Langsung ke konten utama

Peristiwa 22 April 1942 di Kamp Interniran Luchtdoel: Bayonet yang Merobek Tubuh Tawanan Cara Eksekusi Terhormat bagi Jepang?

TANGGAL 8 Maret 1942 perwira tertinggi angkatan perang Belanda di kawasan Hindia Belanda menyerah tidak bersyarat kepada tentara Jepang. Kapitulasi dimaklumkan Gubernur Jenderal ter Poorten di Kalijati Subang Jawa Barat. Ketika itu diumumkan, seluruh tentara Belanda di Kawasan Hindia Belanda yang aktif maupun nonaktif, wajib mentaati maklumat tersebut dengan menyerahkan diri pada kamp-kamp penahan terdekat.

Tentara Belanda terdiri dari kesatuan KNIL (Koninklijk Nederland Indische Leger) yang beranggotakan berbagai suku, termasuk: suku Jawa, Sunda, Maluku, dan lainnya. Tetapi bagi tentara KNIL yang berkewarganegaraan Belanda, penahanan tersebut berlangsung seterusnya sampai usai perang, sedangkan bagi yang berwarga negara Indonesia hanya bersifat penahanan sementara, tidak lama kemudian mereka dibebaskan.

Ketika itu saya sebagai tentara milisia Belanda atau Militie Soldaat KNIL, yang merupakan tentara cadangan yang diambil dari pemuda-pemuda serta pelajar berkebangsaan Belanda di atas usia 18 tahun ke atas. Ketika ada panggilan milisia saya sedang belajar di AMS Jalan Biliton Bandung. Saya berpangkat Prajurit Kelas Dua (Tweede Soldaat), dengan stamboek 29320.

Ketika Gubernur Jenderal ter Poorten mengumumkan penyerahan tersebut, saya sedang berlatih menembak di daerah Cipatat. Latihan dibubarkan, dan para milisia pulang ke tempat tinggal masing-masing untuk mempersiapkan penyerahan diri.

Setelah pulang ke rumah di daerah Sasakgantung Bandung, beberapa teman menjemput untuk segera menyerahkan diri ke Kamp terdekat. Yang terdekat adalah Kamp Luchtdoel, yang namanya diambil dari tempat itu sendiri, yaitu Artileri Penangkis Udara. Sekarang ditempati oleh Brigif Linud 17 terletak di daerah Jalan Tongkeng dengan Patrakomala, Bandung.

Pada saat itu kondisi Kamp masih darurat, karena memang bukan untuk tempat penahanan, dan rencana kemudian akan ditempatkan di Kamp Cimahi, di Vierde-Negende Batalion. Batalion Empat Sembilan. Keadaan darurat itu dimanfaatkan oleh beberapa tahanan untuk mencoba-coba lolos ke luar setiap malam, dan pagi-harinya kembali ke Kamp. Justru hal begitulah yang merupakan awal tragedi Luchtdoel, yang sangat mengerikan bagi para tahanan khususnya, serta bagi masyarakat Bandung umumnya. Itulah eksekusi pertama oleh tentara Jepang.

***

MEREKA yang terjebak, terdiri dari tiga orang yang di malam hari suka meninggalkan Kamp. Mungkin sebetulnya lebih dari tiga orang, tapi hanya mereka yang tertangkap basah pihak Jepang. Semua orang heran, bagaimana mungkin dan dengan cara bagaimana ketiganya bisa lolos dari Kamp. Yang jelas mereka tertangkap basah di pagar kawat berduri yang menghadang jalan. Maka untuk menjadi peringatan bagi yang lainnya, pihak Jepang menjatuhkan hukum mati. Mereka dieksekusi di tempat itu juga pada tanggal 22 April 1942 pagi hari.

Ketiga tahanan itu diikatkan pada pagar kawat, menghadap jalan. Dua di antaranya dengan mata tertutup kain, sedangkan yang seorang lagi menolak. Mereka dibunuh dengan bayonet. Ketika para prajurit Jepang hendak menghujamkan senjata mereka ke tubuh mereka, tawanan yang tidak bertutup mata itu sempat berseru: "Leve de Koningin" atau Hidup Sang Ratu!

Beberapa perwira Belanda yang menyaksikan peristiwa tersebut jatuh pingsan, karena tak tahan melihatnya. Hukuman demikian sangat kejam. Yang menurut konvensi perang, seharusnya dihadapkan kepada regu tembak. Menurut tradisi Jepang, justru hukuman dengan bayonet lebih terhormat, mungkin seperti halnya tradisi bunuh diri Jepang, Harakiri.

Eksekusi Bayonet tersebut menggemparkan para tahanan Kamp Luchtdoel. Mereka justru harus menyaksikannya dari jarak dekat, kurang lebih satu meteran. Dan peristiwa itu sengaja untuk mengisyaratkan kepada tahanan lainnya supaya tidak coba-coba lolos.

Sekitar bulan Mei 1942 para tahanan dipindahkan ke Kamp Cimahi seperti yang telah direncanakan. Kamp tersebut khusus bagi tahanan militer yang aktif serta sehat. Bagi golongan sipil disediakan tempat di daerah Andir. 

Tahanan dari Cimahi kemudian dipilih serta diberangkatkan ke pelbagai Kamp di luar kawasan Hindia Belanda, antara lain ke Burma untuk mengerjakan jalan kereta api "maut" (De doden spoorweg). Konon menurut kisah di setiap dua bantalan kereta api terdapat satu mayat, merupakan kamp terberat.

Saya sendiri ditempatkan di daerah Miata dekat Nagasaki Jepang, melalui transit sekitar sebulan dari pangkalan udara Changi Singapura. Di sana dipekerjakan sebagai tukang bor pada terowongan batubara.

Bagi para tawanan, jatuhnya bom atom di Nagasaki pada tanggal 15 Agustus merupakan keberuntungan, sebab jika tidak, para tawanan itu akan "dihabisi" oleh Jepang. Para tawanan sudah disiapkan dalam terowongan yang tertutup, dikelilingi drum-drum bahan bakar, siap disulut. Mungkin Jepang sudah melihat gelagat buruk dengan berbagai pangkalannya yang telah diduduki Sekutu. Kota Tokyo pun telah dibom Sekutu.

Peristiwa Luchtdoel tersebut mungkin tidak terlalu dramatis atau penting bagi masyarakat umum, tetapi merupakan sepenggal catatan sejarah betapa kejamnya perang. 

( THEO LOUPIAS ).***



Sumber: Pikiran Rakyat, 2 Mei 1985



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...