Langsung ke konten utama

Pesan dari Tempat Kongres Pemuda II

Kehadiran semangat persatuan sekitar 90 tahun silam tidak dapat dilepaskan dari tiga bangunan di jantung Weltevreden, area perluasan Batavia--sekarang DKI Jakarta. Dari tiga bangunan itu pula, tecermin kesadaran tentang keberagaman yang mendasari lahirnya semangat persatuan tersebut.

"Kerapatan (Congres) Pemoeda-Pemoeda Indonesia di Weltevreden (27-28 October). Datanglah ke Congres Ini Djangan Loepa."

Di salah satu dinding di Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, terpampang kabar mengenai kongres yang kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda II tahun 1928. Kabar tentang rencana kongres berikut agenda dan tiga tempat penyelenggaraannya itu dikutip dari koran Persatoean Indonesia.

Tiga lokasi kongres yang dimaksud, dimulai dari Gedung Katholieke Jongelingen Bond (KJB) atau Perhimpunan Pemuda Katholik di Waterlooplein (sekarang sekitar Lapangan Banteng, Jakarta), 27 Oktober 1928.

Keesokan harinya, kongres dilanjutkan di Gedung Oost Java Bioscoop di Koninsplein Noord (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara). Sebagai pamungkas, malam harinya, rapat digelar di Gedung Indonesisch Clubhuis, Jalan Kramat Raya 106.

Tiga lokasi kongres itu membuat panitia dan peserta kongres harus berpindah dari satu titik ke titik lain yang lumayan jaraknya. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat para pemuda. Di setiap pertemuan, ratusan orang tetap hadir melebihi kapasitas gedung.

Padahal, sebelum memilih lokasi, panitia kongres yang dipimpin Sugondo Djojopuspito dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) sudah mempertimbangkan kapasitas gedung. "Belajar dari Kongres Pemuda I, tahun 1926, panitia mencari gedung yang kapasitasnya lebih besar untuk Kongres Pemuda II," kata anggota Staf Edukasi Museum Sumpah Pemuda, Bakhti Ari Budiansyah, pertengahan Oktober lalu.

Gedung lokasi Kongres Pemuda I, yang kini digunakan oleh Kimia Farma, di Jalan Budi Utomo, Jakarta, hanya mampu menampung hingga 100 orang. Sementara saat kongres digelar ada sekitar 500 pemuda dan masyarakat yang hadir.

Namun, selain kapasitas gedung yang menjadi pertimbangan, sebenarnya ada hal lain yang hendak disampaikan panitia dari gedung-gedung yang dipilih. Ini seperti yang diungkapkan sejumlah peserta kongres ke pihak Museum Sumpah Pemuda saat mewawancarai mereka, sekitar tahun 1970.

Pesan

Menurut Bakhti, Gedung KJB dipilih sebagai lokasi kongres diduga karena panitia juga ingin menyampaikan pesan bahwa keinginan bersatu yang muncul pada saat itu tidak hanya milik pemuda dari kelompok agama, suku, atau etnis tertentu.

KJB, seperti dikutip dari Memoar Alumni Pemuda Katolik yang disusun Djokopranoto, Lahur, dan Soedjoed, diinisiasi pendiriannya oleh Pastor Jan Van Rijckevorsel pada 1914.

Pada saat itu, sejumlah pastor misionaris yang bertugas di Hindia Belanda memiliki keberpihakan kepada pribumi dan gerakan mencapai kemedekaan. Hal ini, antara lain, terlihat pula dari anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) Katholieke Sociale Bond atau Perkumpulan Kemasyarakatan Katolik yang turut disusun Jan sebelum KJB. Di buku Politik Bermartabat: Biografi IJ Kasimo karya JB Soedarmanta, salah satu poin di AD/ART menyebutkan, orang Jawa berhak untuk tumbuh sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. 

Keberpihakan itu juga terlihat dari persahabatan Jan dengan M Hatta dan IJ Kasimo, dua tokoh pergerakan kemerdekaan. Jan, menurut Adolf Heuken dalam 200 Tahun Gereja Katolik di Jakarta, bahkan dipilih menjadi penasihat Jong Sumatranen Bond atau Perkumpulan Pemuda Sumatera, salah satu perkumpulan yang turut dalam Kongres Pemuda II.

Dengan demikian, tidak heran jika para pastor misionaris plus KJB mendukung gerakan para pemuda tahun 1928 dan mengizinkan gedung KJB menjadi lokasi kongres. Padahal, saat itu pemerintah kolonial melarang pertemuan-pertemuan politik.

Rumah kos

Pesan persatuan dalam kongres juga tersirat kuat dari pemilihan gedung Indonesisch Clubhuis. Gedung ini semula merupakan rumah kos para pemuda yang tergabung di Jong Java. Sebagian besar dari mereka adalah pelajar sekolah kedokteran STOVIA. Namun, dalam perkembangannya, tak hanya pemuda Jawa yang tinggal di rumah kos itu, tetapi juga pemuda dari suku lain.

Hidup bersama di rumah kos tak hanya meleburkan perbedaan suku, agama, dan ras, tetapi juga melahirkan rasa saling menghargai. Bahkan, lebih dari itu, tidak jarang mereka terlibat dalam diskusi politik yang akhirnya melahirkan kesepahaman bahwa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, dan ras semestinya bersatu untuk bisa lepas dari penjajahan Belanda.

