Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Gambaran Soal Pahlawan Berubah

Relung imajinasi kaum milenial kini lebih banyak dijejali oleh sosok pahlawan super ketimbang pahlawan nasional. Tidak heran jika mereka memiliki pandangan tersendiri yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. JAKARTA, KOMPAS -- Generasi milenial memiliki gambaran sendiri tentang pahlawan. Buat mereka, pahlawan tidak lagi identik dengan pejuang kemerdekaan, tetapi orang-orang yang berjuang untuk kesejahteraan dan kebenaran.  Meski demikian, kaum muda kesulitan untuk mengidentifikasi siapa sosok pahlawan masa kini yang mereka maksud. Sebagian menyebut nama tokoh pahlawan nasional, sebagian lagi menyebut tokoh populer yang dikenal luas lewat media. Ada pula yang menyebut beberapa nama pahlawan super ciptaan industri. Hasil jajak pendapat Litbang  Kompas  di kalangan pelajar dan mahasiswa di 11 kota di Indonesia pada 31 Oktober - 1 November 2018 memperlihatkan fenomena tersebut. Mayoritas responden (81,6 persen) tidak setuju jika gambaran pahlawan diidentikkan dengan...

Saat Tanah dan Nusa India Jadi Nyata

Kongres Pemuda 1928 tak hanya melahirkan obsesi dan imajinasi pemuda tentang tanah dan Indonesia, tetapi juga kesadaran dan kerinduan sebagai identitas bangsa merdeka. Apa maknanya setelah 90 tahun? P ada Kongres Pemuda II, di Batavia, 28 Oktober 1928, tercatat ada dua pemuda berusia 25 tahun yang mengekspresikan "tanah" dan "Indonesia" dalam sebuah karya seni. Adalah Wage Rudolf Soepratman, sang komposer "Indonesia Raya", yang untuk pertama kalinya mengumandangkan "Indonesia Raya". Dengan gesekan biolanya, Wage melantunkan nada-nada yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia. "Indonesia Raya" pun mengalun tanpa lirik karena menghindari tuduhan menghasut rakyat oleh pemerintah kolonial Belanda yang bisa berujung pada pembubaran kongres dan rencana deklarasi Sumpah Pemuda. Hanya lantun biola, tanpa suara manusia, "Indonesia Raya" mengalun karena teksnya hanya tersimpan di kantong Wage. Selang beberapa hari kemudian, Wage m...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...

Merawat Ingatan untuk Masa Depan

I krar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, memang dicetuskan para pemuda di bangunan yang berada di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, yang kini telah mejadi Museum Sumpah Pemuda. Namun, kelahiran ikrar itu tak bisa dipisahkan dari Gedung Katholieke Jongelingen Bond atau Perhimpunan Pemuda Katolik dan Oost Java Bioscoop. Hal ini karena rangkaian kongres yang menghasilkan Sumpah Pemuda terjadi di tiga gedung tersebut. Jika selama ini hanya gedung di Kramat Raya 106 yang banyak diingat dalam lahirnya Sumpah Pemuda, hal itu antara lain karena di gedung tersebut memori tentang Sumpah Pemuda dirawat dan dijaga dengan optimal. Adapun Gedung Katholieke Jongelingen Bond (KJB) dan Oost Java Bioscoop saat ini telah dibongkar. Di atas tanah tempat bekas Gedung KJB, kini berdiri Gedung Pertemuan Gereja Katedral Jakarta. Gedung pertemuan itu berada persis di belakang Katedral. Dari Memoar Alumni Pemuda Katolik  yang disusun Djokopranoto, Lahur, dan Soedjoed, Gedung KJB diupayakan pendiriannya oleh Pas...

Pesan dari Tempat Kongres Pemuda II

Kehadiran semangat persatuan sekitar 90 tahun silam tidak dapat dilepaskan dari tiga bangunan di jantung Weltevreden, area perluasan Batavia--sekarang DKI Jakarta. Dari tiga bangunan itu pula, tecermin kesadaran tentang keberagaman yang mendasari lahirnya semangat persatuan tersebut. "Kerapatan (Congres) Pemoeda-Pemoeda Indonesia di Weltevreden (27-28 October). Datanglah ke Congres Ini Djangan Loepa." D i salah satu dinding di Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, terpampang kabar mengenai kongres yang kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda II tahun 1928. Kabar tentang rencana kongres berikut agenda dan tiga tempat penyelenggaraannya itu dikutip dari koran Persatoean Indonesia . Tiga lokasi kongres yang dimaksud, dimulai dari Gedung Katholieke Jongelingen Bond (KJB) atau Perhimpunan Pemuda Katholik di Waterlooplein (sekarang sekitar Lapangan Banteng, Jakarta), 27 Oktober 1928. Keesokan harinya, kongres dilanjutkan di Gedung Oost Java Bioscoop di Koninsplein N...

