Langsung ke konten utama

Zaman Jepang dan Murid Sekolah

Oleh H. DJOKO WIDODO


Perang Dunia II pecah pada tahun 1939. Hampir seluruh negara di dunia ini terlibat di dalamnya. Tak terkecuali negara-negara jajahan seperti di Hindia Belanda ini. Tak ayal lagi, Hindia Belanda menjadi sasaran empuk penyerangan tentara Jepang.


DALAM beberapa bulan saja tentara Jepang sudah menguasai seluruh daerah Hindia Belanda. Singkat kata, pemerintah Hindia Belanda kalah dan menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Itu terjadi pada bulan Maret 1942.

Sejak pemerintahan Hindia Belanda ambruk dan bubar maka sejak saat itu dimulailah babak baru dalam hal jajah-menjajah. Kalau sebelumnya negeri kita ini sudah dijajah dan diisap oleh Belanda selama kurang lebih 350 tahun, maka sejak tahun 1942 itu Indonesia beralih dijajah dan dicengkeram oleh pemerintah militer Jepang. Begitu Jepang masuk, segala sesuatunya berubah dengan cepat sekali. Saat peralihan ini merupakan suatu proses perubahan yang sangat drastis dan tragis. Karena perubahannya bukan menuju kepada perbaikan, tetapi justru perubahan yang membawa bencana penderitaan dan kesengsaraan yang tiada taranya bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengapa? Karena selama tiga setengah tahun dijajah militer Jepang, kesengsaraan demi kesengsaraan yang diderita rakyat dan bangsa Indonesia semakin menjadi-jadi tak terperikan hingga di luar batas kemanusiaan.

Bahan makanan

Mengenai bahan makanan pokok yaitu beras sama sekali tidak ada di pasaran. Demikian pula dengan bahan makanan lainnya. Selain karena para petani sudah tidak kuat lagi untuk mencangkul, juga tidak bergairah lagi karena hasil tanamannya selalu diambil paksa oleh pemerintah. Setiap hasil panen rakyat harus diserahkan ke lumbung penguasa. Hasil yang baik kualitasnya digunakan untuk memasok ke asrama-asrama serdadu Jepang dan asrama-asrama Heiho. (Heiho adalah orang-orang Indonesia yang diangkat jadi tentara.) Kemudian beras yang jeleknya diperuntukkan bagi rakyat.

Tiap keluarga diberi satu lembar kupon dari Kumicho (semacam RW). Di situ tertera jatah bahan pangan yang berhak diterimanya. Maka setiap hari antara jam 4 dan 5 sore rakyat pun berbondong-bondong antre mengambil jatahnya masing-masing di tempat yang telah disediakan berupa beras dengan kualitas "pakan burung" yang banyak gabah dan pasirnya. Kemudian ditambah dengan sejimpit ikan teri berikut terasi dan garamnya. Jatahnya hanya sedikit sekali. Maka untuk menambah ganjal perut terpaksa orang memenuhinya dengan makan ubi dan singkong rebus. Makanya saat itu orang giat menanam ubi dan singkong di setiap halaman rumah masing-masing. Bahkan lapangan terbuka kemudian secara beramai-ramai ditanami tanaman produktif tersebut. Dengan demikian tiap hari orang hanya dibeuweung (dijejali) dari itu ke itu saja.

Karena rendahnya mutu pangan yang dikonsumsi masyrakat, banyak sekali orang yang menderita penyakit busung lapar. Tampak jelas dari badannya yang kurus kering, pucat pasi, tapi perutnya buncit. Sementara kedua kakinya besar membengkak karena menderita beri-beri berat. Belum lagi penyakit-penyakit lain seperti paru-paru, gangguan pernapasan, penyakit kulit, kudis koreng bernanah, dan lain-lain. Sungguh menjijikkan.

Maka tiap hari berpuluh-puluh jenazah ngaleut (beriring-iringan) dikuburkan, meninggal karena berbagai penyakit dan kelaparan! Dan ini menjadi pemandangan sehari-hari karena penulis tinggal di sekitar tempat pemakaman "Sirnaraga" dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri.

Sekolah rakyat

Di zaman itu terdapat berbagai sekolah peninggalan dari Hindia Belanda. Sekolah yang tadinya bernama Lagere School dan Volk School segera diadaptasi dan diterjemahkan menjadi Sekolah Rakyat (SR), sama dengan SD 6 tahun sekarang.

