Langsung ke konten utama

Bandung Persinggahan Kaum Pejuang

Oleh HARYOTO KUNTO

Kota adalah seorang ibu, dari rahim siapa
lahir dirimu yang kedua
Sekali kau pernah mengembara di sana, 
bagai urat di tapak-tangan
kau hafal silangan segala gangnya
Sekali kau bersatu dengan suka-dukanya, dan dia
selamanya akan hidup di darahmu.

Saini KM
"Kota Suci" 1968.

DARI beberapa hasil survai dan penelitian kependudukan di Kotamadya Bandung, sejak tahun 1971 sampai tahun 1990, ternyata jumlah penduduk asli Kota Bandung (Sunda: "pituin urang Bandung asli"), makin menyusut dari 22% turun hingga 17% dari seluruh warga kota yang sekitar dua juta jiwa ini.

Adapun yang dimaksud dengan pituin urang Bandung asli adalah, warga kota yang turun temurun dari generasi ke generasi--lahir, tinggal dan dibesarkan di Kota Bandung. Sedangkan warga kota selebihnya, umumnya tergolong kaum pendatang dari luar kota maupun luar daerah Jawa Barat, dari seluruh pelosok tanah air.

Berbicara tentang asal muasal warga kota yang "asli" dan "tidak asli", hal itu erat sekali hubungannya dengan masalah keterpautan manusia dengan tanah kelahirannya. Yang pada gilirannya, akan sangat berpengaruh kepada dedikasi dan sumbang karya bagi kota kelahirannya.

Kita tidak bisa menyangkal, bahwa keberhasilan pembangunan Kota Jakarta Raya di tahun 1970-an, erat sekali dengan suksesnya pengelola kota kala itu, yakni Gubernur Ali Sadikin, menanamkan rasa sense of belonging (rasa memiliki) di kalangan warga kota yang berasal dari berbagai daerah, untuk mencintai dan ikut berpartisipasi membangun Ibukota Negara.

Sebaliknya, sementara ini, sense of belonging warga masyarakat Bandung terhadap kota kediamannya terasa masih kurang memadai. Maklumlah, sebagian besar warga kota yang kaum pendatang itu, hampir tidak memiliki pautan historis emosional dengan Kota Bandung. Adapun yang dimiliki cuma sekadar rasa nostalgia belaka. Seperti kawan-kawan kuliah penulis dulu di ITB, yang mencintai Kota Bandung, karena kebetulan mengawani anak kost-baas (induk semang) yang mojang Priangan.

Tipisnya pautan historis emosional terhadap Kota Bandung dari mereka yang sekali tempo pernah sekolah, berjuang atau bekerja di kota ini, terungkap dari kasus berikut ini.

Sebagai wadah dari anggota mantan Batalyon II Resimen 8 Divisi III Siliwangi, yang aktif bertempur di Palagan Bandung Raya tahun 1945 dulu, ternyata upaya "Yayasan Prakarsa Taruna" untuk mengumpulkan kisah perjuangan pribadi para anggotanya selama peristiwa "Bandung Lautan Api" berlangsung (24 Maret 1946), ternyata banyak mengalami kendala. Malah boleh dikata menghadapi kegagalan.

Hal itu terjadi karena beberapa hal. Antara lain masalah kesulitan komunikasi dengan para pelaku "Bandung Lautan Api" yang tersebar di seluruh tanah air. Kemudian juga, kegemaran tulis menulis dan catat mencatat belumlah membudaya di kalangan bangsa Indonesia. Dan yang paling repot lagi adalah, bahwa momen kejadian "Bandung Lautan Api" telah jauh dipisahkan waktu. Sehingga susah untuk mengingat-ingat peristiwanya.

Peristiwa serupa terjadi pula tatkala tercetus ide untuk mengumpulkan "Kisah Perjuangan Keluarga Ganeca 10 Bandung Tahun 1940-1950". Ternyata, para alumni Ganeca 10 yang umumnya sukses menjadi pemimpin pada lembaga pemerintahan, perusahaan swasta atau mejadi tokoh masyarakat itu, lebih sulit lagi digerakkan untuk menulis. Kendalanya yaitu tadi, sebagai Boss, beliau-beliau itu tidak biasa menulis laporan. Mungkin kisah perjuangan beliau itu harus disusun oleh bawahannya.

