Langsung ke konten utama

Catatan Kongres SI

Rahardjo Tjakraningrat
Ketua Umum Lajnah Tanfidziyah
Syarikat Islam Periode 2010-2015

LAMA tak hadir dalam kiprah politik dan kekuasaan. Itulah kesan umum khayalak tentang keberadaan Syarikat Islam, sebuah organisasi besar pada zamannya--khususnya pada era prakemerdekaan--dengan segudang tokoh yang dimiliki antara lain Samanhudi, HOS Tjokroaminoto, Abdul Muis, Agus Salim, dan sederet nama lain yang memberi makna dalam konteks keberadaan negeri yang kemudian bernama Republik Indonesia ini.

Banyak kalangan yang mungkin kurang ngeh bahwa sesungguhnya organisasi yang dulunya juga bernama Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) itu secara konsisten melakukan hajat keorganisasian sesuai dengan tuntutan konstitusinya yakni pada ajang yang disebut Majelis Tahkim/Kongres Nasional, di mana tahun ini digelar perhelatan Majelis Tahkim ke-40 Syarikat Islam. Artinya, SI tetap konsisten pada dirinya yang dalam kondisinya yang ada tetap melakukan kegiatan-kegiatan keorganisasian sebagaimana kongres yang digelar di Bandung pada 24-27 November 2015 ini.

Di bawah kepemimpinan Ramlan Sasmita sebagai Ketua Dewan Pusat, Rahardjo Tjakraningrat, Ketua Umum Lajnah Tanfidziyah, dan Tubagus Fatul Adzim Chatib, Ketua Majelis Syar'i organisasi yang beralamat di Jalan Taman Amir Hamzah No. 2 Jakarta ini menggelar kongresnya di Bandung. Ada alasan mengapa Bandung yang dipilih menjadi tempat perhelatan akbar Kaum SI itu, yaitu sebagai upaya mengingat kembali peristiwa kurang lebih seabad silam, sekala HOS Tjokroaminoto memekikkan betapa penting dan mendesaknya Kaoem Boemi Poetra memiliki pemerintahan sendiri, yang tanah persadanya (Tanah Hindia) diatur oleh dan menurut kehendak putra-putrinya sendiri. Pidato tentang zelf bestuur itu disampaikan oleh HOS Tjokroaminoto di Alun-alun Bandung pada 18 Juni 1916 dalam event yang disebut Nationale Indische Congress (Natico) I yang menggentarkan hati Pemerintah Hindia Belanda.

Pada gilirannya, bersama dengan organisasi/perkumpulan pergerakan yang memperjuangkan bangsa Indonesia lepas dari kungkungan bangsa Belanda, memberi hasil yang "luar biasa" yaitu teraihnya kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Diwakili oleh Soekarno-Hatta, Proklamasi Kemerdekaan itu dikumandangkan. Soekarno sendiri adalah salah seorang murid HOS Tjokroaminoto yang banyak belajar dari guru dan ayah mertuanya tatkala Koesno Muda menetap bersama sejawat seperjuangan lainnya di Jalan Peneleh Surabaya, rumah HOS Tjokroaminoto.

Mengingat pemandangan kepada konteks "berpemerintahan sendiri" adalah menjadi otokritik bagi kita semua. Melalui kongres kali ini tema yang diusung pun bersentuhan dengan soal zelf bestuur itu sendiri yaitu berbunyi "Mengokohkan Marwah dan Jati Diri Bangsa di Atas Kedaulatan Negara Menyongsong Kemerdekaan Sejati". Secara gamblang dari apa yang tertuliskan pada tema tersebut, ada hal yang tersirat bahwa Kaum SI melihat bahwa dalam tataran kehidupan kebangsaan kekinian terkesan kuat bahwa muru'ah (marwah) bangsa kita tengah dalam kondisi yang memrihatinkan. Dalam konstatasi yang terebak kita tentu sama merasakan betapa kita selaku anak bangsa tengah menghadapi persoalan serius--dengan berbagai problema yang terjadi--dalam hal politik-kekuasaan, ekonomi-kesejahteraan, dan seterusnya; yang satu sama lain jika terus dibiarkan dan tidak segera ditangani oleh tangan-tangan yang terampil, baik, dan jujur dalam menata pemerintahan dikhawatirkan akan menggoyahkan jati diri bangsa Indonesia. Banyak terjadinya pelanggaran hukum dan perilaku korup di berbagai tingkatan dan bidang adalah menjadi wujud dari pencitraan bangsa kita yang kurang sedap. Dampaknya, boleh jadi pada gilirannya kedaulatan bangsa pun dapat tercabik-cabik. Inilah agaknya yang hendak diingatkan dalam Kongres SI kali ini. Yang menarik adalah kalimat "Menyongsong Kemerdekaan Sejati" yang adalah khas milik Syarikat Islam, sebagaimana dalam cita dasar dan sandaran gerak SI yang termaktub dalam Program Asas dan Program Tandhim disebutkan kata "kemerdekaan sejati" yang berpadanan dengan kemerdekaan yang hakiki, merdeka dalam artian sebenar-benarnya yang terlepas dari pengaruh bangsa asing dengan berbagai-bagai kepentingannya. Kemerdekaan sejati adalah suasana berkemerdekaan yang sebenar-benarnya dan dirasakan oleh setiap penduduknya, yang wajib terwujudkan.

Maka yang seharusnya dilakukan oleh sekalian anak bangsa untuk menempatkan bangsa Indonesia pada maqam atau mainstream-nya adalah sebagaimana subtema yang dikedepankan: "Melalui Majelis Tahkim ke-40 Kaum Syarikat Islam Berkhidmat Menata Perbaikan Kehidupan Bangsa dalam Semangat Persaudaraan dan Akhlaqul Karimah". Inilah yang menjadi tujuan akhir dari gelaran kongres Kaum Syarikat Islam itu. Semangat persaudaraan dan akhlakul karimah, inilah yang sejatinya dihidupsuburkan oleh sekalian anak bangsa demi menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa terhormat dan disegani dalam percaturan pergaulan hidup mondial di era global ini. 

Kongres itu sendiri tentu akan banyak membahas permasalahan internal perkauman SI, yang salah satunya adalah bertujuan untuk mengubah pola pikir kaum ini agar suka berpikir ke depan dalam cara pandang yang visioner sehingga berlepas diri dari cara pandang lama yang "terpaku" oleh dunia masa silam yang sejatinya memang sudah harus ditinggalkan. Ada kehendak baik (political will) yang diserukan kalangan DPP-SI yaitu mengajak kaum muda SI dan memberi tempat bagi mereka untuk memimpin organisasi ini pada setelah tahkim ke-40 ini, di mana kaum tuanya mengambil tempat dengan itikad tut wuri handayani. Selamat bertahkim. ***



Sumber: Pikiran Rakyat, 27 November 2015



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...