Kongres Pemuda 1928 tak hanya melahirkan obsesi dan imajinasi pemuda tentang tanah dan Indonesia, tetapi juga kesadaran dan kerinduan sebagai identitas bangsa merdeka. Apa maknanya setelah 90 tahun?
Pada Kongres Pemuda II, di Batavia, 28 Oktober 1928, tercatat ada dua pemuda berusia 25 tahun yang mengekspresikan "tanah" dan "Indonesia" dalam sebuah karya seni. Adalah Wage Rudolf Soepratman, sang komposer "Indonesia Raya", yang untuk pertama kalinya mengumandangkan "Indonesia Raya". Dengan gesekan biolanya, Wage melantunkan nada-nada yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia.
"Indonesia Raya" pun mengalun tanpa lirik karena menghindari tuduhan menghasut rakyat oleh pemerintah kolonial Belanda yang bisa berujung pada pembubaran kongres dan rencana deklarasi Sumpah Pemuda. Hanya lantun biola, tanpa suara manusia, "Indonesia Raya" mengalun karena teksnya hanya tersimpan di kantong Wage.
Selang beberapa hari kemudian, Wage menyiarkan liriknya yang mencakup tiga stanza di koran berbahasa Melayu, Sin Po. Dalam lirik orisinal yang ditulisnya itu, "tanah" disebutnya 14 kali. Ini adalah kata terbanyak setelah "Indonesia" yang disebutnya 27 kali.
Penyebutan kata "tanah" dan "Indonesia" tentu bukan tanpa makna. Juga bukan sebuah kebetulan jika dari tiga ikrar Sumpah Pemuda, "tanah" adalah wawasan persatuan yang digelorakan pertama. Baru "bangsa" dan "bahasa".
Nusa India adalah tanah Indonesia yang disebut Mohammad Yamin dalam sajaknya bertajuk "Indonesia Tumpah Darahku". Sajak yang berisi 88 bait itu rampung ditulisnya beberapa hari sebelum Kongres Pemuda II.
Inilah kutipan dari bait terakhir sajak Yamin: "Tumpah darah Nusa India/Dalam hatiku selalu mulia/Dijunjung tinggi atas kepala.
Semenjak diri lahir ke bumi/Sampai bercerai badan dan nyawa/Karena kita sedarah-sebangsa/Bertanah-air di Indonesia."
Obsesi dan imajinasi
Tentu bukan kebetulan jika Wage dan Yamin sama-sama memiliki obsesi dan imajinasi tentang tanah Indonesia yang kemudian dituangkan dalam karya seninya. Lebih luas lagi, kemudian dalam sebuah elan pergerakan.
Tanah adalah obsesi dan imajinasi generasi muda Indonesia saat itu. Tanah bahkan kesadaran dan kerinduan kolektif bangsa Indonesia. Tanah juga sebagai identitas hakiki bangsa yang merdeka, yang semula hanyalah ilusi sepanjang penjajahan kolonial berabad-abad lamanya. Oleh karena itu, berdaulat atas tanah adalah bagian integral dari cita-cita pergerakan kemerdekaan nasional. Seperti halnya sejarah bangsa mana pun di dunia, generasi muda pun mengambil tanggung jawab menjadi suara bangsanya.
Untuk itu, pagi-pagi benar setelah merebut kemerdekaan di hadapan ancaman bayonet bala tentara Jepang, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang berisi generasi muda berumur 30-50 tahun mengartikulasikan kesadaran dan kerinduan akan tanah Indonesia dalam konstitusi Indonesia, yakni Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Jika pemerintah kolonial menempatkan tanah sebagai obyek eksploitasi, anak-anak muda menempatkan tanah dalam posisi yang diametral; instrumen keadilan sosial. Pasal 33 menyebutkan, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Aplikasinya, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Orientasinya jelas, reforma agraria. Mengapa reforma agraria? Sebab, penjajahan pemerintah kolonial selama 3,5 abad meninggalkan warisan ketimpangan struktur penguasaan tanah yang berujung kemiskinan di Indonesia. Ini juga menjadi imbas dominasi penguasaan tanah oleh perusahaan perkebunan di zaman kolonial Belanda.
Mengacu UU Pokok Agraria, reforma agraria adalah penataan ulang pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah, untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah. Inti reforma agraria adalah redistribusi kepemilikan dan penguasaan tanah. Tujuannya menciptakan keadilan sosial, meningkatkan produktivitas, dan kesejahteraan rakyat.
Namun, sejarah punya jalan. Implementasi amanat Pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria layu sebelum berkembang. Narasi bersar kebijakan pemerintah tidak lagi reforma agraria, tetapi liberalisasi tanah. Rezim Orde Baru membuka kotak pandora liberalisasi tanah dengan menerbitkan UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Selebihnya, kemudian berseminya berbagai UU sektoral yang mengacak-acak Pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria sebagai aturan induk pengelolaan tanah.
Berbagai korporasi multinasional dan nasional pun berbondong-bondong mencari konsesi ratusan sampai ribuan hektar lahan di berbagai penjuru Nusantara. Bidang usahanya beragam, dari perkebunan hingga pertambangan. Esensinya tak beda dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), mengeruk kekayaan alam. Sementara setoran pajak ke negara dikemplang habis-habisan. Eksploitasi lahan di sepanjang usia kemerdekaan tak pelak memperparah struktur ketimpangan penguasaan tanah. Bertambahnya jumlah penduduk semakin memperburuk pengelolaan tanah.
