Langsung ke konten utama

Reinterpretasi Kebangkitan Nasional

Arif B Sholihah
Dosen Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII

Tulisan ini bukanlah sebuah pernyataan politik, atau bahkan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Tulisan ini hanya bermaksud melihat kembali sesuatu dengan sudut pandangnya sendiri.

Tulisan ini justru diilhami oleh sebuah peristiwa 'kimiawi' biasa, yakni jatuh cintanya seorang perempuan muda, Jawa, pada seorang pria muda, seorang insinyur pula. Ia, teman saya ini, kemudian berkeputusan untuk menyatakan cintanya pada pria pujaannya itu, dua hari yang lalu--saat purnama.

Tentu saja tulisan ini tidak akan bercerita tentang 'prosesi' pengungkapan cinta tersebut, akan tetapi justru alasan kenapa kemudian si perempuan itu berkeputusan untuk mengekspresikan perasaannya itu menjadi menarik. Apalagi jika kita hubungkan dengan akhir bulan Mei, ketika semua orang memperingati apa yang dikenal luas sebagai Hari Kebangkitan Nasional--setiap 20 Mei.

Tanpa bermaksud merendahkan Budi Oetomo yang pada saat itu menjadi simbol bagi peristiwa sejarah yang sampai hari ini selalu kita peringati, tapi berharap justru akan memperkaya makna bagi sebuah kata agung Kebangkitan Nasional.

Ini bermula dari sebuah pernyataannya, setelah cintanya ditolak dengan semena-mena. Teman saya ini kemudian justru punya sebuah pendapat baru, paling tidak bagi saya tentang arti sebuah cinta. Ia menyatakan, "Saya lega, pernyataan cinta saya tadi malam adalah membebaskan, karena saya akhirnya menyadari bahwa paling tidak dalam hidup saya, saya pernah menjadi diri sendiri, yaitu pada saat saya mengekspresikan diri saya padanya. Mungkin kalau saya mati nanti, saya tidak akan lagi bertanya-tanya, apa yang sudah pernah saya lakukan dengan seluruh perasaan saya. Tidak lagi 'gubraak!' seperti seseorang yang terlambat menyadari dan belum melakukan sesuatupun dalam hidupnya, paling tidak saya pernah menyatakan kata cinta." Itulah pernyataan devotifnya.

Begitu agungnya cinta, itu pula yang saya tangkap dari sebuah pergerakan besar, bertahun-tahun yang lalu. Ketika sekelompok anak muda, kalangan paling intelek negeri ini, menyatakan cintanya pada bumi pertiwi melalui sebuah 'pergerakan baru' pada saatnya. Mungkin sudah banyak yang mengulasnya, bahkan hingga ke detailnya sekalipun.

Saya ingin berangkat dari kedua peristiwa di atas, ketika anak manusia berikrar menyatakan cinta, muka-muka cinta yang berbeda, tapi dalam muka apa pun cinta yang agung itu membuat mereka punya energi luar biasa untuk melakukan sesuatu, paling tidak sebuah pernyataan yang menginspirasi orang lain untuk berbuat sesuatu.

Energi cinta

Hari ini, apa yang kita saksikan dan alami di tanah air, adalah setali tiga uang dengan balada yang bertahun lalu dinyatakan oleh Ebiet G Ade, dengan, "Tuhan, semua terserah titah-Mu, merah hitam tanah kami, pucat pasi wajah bumi." Berita-berita di seluruh media adalah kekerasan, kesedihan, yang semuanya bertolak belakang dengan cinta yang mampu mendamaikan dan menggerakkan kita untuk berbuat lebih baik lagi.

Sudah saatnya setiap kita melihat keadaan negeri ini dengan cinta. Cinta yang membebaskan, cinta yang membagi, dan cinta yang memproduksi energi untuk berbuat yang terbaik di bidang kita masing-masing. Mampukah kita berkata, "Saya bekerja karena cinta, pada tanah air tempat kita dilahirkan."

