Oleh: H ROSIHAN ANWAR
SELAIN dari orang Tobelo yang dulu terkenal sebagai pembajak laut, perlahan-lahan datang pula menetap orang dari suku lain yaitu yang dinamakan Binongko. Sebenarnya Pulau Binongko hanya sebagian dari gugusan Buton, tetapi di Ambon dan Seram lazim disebut orang-orang yang berasal dari Buton di Sulawesi Selatan sebagai orang Binongko. Mereka itu kaum tani kecil, Muslim yang rajin dan hemat, yang dengan bekerja keras dan menabung mencapai kemajuan. Ada kesalahan yang selalu mereka buat yaitu tidak bermukim bersama di suatu tempat, tetapi tinggal menyebar di berbagai pemukiman. Mereka juga sering tidak meminta bagian tanah dari kepala distrik setibanya di Obi. Berkat kedatangan Binongko itu, maka penduduk distrik yang berjumlah 1723 jiwa tahun 1920 meningkat jadi 2228 jiwa tahun 1925. Tahun-tahun pertama setelah kedatangan mereka, maka orang Tobelo tidak mengganggu mereka. Tetapi begitu orang Tobelo mengira orang Binongko telah menyimpan sekadar uang, maka Binongko diserang, dirampok, dan dibunuh oleh orang Tobelo. Karena itu Obi kadang-kadang memperoleh patroli polisi bersenjata. Tapi bagaimana kalau patroli tidak tersedia? Sebetulnya jalan terbaik ialah mengumpulkan orang Binongko dalam satu kampung baru yang dibangun. Justru itulah yang belum tercapai, ketika Kontelir Coolhaas tiba di Pulau Obi.
Celana, Celana
UNTUK menegakkan ketertiban dan keamanan, perlulah Kontelir dan kepala distrik melakukan turne secara teratur. Kalau tidak ada kapal motor "Stella", maka hal itu terpaksa dilakukan dengan perahu. Itu berarti perjalanan selama kira-kira seminggu. Bertolak dari Laiwoei ke jurusan Timur pagi-pagi sekali, maka orang tiba di malam hari di kampung orang Alfur yaitu Sesepe. Malam hari orang menginap di tepi pantai. Orang itu beruntung sekali, jika tidak kena penyakit malaria. Kontelir Coolhaas biasanya berlayar dengan sebuah "eskader" terdiri dari tiga buah perahu. Dalam perahu pertama yang punya empat pendayung terdapat Kontelir dan juru masaknya. Di perahu kedua ada kepala distrik dengan seorang agen polisi. Di perahu ketiga juru tulis dan vaccinateur atau tukang suntik cacar.
Apabila di sebuah kampung orang Alfur sampai berita rombongan tuan Kontelir akan datang, maka terdengarlah teriakan "celana, celana". Itu lantas tanda bagi kepala kapung untuk memakai celana sebagai bukti martabat dan kebesarannya, sebab dalam hidup sehari-hari dia hanya pakai cawat.
Perjalanan paling sengsara yang dialami oleh Kontelir Coolhaas ialah ketika dia mau mengenakan pajak di kalangan rakyat. Ternyata sebelumnya sudah berkeliling di tempat-tempat yang dikunjunginya seorang "komunis". Rakyat Obi yang dengan tertib telah menyimpan uang untuk membayar pajak kepada pemerntah menyerahkan uang tersebut sebagai "iuran" atau kontribusi kepada orang "komunis" tadi. Kontelir tidak berhasil membekuk leher "komunis" yang datang dengan perahu layar besar dari Pulau Seram. Kontelir tetap memungut pajak dari orang-orang Alfur yang simpati mereka terhadap "komunis" lalu menjadi berkurang, demikian diharapkan oleh Kontelir. Akhirnya "komunis" tadi tertangkap juga. Beberapa bulan kemudian dia menumpang kapal KPM dan mendarat di Sanana. Gezaghebber Pulau Sula yang tinggal di Sanana mengenal orang "komunis" itu dan memang ada sesuatu urusan yang hendak dibereskannya. Ditangkapnya "komunis" tadi, kemudian pengadilan Landraad menghukum sang "komunis" masuk penjara beberapa tahun.
Tanpa Senjata
DALAM perjalanan turne di Pulau Obi, Kontelir Coolhaas tidak pernah membawa senjata. Hanya karena lebihan wibawa yang dimiliki oleh orang kulit putih dan oleh pejabat bestuur pada umumnya dapatlah dikendalikan orag-orang primitif di sana yang tidak segan-segan membunuh itu, dapat dipungut pajak, dikeluarkan perintah dan sebagainya. Tiada seorang pun di tempat pemukiman itu berpikir akan melawan pemerintah. Kepala distrik di sana yaitu Mas Judo Atmodjo juga memiliki lebihan wibawa, tetapi kemudian hilang wibawanya karena dia jadi gugup dan ketakutan di Obi. Karena itu Mas Judo minta berhenti dan digantikan oleh seorang Ambon yang muda dan energik yaitu Ch Limaheluw yang berhasil menguasai kembali keadaan.
