Langsung ke konten utama

Setelah 84 Tahun Kebangkitan Nasional: Konsumtif dan Snobisme Mewarnai Budaya Masyarakat

Oleh Kliwon Suyoto

Kebangkitan nasional yang ditandai dengan lahirnya organisasi "Boedi Oetomo" 20 Mei 1908 pada hakekatnya merupakan "titik tolak" pengobaran semangat nasionalisme, untuk memperjuangkan kemerdekaan dari cengkeraman penjajah. Tetapi, setelah kemerdekaan dari penjajah tersebut didapatkan, bukan berarti semangat nasionalisme itu boleh luntur. Ia harus tetap lestari, harus mewarnai segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dalam era pembangunan nasional.

Kalau semangat nasionalisme 84 tahun yang lalu lebih berorientasi pada usaha menggalang persatuan dan kesatuan, kini dalam era pembangunan, ia selain harus ditampilkan untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa, juga harus dapat memberikan nafas dalam semangat untuk membangun, sebagai aktivitas mengisi kemerdekaan dengan pembangunan di segala bidang. Tidak hanya pembangunan dalam bentuk fisik, tetapi juga pembangunan mental dan spiritual, yang menentukan ketangguhan dan kelestarian semangat nasionalisme tersebut.

Memang, alam kemerdekaan telah memberikan warna tersendiri bagi bangsa Indonesia, fakta ini tidak dapat kita pungkiri, mengingat dalam berbagai hal, eksistensi bangsa dan tanah air Indonesia telah mendapat pengakuan (aktualisasi) dari bangsa-bangsa di belahan bumi ini. Bahkan hal yang lebih membanggakan kita sebagai bangsa Indonesia adalah kemampuan menciptakan stabilitas nasional yang cukup mantap. Aspek ini kalau kita bandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat (kasus Los Angeles), kita wajib bersyukur karena dengan Pancasila hal-hal semacam kasus LA itu dapat diantisipasi secara apik.

Nasionalisme dan pembangunan

Membicarakan masalah HARKITNAS, kita tidak terlepas dengan sejarah dan kepribadian para tokoh yang terlibat dalam momentum tersebut, misalnya Dokter Soetomo. Sebagai aktivis organisasi Boedi Oetomo, melalui goresan penanya beliau banyak mengobarkan semangat nasionalisme. Dalam salah satu tulisan berjudul Kewajiban dan Gamelan (baca: Kenang-kenangan Dokter Soetomo oleh Paul W. Van Der Veur. Editor terbitan Sinar Harapan Jakarta - 1984), beliau telah "membakar" semangat anak negeri ini untuk memperlihatkan semangat nasionalisme melalui untaian kalimat berikut.

Kita putra-putri Ibu Pertiwi yang sungguh-sungguh cinta nusa dan bangsa tentu mengerti bahwa pekerjaan yang ditujukan untuk memperbaiki nasib rakyat kita adalah suatu kewajiban yang utama.

Siapapun yang mengaku cinta kepada bangsa, sudah selayaknya menunjukkan cintanya itu dengan perbuatan, dan lebih utama lagi dengan pengorbanan. Artinya, perbuatan yang bersifat memberi tanpa mengharap balasan dan keuntungan (tanpa pamrih).

Kalau kita simak ungkapan Almarhum Bung Tomo di atas, timbul pertanyaan dalam diri kita, "Sudahkah hal ini mewarnai penampilan kita dalam era pembangunan?" Karena, salah satu usaha memperbaiki nasib rakyat harus dilakukan dengan pembangunan? Memang, pembangunan itu sendiri sudah berlangsung, dan keberhasilan dari pembangunan itu pun tidak terlepas dengan dukungan segenap lapisan masyarakat. Tetapi, jangan lupa, bahwa dukungan yang kita berikan (yang diberikan masyarakat) kepada pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan sebagai upaya memperbaiki nasib rakyat, ternyata masih belum dilakukan secara optimal. Misalnya, dalam hal pemupukan dana masyarakat melalui sektor perbankan, yang dapat dinilai kurang mendapat "gayung bersambut".

Swadaya masyarakat

Kalau kita simak lebih lanjut dari "goresan pena" Bung Tomo di atas khususnya pada kalimat kedua yang berbunyi "Siapapun yang mengaku cinta kepada bangsa, sudah selayaknya menunjukkan cintanya itu dengan perbuatan dan yang lebih utama lagi dengan pengorbanan". Bagaimana penerapannya dalam kehidupan kita sehari-hari setelah semangat kebangkitan nasional berusia 84 tahun?? Apakah semua ini sudah kita perlihatkan dengan perbuatan dan pengorbanan?? Tidak usah sampai ke pengorbanan agaknya cukup dengan pertanyaan "bagaimana perbuatan" kita??

