibu Inggit.
Dalam gudang itu sudah menunggu beberapa orang yang menjadi mangsa kekuasaan Belanda, di antaranya Dasaat A. Musim, terkenal dalam dunia perniagaan Indonesia. Makin petang hari makin bertambah jumlah kami, sebab hampir tiap jam pegawai PID datang membawa tangkapan, tidak lama sesudah saya datanglah Saudara Adam Malik. Matanya tetap gembira dan bersinar. Dalam badannya yang kecil dan kadang-kadang kekurangan makan itu hidup semangat yang kuat. Dari mana kau? tanyaku. Polisi sudah payah mencari kau di mana-mana.
Dari rumah, jawabnya sambil tertawa. Setelah saya dengar bahwa PID mencari saya, datanglah saya ke Hopburo dan dari sana terus dibawa ke sini. Bodoh betul pegawai PID itu. Mereka mencari dan menanyakan saya bukan di tempat saya tinggal tetapi di rumah orang lain. Saya datang sendiri ke Hopburo supaya setiap orang yang kenal pada saya jangan ditemui PID.
Bahwa kejadian itu sangat mengharukan hati kami sudahlah pasti. Pada muka beberapa teman juga pada muka saya perasaan hati itu sangat tampak. Tuan Rais menghibur dan memperkuat hati kami dengan nasehat-nasehatnya yang berguna.
Tidak saya sangka bahwa saudagar besar yang biasa menghitung uang beribu-ribu itu pandai juga melayang dalam alam filsafat. Segala peristiwa dalam dunia ini ada gunanya, katanya! Baik yang girang maupun yang sedih. Setiap penderitaan adalah api ujian. Siapa yang tidak hilang imannya, tetap yakin akan pimpinan Ilahi, akan keluar dari ujian itu sebagai orang besar.
Siapa tahu Antara jadi besar
"Siapa tahu," katanya kepada Adam Malik. Siapa tahu justru karena percobaan ini tuan nanti akan menjadi orang besar.
Kantor berita "Antara" yang kini masih kecil akan menjadi kantor berita yang bercabang di segala tempat di seluruh dunia ini dan kalau tuan melancong di negeri lain setiap jongos di hotel tempat tuan menginap akan berbisik kepada temannya: Lihatlah itu Tuan Adam Malik, Direktur "Antara".
Dan kepada Tuan Dr. Latip (ayah mertua B. M. Diah), Tuan Rais berkata: Kalau tuan tetap giat berusaha dan umur tuan Tuhan panjangkan, tuan akan meninggalkan nama yang seharum Pasteur.
Memang benar katanya itu. Setiap orang menjadi besar, setiap pahlawan menjadi besar karena penderitaan dan perjuangan.
Setiap penderitaan adalah rakhmat yang bertopeng dan akan memperlihatkan wajahnya yang sebenar-benarnya kalau kita tabah menerimanya.
Demikianlah tulisan asli Asmara Hadi (HR) yang disalin oleh penulis dengan ejaan yang disempurnakan.
Dari berbagai pelosok Indonesia, orang-orang yang ditangkap pemerintah Hindia Belanda lalu dikumpulkan di tempat tawanan yang memang sudah disiapkan sebelumnya, yaitu di Desa Talun, Garut, Jawa Barat. Di dalam kamp tahanan Garut ini, penulis satu kamar dengan Latif Hendraningrat, Samawi (Pimpinan Harian "Kedaulatan Rakyat" Yogya) dan kamarnya berdampingan dengan Ibu S. K. Trimurti yang kala itu sedang mengandung.
Mengenai pengalaman Adam Malik di dalam interneering kamp, dalam hal ini kami tulis kutipan dari buku "Adam Malik Mengabdi Republik" Jilid I. Pada halaman 206 dan 207 antara lain beliau menulis:
"Kamp tahanan Belanda di Garut penuh sesak oleh tahanan politik. Kami berdempet-dempetan dan bersempit-sempit seperti sapi dalam gerbong kereta api karena besar ruangan tak seimbang dengan jumlah tahanan. Keadaan yang tak memenuhi syarat-syarat kesehatan ini berlangsung selama tiga bulan lebih. Kemudian pada suatu sore tanggal 5 Maret 1942 rombongan kami bersama-sama dengan tahanan-tahanan politik yang lain, dengan memakai kendaraan bis, dipindahkan ke Cilacap. Waktu itu berlaku jam malam. Berjalan pakai bis menempuh jarak antara Garut - Cilacap dengan kecepatan seperti keong, sangat meletihkan dan tak tertahankan. Kami sampai keesokan paginya di Cilacap tanggal 6 Maret 1942, dalam keadaan lesu letih. Setelah menunggu beberapa lamanya di pelabuhan, kami diberangkatkan ke pulau tempat tahanan Nusa Kambangan. Akan tetapi, Nusa Kambangan hanya sebagai tempat persinggahan sementara bagi kami, karena kami direncanakan akan diangkut kembali ke Cilacap pada tanggal 8 Maret untuk selanjutnya dibawa ke Brisbane, Australia, naik kapal SS Tawali.
Pada tanggal 6 Maret 1942 Cilacap sudah dalam keadaan kacau balau dan kebingungan. Pelabuhan Cilacap kelihatan penuh oleh orang-orang Belanda dan Inggris. Sesudah mengundurkan diri pontang-panting dari kota-kota seperti Betawi, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Singapura, mereka kelihatan lesu berkumpul berkelompok-kelompok di kade menunggu-nunggu tanda harus naik kapal untuk diangkut ke Australia.
Truk-truk tentara yang kosong bertebaran di mana-mana. Beberapa buah kapal termasuk S. S. Tawali nampak bersauh dan mengisi muatan yang terdiri dari bahan pangan, air, peti-peti, dan kendaraan-kendaraan. Suasana mencekam di sekitar keadaan yang menekan, semakin bertambah oleh sikap putus asa dokter-dokter dan bidan-bidan Belanda dan Inggris yang berjalan mondar-mandir.
Selanjutnya dalam kata penutupan Adam menulis: Kami tidak menyaksikan Cilacap diserang oleh Jepang. Akan tetapi dari tempat tahanan di Nusa Kambangan kami mendengar raungan kapal terbang Jepang tak henti-hentinya memuntahkan bom dan peluru menyerang kota pelabuhan itu. Kapal S. S. Tawali yang direncanakan untuk mengangkut kami ke Australia tenggelam. Maka kami tak jadi diberangkatkan ke tempat pembuangan di Brisbane. Jatuhnya pemerintah Hindia Belanda yang secara resminya tercatat pada tanggal 8 Maret 1942, bagi kami berlaku keesokan harinya waktu kami dibebaskan oleh bala tentara Jepang dari kamp tahanan Nusa Kambangan.
Demikianlah secuil tulisan Adam Malik, dalam pengalamannya setelah ditangkap dan ditawan oleh pemerintah kolonial Belanda.
"Antara" Jadi Yashima.
Pada waktu tentara Jepang mulai menduduki Indonesia. Kantor Berita "Antara" sementara waktu diperbolehkan bekerja tetapi dengan nama baru Yashima. Tidak lama kemudian Jepang melebur "Antara" alias Yashima menjadi Bagian Indonesia dari Kantor Berita Domei.
Sesudah mengalami penutupan di jaman Jepang, Antara bangun kembali dan merupakan senjata yang hebat dalam revolusi Indonesia untuk membela dan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sumber: Korpri, Juli 1992
Komentar
Posting Komentar