Kegagalan menyusun buku sejarah lainnya, menimpa pula kisah perjuangan Angkatan 66 di Kota Bandung. Menurut penuturan AS, wartawan senior Bandung yang kini ngungsi ke Jakarta, pada awal tahun 1980-an yang lalu pernah diadakan pertemuan di rumah seorang tokoh Angkatan 66 Bandung, yang kini telah menjadi konglomerat di Jakarta. Dalam pertemuan yang tanpa hidangan teh pahit sekalipun itu, niat untuk menyusun Buku Kenangan Perjuangan Angkatan 66 di Kota Bandung, kluron tak jadi dilaksanakan. Cuma gara-gara beberapa orang "musuh" di Bandung pada tahun 1966 yang lalu itu, kini ada yang duduk pada posisi strategis di pemerintahan. Dan yang lebih menyedihkan lagi, menurut penuturan AS, ternyata tokoh perjuangan Angkatan 66 di Bandung yang kini telah kaya itu, emoh keluar dana untuk ikut membiayai proyek penulisan sejarah perlawanan anak muda Bandung menumbangkan rezim Orde Lama.

Sejarah sementara ini telah membuktikan, bahwa ide-ide besar banyak lahir di Kota Bandung, namun kemudian tak ada secuir arsip yang merekam peristiwa itu. Sehingga kelak dapat dibayangkan, bahwa generasi penerus akan kehilangan semangat, kesinambungan sejarah perjuangan dengan generasi pendahulunya. Atau dalam bahasa Sunda, generasi penerus itu bakal--pareumeun obor! Sehingga menurut sejarawan Alan Earl (1971), kisah nyata sejarah kemudian bisa berubah menjadi dongeng--Far far away, long long ago. Alias remang-remang tidak jelas alang ujurnya (Haryoto Kunto,"Lestarikan Semangat Bandung Lautan Api", PR 22/III/1989).

Pewarisan semangat perjuangan bangsa semakin sulit dilakukan, karena di Bandung ini langka dijumpai momen-momen perjuangan yang dapat memberikan petunjuk atau informasi tentang peristiwa pertempuran yang terjadi di setiap bagian Kota Bandung. Beberapa monumen yang kita jumpai di Bandung sekarang ini, sering kali terlepas, tidak ada kaitannya dengan momen peristiwa penting dalam skala nasional maupun internasional.

Monumen "main bola", patung ikan, atau "monumen berhiber" misalnya, semua itu tergolong skala lokal, kurang luas memberi inspirasi. Sekadar monumen sukses pribadi, yang tidak jauh berbeda dengan dongeng yang digunjingkan warga kota yang menyatakan--Ganti walikota, ganti wajah alun-alun!

Bandung tungku peleburan nasionalisme

Dr. Van Leeuwen, seorang paranormal yang menjadi Ketua Perkumpulan Theosofi di Hindia Belanda, sempat meramal di tahun 1917, bahwa Kota Bandung kelak bakal menjadi "tungku peleburan rasa kebangsaan" dan "ajang perjuangan kemerdekaan" rakyat Indonesia.

Peleburan rasa kebangsaan, sebenarnya telah tumbuh sejak tahun 1866, tatkala Kweekschool (Sekolah Guru) didirikan di Kota Bandung. Sekolah guru ini yang menampung anak-anak raja, kepala suku, bangsawan dari daerah kepulauan luar Jawa, yang kemudian dikenal oleh penduduk sebagai "Sakola Raja" itu, memang kemudian menjadi tungku peleburan rasa persatuan dan kebangsaan dari seluruh pemuda Indonesia. Lulusan Kweekschool ini, antara lain tercatat, Sanusi Pane dan Jenderal A. H. Nasution.

Agaknya Kota Bandung sejak pertengahan Abad 19 yang lalu, telah didambakan oleh para orang tua, untuk menjadi ajang pendidikan putra putrinya, seperti gumam lagu Sunda:

Neleng neng kung
Neleng neleng neng kung
Geura gede geura jangkung
Geura sakola ka Bandung
Dst, dst.

Tahun 1890, dua orang remaja, Bunyamin (14 tahun) dan adiknya Yusuf (13 tahun) pergi diantar orang tuanya yang pegawai Pamongpraja di Banyumas, guna melanjutkan pendidikannya di Kweekschool Bandung. Jarak Banyumas - Bandung, ditempuh selang seling dengan menaiki gerobak kuda, perahu, dan terkadang harus jalan kaki, mendaki gunung dan menempuh rimba. Cuma pada penghujung perjalanan, kedua anak, ayah dan pengiringnya, menuju Bandung dengan menaiki kereta api, yang kala itu jalur relnya baru sampai Cibatu (Kabupaten Garut).

Di Bandung, Bunyamin dan Yusuf indekost pada Mohammad Daud, seorang Guru Sekolah asal Sumatera, yang memperlakukan kedua kakak-beradik itu sebagai anak sendiri. Yusuf menuntut pelajaran di Kweekschool selama empat tahun dan mendapat diploma sebagai Kandidat Guru. Sedangkan Bunyamin yang putus sekolah dari Kweekschool, kemudian meneruskan pendidikannya ke sekolah "Dokter Jawa" (STOVIA) di Batavia.