Memang, sebagian masyarakat kita telah berupaya memberikan dukungan dalam pelaksanaan pembangunan melalui gerakan swadaya. Tetapi, kontribusinya terhadap nilai pembangunan masih relatif kecil dari yang seharusnya. Bahkan swadaya yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu, tanpa disadari telah diwarnai dengan "melunturnya" nilai-nilai semangat nasionalisme. Misalnya, pemupukan dana yang berorientasi pada pembangunan daerah atas prakarsa pemuka-pemuka adat/masyarakat tertentu.

Bagaimanapun "awamnya" kita terhadap kemampuan keuangan negara, namun sebenarnya kita tahu bahwa kondisi keuangan negara masih diwarnai dengan berbagai "keterbatasan". Memang, perolehan devisa cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya produk ekspor non-migas dan kiat-kiat pemerintah lainnya. Tetapi perlu kita sadari, bahwa peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan tuntutan dana untuk kepentingan pembangunan. Dengan demikian, sewajarnyalah kalau pemerintah senantiasa mengharapkan partisipasi dan prakarsa masyarakat, agar memberikan dukungan dalam usaha memupuk dana pembangunan. Misalnya dengan menghapuskan "subsidi BBM", untuk meningkatkan pungutan pajak dan menganjurkan masyarakat untuk menabung melalui perbankan (khususnya bank milik pemerintah), memang merupakan salah satu bentuk dukungan yang sangat potensial dari masyarakat. Itulah sebabnya, pemerintah dengan berbagai upaya mengajak masyarakat untuk meningkatkan "budaya menabung" melalui sektor perbankan. Berbagai sarana untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat telah diciptakan melalui sektor perbankan. Apakah upaya ini mendapat "gayung bersambut" dari masyarakat. Bukankah budaya "menumpuk emas" masih tetap menjadi salah satu "trendy", sekaligus mencerminkan ciri gaya hidup yang konsumtif dan snobisme.

Bisa saja, statistik tabungan masyarakat di berbagai bank memperlihatkan angka yang cenderung meningkat. Tetapi, apakah peningkatan ini berjalan seiring dengan peningkatan "take home pay" rata-rata masyarakat kita?? Sebab, bukan mustahil peningkatan "take home pay" tersebut tidak diikuti dengan peningkatan "saving" melalui sektor perbankan, melainkan hanya meningkatkan anggaran belanja akibat kedua budaya yang menjadi "trendy".

Konsumtif dan snobisme

Beberapa waktu yang lalu, melalui media massa pihak Pemda Jawa Barat sempat dibuat "heboh". Tidak jelas dari sudut mana "sumber berita" memandangnya, tetapi berita yang tersiar menyatakan bahwa sebagian masyarakat di Jawa Barat "rawan daya beli". Kalau saja pernyataan ini dikaitkan dengan kedua budaya di atas, bukankah tidak tertutup kemungkinan, bahwa pemberitaan tersebut telah mengabaikan kedua budaya yang kemungkinan juga mewarnai masyarakat di daerah yang diberitakan. Dalam arti, kedua budaya "dihalalkan" menjadi tolok ukur atas tingkat "daya beli" masyarakat yang tidak bisa mengikuti kedua budaya dinilai sebagai orang yang "rawan daya beli". Padahal untuk keperluan suatu pesta perkawinan (misalnya) dapat ditampilkan gaya snobisme meski sedikit ngoyo. Tumbuh suburnya kedua budaya tersebut, memang tidak terlepas dari "propaganda" dan "publikasi" pemasaran yang dilakukan produsen melalui berbagai media informasi. Tetapi, kita juga tidak bisa "mempersalahkan" pihak produsen, "wong itu kiat pemasaran, kiat untuk meraup pembeli sebanyak-banyaknya". Jadi, masyarakat sendirilah yang harus tanggap dengan kondisi ini, menyesuaikan kemampuannya dan tidak terseret pada budaya konsumtif serta snobisme.