Semangat Pembauran "Jong Kos"

Hakikat suatu bangsa ada dalam keinginan untuk hidup bersama. Bagi bangsa Indonesia, benih keinginan untuk bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa satu ikut disemai lewat hidup bersama para penggagas Sumpah Pemuda yang menghuni rumah pemondokan yang kini beralamat di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat. S enda gurau terdengar dari rumah indekos di Jalan Kramat 106, Weltevreden, Batavia, pada suatu hari menjelang tahun 1928. Mahasiswa penghuni pemondokan milik Sie Kong Liong itu tak sedang membicarakan revolusi di belahan dunia lain atau pemikiran Mahatma Gandhi dan John Stuart Mill. Mereka melepas penat, berseloroh tentang masakan khas daerah masing-masing. "Sementara ini, enaknya gini aje dulu , Sup!" kata Adnan Kapau Gani, yang lebih sering disingkat AK Gani, pemuda asal Sumatera, kepada Jusupadi Danuhadiningrat, pemuda asli Yogyakarta.  Dari semua "jong kos" alias pemuda penghuni kos Kramat Raya 106 atau Indonesisch Clubgebouw (IC), yang masing-masing di kemud...

SUMPAH PEMUDA: Kramat Raya yang Bersejarah

P eristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, di rumah indekos Jalan Kramat Raya Nomor 106, Jakarta Pusat, seakan jadi klimaks dari peran besar wilayah itu dalam kehadiran bangsa Indonesia. Tidak hanya menjadi saksi bisu hadirnya tiga sumpah para pemuda, tetapi juga menggaungkan pertama kali alunan instrumental 'Indonesia Raya' di bumi ibu pertiwi. Kini, sepanjang Jalan Kramat Raya, yang panjangnya 1,8 kilometer itu, ada empat kelurahan, yaitu Kwitang, Kramat, Kenari, dan Paseban. Ruas jalan itu dipadati berbagai gedung bisnis, rumah sakit, organisasi keagamaan, pusat pendidikan, hotel, rumah ibadah, dan kediaman. Suasana itu tidak berbeda jauh dibandingkan dengan kehadiran wilayah itu pada awal abad ke-20.  Keberadaan jalur trem rute Harmoni-Meester Cornelis (Jatinegara) menjadi penanda hiruk pikuk di wilayah itu telah terjadi lebih dari seabad lalu. Bahkan, di sepanjang Jalan Kramat Raya terdapat dua stasiun trem, yaitu Kramat dan Salemba. Kala itu, Jalan Kramat Raya masuk dalam...

Menjaga Persatuan Lewat Bahasa

Sekitar 90 tahun lalu, Kongres Pemuda II menyepakati bahasa Indonesia jadi bahasa persatuan. Kesepakatan itu kini terasa masih hangat di tengah munculnya gejala pemakaian bahasa atau ungkapan tertentu untuk menunjukkan perbedaan. B angunan dengan enam pilar di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat, itu masih kokoh berdiri. Bangunan berusia lebih dari dua abad yang kini menjadi kantor PT Kimia Farma itu merupakan bagian dari saksi perjuangan para pemuda di awal abad ke-20 untuk mewujudkan kemerdekaan di wilayah yang saat itu disebut Hindia Belanda. Di gedung yang dulu bernama De Ster in het Oosten atau Bintang Timur itu, Mohammad Yamin, dalam Kongres Kerapatan Pemuda atau Kongres Pemuda I, 30 April 1926, menyatakan perlunya memakai bahasa yang sama untuk berkomunikasi di wilayah Nusantara yang beragam. Ia lalu mengusulkan bahasa yang dipakai itu adalah bahasa Melayu. TD Asmadi di harian Kompas  21 Juli 2006 menulis, beberapa bulan sebelum kongres itu digelar, wartawan sekaligus tim perumu...

Menggali Inklusi dari Nama Indonesia

Para pemuda pada awal abad ke-20 memilih kata Indonesia untuk mengonstruksi sebuah identitas baru yang membawa semangat pembebasan. Lewat nama Indonesia juga dibangun gagasan atas sebuah bangsa yang inklusif, tidak ada satu komponen masyarakat yang menjadi "tuan rumah", lalu meninggalkan komponen lain sebagai "penumpang" dalam kehidupan berbangsa. P erhimpunan Indonesia, organisasi pemuda Indonesia yang bersekolah di Belanda yang awalnya bernama Indische Vereeniging, menggunakan kata Indonesia dalam arti politik untuk pertama kali pada 1922. Kata Indonesia pun berkembang pemaknaannya sehingga menjadi tonggak pergerakan para pemuda untuk meraih kemerdekaan sebagai sebuah bangsa. "Penggunaan kata Indonesia yang dipakai Perhimpunan Indonesia (PI) dimaksudkan untuk menanamkan gagasan Indonesia merdeka dan memopulerkan nama Indonesia dalam tujuan mencapai kemerdekaan," ujar Meutia Hatta, putri Bung Hatta. Munculnya nama Indonesia tidak tiba-tiba. Etnologis asal...