Semangat di rumah kos itu yang kemudian coba ditularkan oleh panitia kongres kepada para pemuda lain saat kongres. Ini yang membuat gedung Indonesisch Clubhuis ikut dipilih sebagai lokasi kongres. Dengan menggelar kongres di rumah kos milik Sie Kong Liong, panitia diduga juga ingin menunjukkan bahwa gerakan pemuda didukung pula oleh pemuda keturunan Tionghoa.

Sie Kong Liong, ujar Bakhti, mengizinkan kongres digelar di rumah kos miliknya meski ia harus menanggung risiko dipenjara karena membolehkan kongres yang membahas soal politik. Dengan berani menanggung risiko itu, Liong diyakini ikut bersimpati pada upaya yang dirintis oleh para pemuda.

Wawancara harian Kompas dengan Kwee Tiam Hong alias Daud Budiman, yang dimuat di harian Kompas, 25 Oktober 1978, menguatkan adanya dukungan dari pemuda Tionghoa terhadap Kongres Pemuda II. Kwee yang tergabung dalam Jong Sumatranen Bond mengajak serta tiga pemuda lain keturunan Tionghoa untuk mendukung Kongres Pemuda II. "Kami merasa senasib dan sependeritaan, menghadapi lawan yang sama, yaitu kolonialisme Belanda," katanya.

Kehadirannya bersama tiga rekannya dalam kongres pun tidak dipersoalkan oleh peserta kongres lainnya. "Saya merasa salah seorang daripada mereka dan mereka menganggap saya demikian pula," tambahnya. 

Dukungan orang Tionghoa diduga juga ada di balik dipilihnya gedung Oost Java Bioscoop. Saat kongres digelar, kebanyakan bioskop dimiliki orang Tionghoa. Dengan meminjamkan tempatnya untuk kongres sekalipun risikonya berat, ada kemungkinan pemilik ikut mendukung gerakan pemuda tersebut.

Meski demikian, menurut sejarawan dari Universitas Indonesia, Anhar Gonggong, dan Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Prof Dr Susanto Zuhdi, secara terpisah, sulit menjumpai sumber sejarah yang menyebutkan alasan di balik pemilihan tiga gedung atau alasan kongres harus digelar di tiga lokasi berbeda. 

Sumber yang ditemukan hanya menyebutkan, gedung dipilih karena punya kapasitas besar. Selain itu, untuk mengelabui Polisi Rahasia Belanda. Namun, alasan ini sulit diterima karena di setiap kongres mereka masih hadir. Apalagi kabar kongres disiarkan melalui sejumlah surat kabar, sebelum acara itu berlangsung.

Akan tetapi, jika mencermati bahwa ikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yang disepakati pemuda di Kongres Pemuda II tidak lahir tiba-tiba saat kongres, tetapi buah dari ikhtiar panjang para pemuda sejak 1908, bisa saja semangat bersatu itu sudah dijadikan pijakan dalam memilih lokasi kongres.

"Jadi, persatuan tidak sebatas ide, tetapi juga dicari tempat yang bermakna yang selaras dengan ide itu," ujar Zuhdi.

Jika benar demikian, para pemuda kala itu tidak hanya cerdas dan berani merancang gagasan besar untuk persatuan, tetapi juga bisa menyampaikan hal tersebut dalam sejumlah simbol. Suatu langkah cerdas dan berani yang tetap dibutuhkan hingga saat ini ....

(A PONCO ANGGORO/NIKOLAUS HARBOWO)



Kongres Pemuda II
27 - 28 Oktober 1928

Rapat Pertama

27 Oktober 1928
Pukul 19.30 - 23.30
Lokasi: Gedung Katholieke Jongelingen Bond (KJB) atau Perhimpunan Pemuda Katolik. Gedung ini telah dibongkar. Di atas lahannya, kini berdiri Gedung Pertemuan Gereja Katedral, Jakarta.

Rapat Kedua

28 Oktober 1928
Pukul 08.00 - 12.00
Lokasi: Gedung Oos Java Bioscoop. Dari iklan pertunjukan operet di Gedung Oost Java Bioscoop, yang tayang di Soerabaiasch Niewsblaad, 5 - 18 Januari 1916 dan 26 - 17 Februari 1926, disebutkan bahwa gedung di pojok pertemuan Jalan Merdeka dengan Jalan Veteran III, Jakarta. Jadi, diperkirakan gedung ini dulu berada di lahan yang kini berdiri gedung Mahkamah Agung atau bisa pula berada di lahan yang kini Kompleks Istana Merdeka.

Rapat Ketiga

28 Oktober 1928
Pukul 17.30 - 23.30
Lokasi: Rumah kos milik Sie Kong Liong atau Gedung Kramat 106 atau gedung Indonesisch Clubhuis di Jalan Kramat Raya Nomor 106, Jakarta. Sejak 1973, gedung ini dijadikan museum dengan nama Gedung Sumpah Pemuda. Baru pada 1983, Gedung Sumpah Pemuda diganti dengan nama Museum Sumpah Pemuda. 

Sumber: Diolah dari berbagai sumber/BOW/APA



Sumber: Kompas, 1 November 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...