Langsung ke konten utama

Merawat Ingatan untuk Masa Depan

Ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, memang dicetuskan para pemuda di bangunan yang berada di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, yang kini telah mejadi Museum Sumpah Pemuda. Namun, kelahiran ikrar itu tak bisa dipisahkan dari Gedung Katholieke Jongelingen Bond atau Perhimpunan Pemuda Katolik dan Oost Java Bioscoop.

Hal ini karena rangkaian kongres yang menghasilkan Sumpah Pemuda terjadi di tiga gedung tersebut.

Jika selama ini hanya gedung di Kramat Raya 106 yang banyak diingat dalam lahirnya Sumpah Pemuda, hal itu antara lain karena di gedung tersebut memori tentang Sumpah Pemuda dirawat dan dijaga dengan optimal. Adapun Gedung Katholieke Jongelingen Bond (KJB) dan Oost Java Bioscoop saat ini telah dibongkar.

Di atas tanah tempat bekas Gedung KJB, kini berdiri Gedung Pertemuan Gereja Katedral Jakarta. Gedung pertemuan itu berada persis di belakang Katedral.

Dari Memoar Alumni Pemuda Katolik yang disusun Djokopranoto, Lahur, dan Soedjoed, Gedung KJB diupayakan pendiriannya oleh Pastor Jan van Rijkervosel yang juga inisiator terbentuknya KJB. Gedung itu mulai digunakan pada 1918.

Sejak dua tahun lalu, Gereja Katedral mencoba menghidupkan memori itu. Sumber dan bukti-bukti sejarah pun ditelusuri. Kemudian, saat pihak gereja membangun Museum Katedral, disediakan ruang khusus untuk menghidupkan memori Kongres Pemuda II di KJB.

Saat Kompas mengunjungi ruang itu, Jumat (26/10/2018), vandel dengan lambang KJB telah dipajang. Warna kain yang sudah memudar menunjukkan usia vandel yang diperkirakan puluhan tahun. Di vandel itu tertera tanggal lahir KJB, 19 September 1914. Di samping kiri dan kanan vandel terpampang sejarah singkat KJB dan Kongres Pemuda II, termasuk pertemuan di Gedung KJB. Mulai Sabtu (27/10), museum tersebut sudah bisa dikunjungi. 

Pihak gereja berupaya mengusulkan agar lokasi KJB menjadi situs cagar budaya. "Ini upaya kita merawat ingatan. Merawat ingatan itu penting agar kita bisa melangkah maju dengan lebih baik karena telah diperkaya oleh pengalaman sejarah," tutur Pastor Paroki Katedral Hani Rudi Hartoko.

Tak diketahui persis

Sementara itu, keberadaan Gedung Oost Java Bioscoop saat ini tak diketahui secara pasti. Sejumlah sejarawan, seperti Anhar Gonggong dari Universitas Indonesia dan pendiri Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali, sebatas mengetahui jika gedung itu berada di Jalan Medan Merdeka Utara.

Dari koran Persatoean Indonesia yang menginformasikan rencana tentang Kongres Pemuda II disebutkan bahwa Oost Java Bioscoop ada di Koningsplein Noord. Koningsplein Noord adalah nama jalan di era Hindia Belanda yang setelah Indonesia merdeka diubah menjadi Medan Merdeka Utara.

Dalam tulisan Haris Jauhari di Layar Perak, 90 Tahun Bioskop di Indonesia, bioskop disebut berada di pojok pertemuan Jalan Medan Merdeka Utara dengan Jalan Veteran III. Maka, bisa jadi bioskop itu ada di area yang kini berdiri Gedung Mahkamah Agung (MA) atau Kompleks Istana Merdeka.

Informasi lain dari Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1998 disebutkan, bioskop ada di Medan Merdeka Utara Nomor 14 dan pernah digunakan menjadi Gedung Pemuda.

Harian Kompas pada 14 Oktober 1965 menyebutkan, Gedung Pemuda yang ada di Merdeka Utara menjadi sasaran amuk massa. Hal ini karena kelompok pemuda yang beraktivitas di gedung itu diafiliasikan menjadi bagian dari Gerakan 30 September 1965.

Jika bioskop disebut beralamat di Medan Merdeka Utara 14, bisa jadi bangunan itu dahulu ada di sebelah timur Istana Merdeka atau di sebelah barat Gedung MA. Sebab, alamat dari Gedung MA saat ini adalah Medan Merdeka Utara Nomor 9-13.

Sulitnya mencari sebagian dari lokasi Kongres Pemuda II itu semoga tak ikut memudarkan memori akan pentingnya kongres dan Sumpah Pemuda. Pasalnya, politisi, wartawan, dan pengusaha asal Jamaika, Marcus Mosiah Garvey (1887-1940), pernah mengingatkan, "Mereka yang tidak memiliki pengetahuan akan sejarah, asal-usul, dan budaya mereka, seperti pohon tanpa akar." (APA/BOW)



Sumber: Kompas, 1 November 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...