Ketimpangan
Ketimpangan penguasaan tanah jadi salah satu persoalan paling kronis dan struktural Indonesia yang kompleksitasnya merasuk ke berbagai aspek hidup masyarakat hingga kini. Selain menyangkut keadilan sosial, persoalan ini juga menghambat keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional. Ketimpangan penguasaan tanah juga memproduksi bom waktu bernama konflik agraria antara korporasi dan rakyat, antara negara dan rakyat. Pascamerdeka 1945, ratusan konflik agraria terjadi. Tak jarang berujung pada kriminalisasi.
Peristiwa Djengkol di kaki Gunung Kelud, Jawa Timur, jadi contoh tragedi sejarah konflik agraria Indonesia. Pada November 1961, terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan warga menyusul upaya pengosongan lahan perkebunan di Dusun Djengkol, Desa Plosokidul, Kecamatan Plosoklaten, Kediri. Tahun-tahun berikutnya, konflik agraria terus terjadi. Hanya saja rezim otoritarian dan akses informasi yang belum seluas sekarang menyebabkan mayoritas persoalan mengendap di bawah.
Pascareformasi, konflik agraria terus berlanjut. Masalah yang dulu lebih banyak mengendap, banyak meletup ke permukaan. Selama 2015-2017, misalnya, dari catatan akhir 2017 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ada 1.361 konflik agraria.
Perkebunan jadi sektor penyumbang konflik agraria terbanyak. Terbentang dari perkebunan eks kolonial Belanda hingga perkebunan baru. Sektor berikutnya properti, infrastruktur, pertanian, kehutanan, pesisir dan kelautan, serta pertambangan.
Pascareformasi, reforma agraria berangsur-angsur kembali pada wadahnya yang obyektif, yakni instrumen dasar untuk mewujudkan keadilan sosial. Maka, reforma agraria kembali masuk ke agenda pemerintah. Namun, konsepnya sangat parsial dan implementasinya lambat. Konsep reforma agraria pascareformasi masih sebatas redistribusi tanah dan minim realisasi. Padahal, reformasi agraria sejati inheren dengan pemberdayaan masyarakat mencapai kesejahteraan. Ini artinya, redistribusi tanah harus dikombinasi dengan, antara lain, pendampingan, pemberian kredit dan pelatihan, serta penyelesaian sengketa lahan.
Presiden Joko Widodo juga menjanjikan reforma agraria dalam Nawacita. Dari data Kantor Staf Presiden, total target tanah yang disalurkan lewat reforma agraria selama 2015-2019 sebanyak 21,7 juta hektar. Ini mencakup redistribusi tanah, perhutanan sosial, dan sertifikasi. Dari target redistribusi tanah 4,5 juta hektar, realisasi hingga Oktober lalu 9.491.557 bidang atau sertifikat. Dari target perhutanan sosial seluas 4,3 juta ha, realisasinya 2 juta ha. Adapun sertifikasi tanah, targetnya 4,5 juta ha. Realisasi selama 2015-2017 adalah 7,54 juta bidang. Target tahun ini 7 juta bidang dan tahun depan 9 juta bidang.
Saat pembukaan Rembuk Nasional Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk Keadilan Sosial dan Global Land Forum 2018 di Istana Negara, Jakarta, beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi mengakui, struktur penguasaan tanah masih timpang. Ia berjanji mempercepat penyelenggaraan reforma agraria. Presiden kemudian menandatangani Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang mencakup tiga program utama, yaitu redistribusi lahan, perhutanan sosial, dan sertifikasi tanah. Program ini dijanjikan dikombinasi dengan pendampingan, pembiayaan kredit usaha rakyat, dan fasilitasi kemitraan perusahaan.
Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho mengatakan, aturan ini diharapkan jadi jawaban dan terobosan percepatan reforma agraria dan perhutanan sosial hingga ke daerah untuk mengakselerasi keadilan sosial berbasis pemerataan.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyatakan, ketimpangan penguasaan tanah bukan persoalan yang melekat pada sejarah masa lalu saja, tetapi juga persoalan serius hari ini dan masa depan. Implikasinya tak cuma soal ekonomi dan sosial, tetapi juga rasa kebangsaan yang tunggal. Artinya, ketimpangan penguasaan tanah jadi soal relevan generasi muda hingga masa depan.
"Bangsa Indonesia sebenarnya diikat wilayah Tanah Air. Tanpa Tanah Air, semangat kebangsaan itu hilang dan kita jadi penonton, bukan aktor pembangunan di negeri sendiri. Saat ini, reformasi agraria juga harus diperjuangkan oleh generasi muda," kata Dewi.
Dulu, ketika "Indonesia Raya" dilantunkan pertama kali oleh Wage, tanah adalah kesadaran dan kerinduan kolektif bangsa Indonesia. Generasi muda yang harus mengartikulasikan dan memperjuangkannya. Dulu, ada suatu masa saat kesadaran kolektif bangsa, gerakan generasi muda, dan momentum, tak beriringan, tetapi beririsan. Dan, irisan itulah yang melahirkan Kongres Pemuda II, sebuah tonggak penting dalam sejarah bangsa. Setelah 90 tahun kemudian, tantangannya tentu tanah Indonesia harus menjadi nyata untuk sumber kehidupan dan penghidupan siapa pun bangsa Indonesia.
(FX LAKSANA AS/ANITA YOSSIHARA)
Sumber: Kompas, 5 November 2018
Komentar
Posting Komentar