Sudah tidak ada waktu lagi buat kita untuk masih berdiam diri. Saatnya kita melihat ke bawah, ke seluruh negeri ini dengan rasa cinta. Pesan Nabi SAW yang menyatakan, "Lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas," seharusnya tidak saja kita teladani, tapi juga segera kita amalkan.

Pesan tadi juga memiliki arti bagi kita untuk mensyukuri nikmat, no matter happens (tidak bermaksud menyindir teman saya yang ditolak cintanya). Karena, dalam kesyukuran kita akan tersadar bahwa masih banyak saudara kita yang memerlukan kita. Bukanlah dalam arti sok bisa membantu orang lain dengan jargon-jargon mengentaskan kemiskinan, membela hak asasi manusia, dan sebagainya. Akan tetapi untuk berbagi, bekerja bersama-sama, membangkitkan kembali negeri ini menuju kemakmuran dalam arti yang sesungguhnya.

Negeri ini punya puluhan ribu sarjana pertanian. Jika setiap orangnya mampu berbuat yang terbaik dan menghasilkan sebuah inovasi dalam bidangnya, tentu wajah petani kita akan lebih cerah dari sebelumnya. Sudah saatnya paradigma laboratorium, penelitian ilmiah, dan semua yang masih di awang-awang itu kita daratkan. Paradigma from lab to land harus mulai kita lakukan.

Seluruh anak bangsa dalam bidang yang lain juga harus melakukan hal yang sama. Bagaimana mungkin negeri yang kita sebut tanah dan air sekarang ini, bahkan di daerah pegunungan, telah kekurangan sumber daya air. Konservasi air yang sesungguhnya harus kita jaga bersama tampaknya belum dengan serius kita garap. Padahal sesungguhnya air adalah hidup itu sendiri.

Peran politisi

Lalu bagaimana dengan yang terhormat para politisi kita? Saya mungkin tidak lagi berharap banyak pada mereka yang duduk di gedung mewah itu. Tapi bukankah di seluruh negeri ini kita punya pengurus partai. Dari tingkat ranting, cabang, hingga batang pokoknya.

Pernahkah mereka melihat pendukungnya dengan cinta. Cinta yang sesungguhnya, bukan cinta palsu yang mereka ekspresikan melalui money politics, atau sekadar membagikan kalender bergambar sang ketua partai, yang konon setahun lagi ingin menyatakan cintanya pada kata "RI 1".

Kalau saja istilah ranting, cabang, dan seterusnya itu mereka maknai dengan visi baru, mereka akan tersadar bahwa mereka bisa menjadi pohon yang melindungi dalam arti yang sesungguhnya, bahkan harfiah sekalipun. Saya punya bayangan indah kalau saja setiap simpatisan partai ini menanam satu pohon saja (yang selama ini mereka juga digambarkan secara harfiah sebagai bagian dari pohon) maka mungkin bencana banjir, tanah longsor, dan bencana alam lain yang dikarenakan kerusakan lingkungan tidak akan terdengar lagi di negeri ini.

Di peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang ke-95 ini, sayup-sayup kita dengar pemerintah mencanangkan kembali Gerakan Cinta Produksi Dalam Negeri, meski gaungnya terpatahkan oleh berita-berita 'pencanangan' lain, seperti keadaan darurat militer di Aceh, atau bahkan final Piala Champions, setidaknya memberikan harapan tentang cinta kita pada negeri ini, bermula dari kata agung Kebangkitan Nasional.

Semoga pernyataan orang-orang yang dilanda cinta tadi menginspirasi kita. Jangan sampai kita terlambat menyadari dan tidak ada kesempatan lagi untuk membuktikan cinta kita pada negeri ini dengan usaha dan tenaga yang penuh untuk berbuat yang terbaik demi kejayaan bangsa dan negara. []



Sumber: Republika, 27 Mei 2003



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...