Mas Judolah yang dalam bulan Maret 1923 mengirimkan berita kepada Kontelir Coolhaas dengan perantaraan sebuah perahu bahwa di Laiwoei tiga orang Binongko dibunuh oleh orang-orang Alfur. Hal ini menimbulkan kegelisahan di kalangan orang Binongko yang mulai berpikir akan meninggalkan Pulau Obi. Mas Judo juga mendeteksi adanya propaganda kaum komunis telah dilakukan di kalangan orang Alfur. Karena itu dia minta bantuan polisi bersenjata. Maklum, dengan hanya seorang agen polisi yang dipunyainya, dia tidak mampu menguasai situasi. Kontelir menyokong permintaan Mas Judo, dan Asisten Residen di Ternate segera mengirimkan sebuah detasemen kecil polisi ke Obi. Kemudian polisi diganti dengan sebuah regu militer. Kontelir Coolhaas berangkat ke Laiwoei untuk mengadakan pemeriksaan pedahuluan. Sementara itu orang-orang yang disangka jadi pembunuh telah ditangkap. Mereka kemudian dijatuhi hukuman penjara oleh Landraad di Ternate. Semua itu membantu memulihkan keamanan di Obi, dan orang-orang Binongko tidak jadi berangkat dari pulau tersebut.
Raden Hamid Turunan Palembang
PERKARA pembunuhan yang paling serius dialami oleh Kontelir Coolhaas tidak di Obi, tetapi di Bacan yang sesungguhnya jarang menyaksikan kasus tersebut. Dalam buku "Besturen Overzee" (1977) Coolhaas bercerita tentang dibunuhnya seorang petani Buton dan isteri beserta dua orang anak di sebuah tanah garapannya, tidak jauh dari onderneming milik Batjan - maatschappij. Kontelir dan Sultan bersama-sama pergi menyelidiki ke tempat pembunuhan itu. Mereka menemukan mayat seorang pria Binongko yang kepalanya telah dipenggal, isterinya yang penuh luka-luka kena senjata parang, dan kedua anak mereka yang mati karena dicekik. Sultan Bacan menangis keras melihat keadaan menyedihkan itu. Setelah mayat keempat orang itu dikuburkan dan pemeriksaan menunjukkan para pembunuh datang dari arah laut dan kemudian pergi melalui laut pula, Kontelir kembali ke Labuha. Di sana reserse Raden Hamid telah melakukan penyelidikan. Raden Hamid adalah turunan Sultan Palembang yang satu abad sebelumnya dibuang oleh Belanda ke daerah Ternate dan Bacan, dan sejak itu keluarga bekas Sultan Palembang itu bekerja di daerah tersebut. Reserse itu mendapatkan tiga hari sebelumnya ada tiga orang Alfur, di antaranya seorang remaja berusia 16 tahun, yang berdiam di Pulau Obi berada di Labuha, minum arak terlalu banyak sehingga menjadi mabuk, dan kemudian bertolak lagi ke Obi. Kedua pria tadi bernama Horuobi dan Wangafela, dan pernah mendekam lama di penjara di Jawa karena dihukum merampok dan membunuh orang. Kontelir Coolhaas bernama reserse Raden Hamid segera bertindak dan menangkap ketiga orang Alfur tadi. Melalui suatu pemeriksaan dapatlah dibuktikan memang Horuobi dan Wangefela yang merampok dan membunuh keluarga petani Binongko. Kedua orang itu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Demikianlah cerita Dr W Ph Coolhaas selaku pejabat pamong Hindia Belanda di Maluku tahun 1922 yang memberikan gambaran kepada kita tentang keterbelakangan daerah dan rakyat itu, kesukaran alat transport di lautan antara gugusan pulau yang satu dengan yang lain, takhyul dan keadaan primitif yang berlaku dalam masyarakat. Semua itu bahan informasi bagi kita zaman sekarang untuk dapat merenungkan dan membandingkan apakah yang telah berubah sejak Indonesia menjadi merdeka 40 tahun ini? Apakah masih ada keadaan di Maluku tahun 1920-an itu yang berbekas sisa-sisanya pada tahun 1985 ini? (Habis) ***
Sumber: Pikiran Rakyat, 1 Mei 1985
Komentar
Posting Komentar