Lebih tragis lagi kalau peningkatan budaya konsumtif dan snobisme tersebut menjurus pada penurunan nilai-nilai budaya nasional. Misalnya propaganda dan publikasi menu makanan yang berbau "westernisasime" kemungkinan terjadinya "tindak pidana korupsi" karena terdorong mengikuti kedua budaya tersebut sementara kemampuan finansialnya tidak menunjang dan sebagainya. Kalau hal ini terjadi, alangkah sayangnya nasib generasi muda negeri ini. Bung Tomo telah mewariskan acuan untuk membentuk semangat nasionalisme sebagaimana kutipan di atas. Warisan apa yang kelak kita berikan kepada generasi muda berikutnya?? Kedua budaya tadi??

Dalam kaitannya dengan masalah ini, kita patut "berterima kasih" kepada beberapa kalangan seniman. Misalnya, salah seorang pencipta lagu dan penyanyi yang mengumandangkan lagu Keju dan Singkong. Terlepas apakah dalam prakteknya mereka (pencipta lagu dan penyanyinya) lebih menggemari singkong daripada keju, namun upaya untuk menanamkan nilai budaya nasional telah dilakukan. Minimal ini dapat mengendalikan "trendy" generasi muda kita untuk tergiur pada menu yang berbau "westernisasi", yang disinyalir merupakan salah satu penyebab tumbuh suburnya budaya konsumtif dan snobisme. Tetapi, apa hanya seniman saja yang mengaku cinta kepada bangsa Indonesia?? Bagaimana dengan kita yang non-seniman??

Era Kebangkitan Nasional ke-II

Presiden Soeharto telah mencanangkan periode pembangunan 25 tahun kedua yang dimulai 1 April 1994 sebagai Era Kebangkitan Nasional II. Canangan ini selain merupakan pandangan yang amat strategis, juga merupakan pendekatan sejarah dengan melihat kesinambungan semangat nasionalisme yang mekar antara "masa lampau", "masa kini", dan "masa depan". Tetapi, permasalahannya kembali pada sikap dan sambutan segenap lapisan masyarakat terhadap canangan tersebut. Karena, konsentrasi dan implikasi dari pandangan ini sangat sentral artinya. Kita membangun di "masa depan" ditopang dengan keberhasilan pembangunan "masa kini" sementara pembangunan "masa kini" ditopang dengan keberhasilan pembangunan "masa lalu". Hanya saja, yang harus kita persiapkan adalah kuantitas dan kualitas pembangunan "masa kini" untuk menopang keberhasilan pembangunan "masa depan".

Bertitik tolak dari pemikiran di atas, dalam "masa kini" yang hanya kurang dari dua tahun lagi, diharapkan kita dapat mempersiapkan kerangka landasan yang kokoh untuk "tinggal landas" memasuki Era Kebangkitan Nasional II. Permasalahan ini tidak semata-mata terletak pada keberhasilan pembangunan "masa kini" secara materiil, tetapi lebih ditentukan oleh keberhasilan pembangunan secara moral dan spiritual.

Berbicara masalah moral, tentu tidak terlepas dengan kualitas manusia dengan berbagai dinamikanya. Sementara pembicaraan tentang kualitas manusia tidak terlepas pula dengan budayanya. Ciri kualitas manusia Indonesia yang diharapkan antaa lain adalah orang yang memiliki Jiwa Nasionalisme, Berwawasan Juang, dan rela berkorban demi nusa dan bangsa.

Bahkan, kalau kita kembali ke pernyataan Bung Tomo di atas, "Siapapun yang mengaku cinta kepada bangsa, sudah selayaknya menunjukkan cintanya itu dengan perbuatan, lebih utama lagi dengan pengorbanan." Naluri dan semangat kebangsaan kita seharusnya sudah terpanggil, untuk melakukan introspeksi diri. Oleh karena itu, saat 84 tahun usia HARKITNAS, marilah kita pertanyakan pada diri sendiri, "Apa yang telah kita perbuat dan apa yang telah kita korbankan untuk pembangunan di negeri ini? Sudahkah kita melaksanakan kewajiban sebagai bangsa Indonesia? Apakah harapan dan himbauan pemerintah di negeri ini telah kita laksanakan sesuai dengan yang diharapkan??" Jawaban pertanyaan tersebut sangat menentukan "kontribusi" yang telah kita berikan atas pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan nasional. Mudah-mudahan semua ini dapat menjadi bahan kajian kita bersama, sehingga Era Kebangkitan Nasional ke-II dapat memberikan "nilai tambah" bagi bangsa dan negara Indonesia. Semoga!!



Sumber: KORPRI 189, Juli 1992



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...