Anak-anak sekolah saat itu tidak berseragam, namun memiliki keseragaman, yaitu bahwa kepala harus dicukur gundul. Demikian pula dengan orang-orang dewasa pada umumnya. Mereka dengan sukarela mencukur rambut kepalanya hingga gundul. Mereka meniru tentara Jepang yang mulai dari prajuritnya hingga ke opsirnya (perwira), semua tanpa kecuali harus berkepala gundul. Setiap anak sekolah mengenakan topi anyaman yang terbuat dari bahan tikar. Anak-anak sekolah semuanya tidak ada yang bersepatu, kecuali sensei-nya (guru).

Setiap pagi sebelum kegiatan belajar dimulai, semua murid harus berkumpul di halaman sekolah untuk mengikuti senam pagi yang disebut Taiso dengan diiringi irama lagu yang disiarkan radio secara sentral.

Terdapat tiga jenis tahapan senam yang disebut dengan Dai-Ichi-Dai-Ni dan Dai-San. Artinya senam I, senam II, dan senam III. Ketiga jenis tahapan ini berjalan sekira 30 menit.

Selesai senam seluruh murid berkumpul di bangsal untuk mengikuti upacara ala militer dengan aba-aba dalam bahasa Jepang. Acara pertama dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Sesudah selesai para murid bersama-sama mengucapkan "Ikrar Siswa" sebanya lima butir, juga dalam bahasa Jepang. Butir pertama berbunyi (kira-kira), "Warera wa Sinjawa no Gakuto Nari". Artinya kurang lebih, "Kami adalah siswa sekolah" dst. Pembacaan ikrar ini dipimpin oleh Ketua Murid Umum (KMU) atau oleh aktivis siswa yang paling bersemangat.

Di SR Babatan terdapat nama Mohamad Toha yang duduk sekelas dengan penulis di mana kita kenal sekarang dengan nama Pahlawan Moh. Toha. Dia adalah juga salah seorang pimpinan upacara tersebut.

Selesai membaca ikrar, seluruh murid beserta para sensei-nya harus menghadap ke arah ibu kota Jepang, Tokyo. Dengan aba-aba bahasa Jepang selanjutnya semua Seikerei. Caranya ialah membungkukkan badan seperti orang yang sedang rukuk di dalam salat. Yang dihormat dengan gerakan ini adalah pucuk pimpinan Kerajaan Jepang yang tiada lain adalah Kaisar Teno Haika. Dia dipercayai oleh orang Jepang sebagai orang suci, titisan/penjelmaan dari Amateratsu (= Dewa Matahari). Maka dari itu bendera Jepang menggunakan lambang matahari yang disebut Hinomaru no Hatta atau Nippon no Hatta. Artinya bendera matahari alias bendera Jepang.

Sesudah selesai seikerei terdengar aba-aba, Naore, semua berdiri tegak kembali. Dan perintah terakhir berbunyi, mokto. Artinya mengheningkan cipta, persis seperti pada upacara-upacara yang kita lakukan sekarang. Selesai rangkaian upacara demi upacara maka pimpinan menutupnya dengan sebuah ucapan keras, Wakare! Artinya bubar!

Maka berhamburlah anak-anak memasuki kelasnya masing-masing. Sampai di kelas tidak langsung duduk, melainkan berdiri di samping bangku tempat duduknya. Setelah Sensei masuk dan berdiri di hadapan murid-muridnya, sambil sedikit membungkuk semua mengucapkan ohayo ghozaimas. Selamat pagi. Setelah itu para murid baru diperbolehkan duduk. Demikian pula saat hendak pulang dilakukan dengan cara yang sama, tapi dengan ucapan sayonara, artinya selamat berpisah.

Mengenai pelajaran sekolah yang paling dibenci anak sekolah (untuk kelas V dan VI) adalah pelajaran tulisan Jepang yang disebut huruf Kanji. Persis sejenis huruf-huruf Cina yang kita lihat di mana-mana sekarang ini. Adapun huruf-huruf Katakana dan Hiragana merupakan tulisan dasar seperti Alphabet pada tulisan Latin.

Mengenai bahasa Jepangnya sendiri barangkali tidak terlalu sulit untuk dihafal dan diucapkan. Apalagi lagu-lagu Jepang (Nippon no Uta) sangat mudah untuk dilantunkan karena melodi dan iramanya sangat sederhana.