Tamat dari pendidikannya di Batavia itu, Bunyamin sebagai Dokter Jawa (Indische Arts) kemudian bertugas di Deli. Dan setelah berdinas beberapa tahun di Sumatera Timur itu, Bunyamin berhenti dari tempat kerjanya, guna memperdalam ilmu kedokteran di Amsterdam. Tahun 1908 ia kembali ke Indonesia sebagai Dokter Umum ("Arts") dan diangkat sebagai penjabat tinggi pada Dinas Kesehatan di Batavia.

Pada dasawarsa pertama Abad 20 ini, di kepulauan nusantara, terutama di Jawa, sering terjadi wabah pes, kolera, dan influenza. Tatkala wabah pes menyerang Jawa Timur, Dr. Bunyamin ditugaskan oleh pemerintah kolonial untuk membasminya. Selama Dr. Bunyamin melaksanakan tugas kemanusiaannya di Jawa Timur itu, sang dokter baru menyadari, betapa kurangnya peralatan, obat-obatan dan tenaga medis tak mencukupi. Juga ilmu pengetahuan kedokteran yang ia kuasai, masih belum cukup untuk menolong dan menyelamatkan rakyat Indonesia. Sehingga pada tahun 1921, Dr. Bunyamin sekali lagi pergi ke Nederland guna menambah dan memperdalam ilmu pengetahuan kedokterannya.

Namun sayang, beberapa waktu kemudian beliau meninggal dunia di Negeri Belanda. Dan pada upacara pemakamannya, Dr. Sutomo sahabat karib Bunyamin yang kemudian menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, mengucapkan pidato yang mengharukan, dan berjanji akan meneruskan perjuangan untuk mensejahterakan bangsa Indonesia.

Kisah dua bersaudara Bunyamin dan Yusuf, asal Banyumas tadi, dapat menjadi ilustrasi, betapa pada akhir Abad 19 yang lalu, orang telah berduyun-duyun dari tempat jauh, guna mencari ilmu pengetahuan, bersekolah ke Kota Bandung, sebagaimana lirik lagu--Neleng neng kung, neleng neng kut. Segera dewasa, segera pergi ke Bandung!

Kota ini kemudian semakin ramai menjadi pusat pendidikan, setelah sekolah OSVIA atau "Sakola Menak" dibuka pada tahun 1879. Pendidikan ini yang nyaris seperti APDN sekarang, lulusannya ada yang menjadi mantri polisi, camat, wedana, patih, bahkan juga bisa jadi "dalem" alias bupati.

Usul H. F. Tillema, seorang ahli kesehatan dari Semarang, agar ibukota nusantara dipindahkan dari Batavia nan pengap dan panas, ke Kota Bandung di pegunungan Priangan, pada tahun 1918 mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal J. P. Graaf Van Limburg Stirum. Maka sebagai langkah awal, 13 jawatan/instansi pemerintah pusat (Gouvernement Bedrijven) antara lain Jawatan Kereta Api ("SS"), PTT, Jawatan Geologi, Jawatan Metrologi, Institut Pasteur, Kantor Kas Negara, Dana Pensiun, dan lain-lainnya, dipindahkan dari Batavia ke Bandung.

Selain sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, Bandung sejak tahun 1830 telah menjadi kota pusat perkebungan (onderneming), yang disusul pula menjadi pusat komando militer, sesaat setelah Departemen Van Oorlog ("DVO") atau Departemen Peperangan pindah dari Gambir ke Bandung.

Bandung sempat juga disebut sebagai "Het Intellectueele Centrum van Nederlandsch Indie" (Pusat Kaum Intelektual di Nusantara) semenjak diresmikannya Technische Hoogeschool ("TH"), perguruan tinggi teknik pertama di Indonesia, pada tanggal 3 Juli 1920.

Seperti kita ketahui lewat "TH" itu pula, kaum pejuang intelektual kita, seperti Soekarno, Rosseno, Anwari, Djuanda, dan lain-lainnya, mulai mereka-reka kemerdekaan bangsanya.

Bandung milik siapa?

Sejak zaman dulu, penduduk Kota Bandung terdiri dari multi rasial dan multi etnis. Segala bangsa, suku bangsa pribumi, dan sub-etnis Sunda, terdapat di kota ini. Hal itu terlukiskan dalam sepucuk surat Raden H. Muhamad Sueb (Kalipah Apo) yang ditujukan kepada Hoofd Penghulu Haji Mustapa di Kotaraja Aceh, tanggal 8 Oktober 1907, antara lain dikisahkan:

Dayeuh Bandung rame-rame teuing
Koja Keling Palembang nambahan
beuki loba bangsa bae
Arab Jawa Melayu
sumawonten Cina mah leuwih
Makao sareng Kelang
Hokian mah puguh 
Asia bangsa Eropa
raos putra sapuluh tikel bihari 
sagala jenis aya.

Kalau kita periksa Peta Kota Bandung tahun 1880, maka khas kita dapati kampung atau hunian yang menunjukkan daerah asal penduduknya, seperti: Babakan Ciamis, Babakan Bogor (Kebonkawung sekarang), Babakan Sumedang, Babakan Tarogong, Babakan Garut, Babakan Priangan, Babakan Ciparay, Babakan Surabaya, dan lain-lainnya.

Malahan pada lembar peta itu pula, kita jumpai Kampung Jawa yang terletak di sekitar Jl. Jakarta sekarang. Semua itu menunjukkan, bahwa penduduk Kota Bandung di masa lalu, terdiri dari aneka bangsa dan suku dari segenap pelosok tanah air. Itu pula sebabnya, banyak kaum pejuang yang singgah di kota ini, untuk saling berjumpa, mengasah otak dan membangun semangat, guna membebaskan bangsanya dari belenggu penindasan kolonial.

Sebagaimana diketahui, tahun 1912, tiga orang "manusia bengal" (istilah pemerintah kolonial) yakni--Dr. Cipto Mangunkusumo, R. M. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), dan E. F. E. Douwes Dekker, telah mendirikan Indische Partij. Dengan juru bicaranya: Abdul Muis dan Wignyodisastro, mereka berdua menulis dalam organ partai "De Express" artikel-artikel yang membangkitkan rasa cinta tanah air Indonesia. 

Kemudian sebuah catatan mengungkapkan, bahwa di Dewan Kota Gemeente Bandung, pada tahun 1918 tiga orang anggota dewan yang mewakili masyarakat pribumi, yakni: Dr. Sam Ratu Langi, R. Soeria Amidjaja, dan Mas Darnakusuma, berjuang mati-matian, mengkritik habis rencana Gemeente yang banyak menggunakan dana, cuma untuk membangun kawasan bangsa Eropa (Europeesche wijk) melulu. Dan melupakan fasilitas kota, yang menjadi keperluan penduduk pribumi.

Dalam keadaan kepepet, untuk mematahkan argumentasi Dr. Sam Ratu Langi yang berapi-api, seorang anggota Dewan bangsa Belanda sempat berujar: "Dr. Ratu Langie is geen Sundanees." (Dr. Ratu Langi bukan Suku Sunda.") Jadi menurut si Belanda, beliau tak pantas mewakili etnis Sunda yang menjadi penduduk Kota Bandung (Baca: Dr. J. M. Otto, "Een Minahasser in Bandoeng", 1991).

Menurut Prof. Ir. Waworuntu, mantan Rektor Universitas Sam Ratulangi di Manado, pada tahun 1921 Dr. Sam Ratu Langi menjadi orang pertama yang menggunakan nama "Indonesia" pada perusahaan asuransinya di Jl. Braga--"Assurantie Maatschappij Indonesia". Hal itu sempat membuat terperangah Sukarno, sang mahasiswa TH, sehingga ia memberanikan diri menemui Dr. Sam Ratu Langi di kantornya. Sejak itu, Sukarno rajin bertemu dengan "Sang Guru"--Dr. Sam Ratu Langi.

Sayang sekali, penggal kisah kehadiran pahlawan nasional Dr. Sam Ratu Langi ini di Kota Bandung, jarang sekali diketahui oleh warga kota. Bahkan rumah tinggalnya di Jl. Malabar, juga tak dikenali lagi oleh masyarakat sekelilingnya.

Masih banyak lagi organisasi atau perkumpulan politik yang lahir di Kota Bandung, di antaranya: Cabang dari Paguyuban Pasundan yang didirikan pada tanggal 22 September 1914 di Batavia, kemudian Perserikatan Nasional Indonesia yang didirikan pada tanggal 4 Juli 1927 dan beberapa organisasi pergerakan lainnya.

Yang jelas, tradisi perjuangan di Kota Bandung ini, baik itu di bidang politik maupun militer, seperti pertempuran "Bandung Lautan Api" misalnya, semua berlandaskan kepentingan nasional, nusa dan bangsa. Selanjutnya pada waktu Konferensi Asia Afrika berlangsung di tahun 1955 yang lalu, maka dimensi perjuangan lebih meningkat lagi, dari level nasional menginjak tingkat internasional.

Maka dalam kaitan itulah, pembangunan dan penataan Kota Bandung dewasa ini harus lebih holistik, luas dan terpadu. Dan sejauh mungkin meninggalkan rambu-rambu pemikiran lokal yang kelewat sempit. Mengingat Kota Bandung kini juga memiliki dimensi internasional yang luas.***



Sumber: Pikiran Rakyat, 25 Maret 1994



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...