Kegiatan luar sekolah

Dua minggu sekali murid-murid diharuskan kerja bakti yang disebut Kendrohoshi. Yang dikerjakan adalah membersihkan halaman dan menata lingkungan sekolah, mencangkul kebun untuk ditanami jagung, ubi, singkong, dan lain-lain. Ada sejenis pohon yang bernama kaliki atau juga disebut jarak. Buahnya sebesar kacang merah dan tidak dapat dimakan, tapi mengandung kadar minyak yang sangat tinggi. Pohon ini merupakan tanaman yang wajib ditanam di sekeliling halaman, di setiap sekolah maupun rumah. Pohon kaliki ini sangat mudah tumbuh. Dalam jangka tiga bulan pohon ini dapat mencapai ketinggian 1,5 meter. Di saat itu sudah mulai dapat menghasilkan buahnya secara terus-menerus. Kemudian hasilnya, buahnya dikumpulkan dan dibawa ke pabrik untuk diproses dibuat minyak pelumas bagi mesin perang Jepang.

Bahan lain yang juga sangat dibutuhkan oleh Jepang saat itu ialah logam-besi untuk dibuat alat-alat perang. Maka pagar-pagar halaman penduduk yang terbuat dari besi harus dibongkar untuk kemudian diserahkan kepada penguasa. Tapi anehnya, emas, dan berlian milik penduduk pun diminta untuk diserahkan kepada penguasa, termasuk emas-berlian milik orang tua penulis.

Kembali kepada masalah kegiatan luar sekolah. Pada waktu tertentu murid-murid dari sejumlah SR di-kendrohoshi-kan bersama di luar sekolah. Tempat yang sering dikunjungi adalah lapangan terbang Andir (Bandara Husein Sastranegara, Bandung). Apa yang mereka kerjakan di situ? Murid-murid SR yang tergolong masih kecil ini disuruh membabat rumput alang-alang, ngored, dan meratakan tanah bersama pekerja-pekerja Romusha. Para pembaca dapat membayangkan, betapa anak-anak yang masih kecil dan lembut ini dipekerjakan di lapangan terbuka di bawah panas teriknya matahari tanpa diberi makanan ataupun minum dan tanpa alas kaki.

Dalam keadaan begitu tentu saja banyak di antara mereka yang jatuh pingsan dengan tanpa mendapat pertolongan sebagaimana mestinya. Pelayanan kepada yang pingsan hanyalah dibaringkan di atas tanah di bawah pohon pisang atau pohon lainnya, karena tidak boleh ada yang mendekat ke hanggar atau bangunan lainnya. Kemudian kawan yang pingsan kepalanya diceuceuh (dikompres) dengan air selokan yang terdapat di sebelah selatan batas lapangan. Itu pun tidak dilakukan oleh petugas Palang Merah yang seharusnya ada, melainkan atas inisiatifnya sesama anak! Betul-betul tidak ada perlindungan dan perikemanusiaan sedikit pun.

Untuk memperingati hari-hari besar Jepang, murid SR di seluruh Bandung harus berkumpul di lapangan Tegalega guna mengikuti suatu upcara. Intinya mendengarkan pidato dalam bahasa Indonesia dan Jepang yang tentu saja sama sekali tidak dimengerti oleh murid, para guru, maupun hadirin. Pidatonya begitu berapi-api sehngga pada setiap kalimat berhenti, sungguhpun tidak dimengerti semua hadirin dan murid secara spontan berteriak, Banzai, Banzai! Artinya Hidup, hidup! Pidatonya yang berbahasa Indonesia sepenuhnya berisi agitasi, mengutuk dan menghasut untuk menumbuhkan rasa benci kepada musuh lawannya yaitu Inggris, Amerika, dan sekutu-sekutunya. Sementara Jepang menamakan dirinya pelindung, sebagai "kakak tua" atau "saudara tua dari Asia Timur Raya".

Selesai pidato kemudian dilanjutkan dengan senam massal, Taiso dan Odori, tarian massal yang dilakukan murid-murid perempuan. Karena kondisi kesehatan yang tidak memadai serta letihnya badan dan panasnya sengatan matahari, tak ayal lagi, berpuluh-puluh murid roboh berjatuhan pingsan bergelimpangan. Namun anehnya, sungguhpun semua anak di zaman penjajahan Jepang hidup dalam kondisi sengsara dan menderita, kurang gizi dan vitamin, naluri keceriaan selaku anak dalam bermain tetap tinggi. Terbukti pertandingan olah raga yang disebut kasti (semacam soft ball) di mana dua tim saling berhadapan dan berlawanan, tetap populer dan sangat digemari saat itu. Pertandingan kasti antar-SR (SD) merupakan kegiatan rutin dan agenda tetap dengan tidak pernah ada hadiahnya bagi si pemenang! Olah raga kasti, masih adakah sekarang?***

Penulis, tinggal di Bandung.



Sumber: Pikiran Rakyat, 24 Agustus 2005



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...