"Bagi Kita, Pemuda Indonesia bukanlah masalah keyakinan, bukan masalah benar atau tidak benar. Persatuan Indonesia adalah masalah yang berakar di dalam diri kita masing-masig, suatu masalah perasaan yang membangunkan kesadaran kita yang dalam. Mau atau tidak kita semua tergolong Bangsa Indonesia. Mau atau tidak di dalam tubuh kita mengalir darah Indonesia".
(Mohammad Yamin, Sekretaris Kongres, Petikan Pidato Pembukaan Kongres Pemuda II)
Keindonesiaan yang digagas dalam Kongres Pemuda II tahun 1928, memang menjadi magnet. Di tempat indekos bernama Indonesische Clubhuis, yang pada hari biasa sudah sesak dihuni puluhan mahasiswa itu, pada 28 Oktober 1928 dipadati oleh pemuda yang menghadiri penutupan Kongres Pemuda II.
Pemandu Museum Sumpah Pemuda, Bakti Ari, Kamis (26/10), menerangkan, tempat indekos bernama Indonesische Clubhuis milik Sie Kong Liong di Kramat Raya 106, Jakarta, itu telah menjadi pondokan bagi aktivis Jong Java pada awal tahun 1920-an.
"Sejak tahun 1926, para pemuda Sumatera dan berbagai daerah juga tinggal di sini. Kamar paling belakang diduga kamar kos Mohammad Yamin," kata Bakti Ari.
Tidak hanya para mahasiswa kedokteran Stovia yang tinggal di tempat itu. Sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Recht Hoogeschool--kini Kompleks Kementerian Pertahanan RI di Jalan Medan Merdeka Barat--juga bermukim di rumah Sie Kong Liong.
Menelusuri sejarah Sumpah Pemuda dan Kongres Pemuda II yang digelar para pemuda kala itu membuka lembaran sejarah betapa Indonesia dibangun oleh semua dan untuk semua. Daradjadi Gandasuputra, penulis buku Mr Sartono Bapak Parlemen Indonesia terbitan Penerbit Buku Kompas, menceritakan, untuk mengelabui penguasa Hindia Belanda, pembukaan Kongres Pemuda II dilakukan di Kompleks Gereja Katedral, Jakarta, di ruangan milik Katholieke Jongenlingen Bond atau Perkumpulan Pemuda Katolik, pada Sabtu, 27 Oktober 1928.
"Ketika banyak peserta menyebut-nyebut kata merdeka, intel Hindia Belanda minta rapat dibubarkan. Mr Sartono sebagai ahli hukum lulusan Leiden menanyakan pada intel tersebut, di mana ada larangan bagi suatu bangsa memerdekakan diri di dalam undang-undang. Akhirnya, intel tersebut meninggalkan para pemuda," kata Daradjadi.
Kala itu, Soegondo Djojopoespito dari Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia menjadi Ketua Kongres, dengan Wakil Ketua RM Djoko Marsaid dari Jong Java. Menjabat Sekretaris adalah Mohammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond, dengan Bendahara Amir Sjarifuddin (Jong Batak Bond). Mereka didukung Pembantu I Djohan Mohammad dari Jong Islamieten Bond, Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia) sebagai Pembantu II, Pembantu III yaitu R. C. L Senduk (Jong Celebes), Pembantu IV Johannes Leimena (Jong Ambon), dan Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi) sebagai Pembantu V.
Daradjadi melanjutkan, agar tidak mengganggu misa di Gereja Katedral hari Minggu, 28 Oktober, para pemuda mencari tempat baru untuk melanjutkan kongres. Mereka berswadaya dan menggunakan gedung Oost Java Bioskop. Banyak peserta tidak kebagian tempat duduk hingga harus berdiri untuk mengikuti sesi pagi Kongres Pemuda II di dalam bioskop.
Wajah Indonesia
Dalam buku panduan 2017 Museum Sumpah Pemuda, ada sekitar 700 nama tercatat sebagai peserta Kongres Pemuda II. Di dalamnya antara lain ada nama-nama tokoh Sunda sepert Djuanda dan Poeradiredja, nama-nama Jawa-Madura seperti Katjasungkana, Sartono, atau Sarmidi Mangunsarkoro. Di acara itu juga ada tokoh Bali Tjokorda Gde Raka Sukawati, tokoh Minang M Yamin, tokoh Tapanuli Amir Sjarifudin, hingga nama Minahasa Pantouw. Saat itu juga ada nama Eropa dan Indo Eropa seperti pendeta van Hoorn, pemuda Tionghoa seperti John Lauw Tjoan Hok.
Dengan melihat mereka yang hadir, Kongres Pemuda II tersebut menurut Bakti Ari adalah potret dari wajah Indonesia, yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh semua kelompok dan golongan.
Sementara itu, sebagian anak kos di Kramat Raya 106, menurut Ari Bakti, seperti M Yamin, Amir Sjarifudin, Asaat Dt Moeda, AK Gani, Aboe Hanifah, Mohammad Tamzil, dan Roesmali, kelak menjadi pejabat penting di Republik Indonesia merdeka.
Beberapa saat setelah penutupan kongres, koran Melayu Tionghoa, Sin Po, memuat naskah lagu "Indonesia Raya" lengkap dengan partitur yang ditampilkan WR Supratman saat penutupan kongres. Salinan dari berita itu, kini terpampang di Museum Sumpah Pemuda. Di tempat itu juga ditampilkan replika piringan hitam rekaman pertama "Indonesia Raya" yang dilakukan Yo Kim Tjan, pemilik Toko Populaire di Pasar Baroe tahun 1927. Rekaman tersebut berulang kali disembunyikan dari aparat kolonial Hindia Belanda setelah direkam di Jalan Gunung Sahari dan digandakan di London, Inggris.
Hilang
Sejarawan, Didi Kwartanada, mengatakan, ada yang menarik dari hilangnya sosok Sie Koh Liong dari narasi sejarah Sumpah Pemuda. Sebagai pemilik indekos Indonesische Clubhuis, ia mengambil risiko dengan mengizinkan rumahnya menjadi tempat pertemuan para pemuda pergerakan. Risiko ini tidak kecil karena saat itu gerakan politik diawasi dengan ketat dan pada tahun 1926 Pemerintah Hindia Belanda baru saja menumpas gerakan komunis.
"Jo Masdani yang ikut Sumpah Pemuda sebagai anggota Jong Celebes pernah mengusulkan tahun 1958 kepada Sekretariat Negara untuk memberikan penghargaan kepada Sie Kong Liong. Namun, tidak diketahui kabarnya hingga kini," kata Didi.
Menurut Ari Bakti, Sie Kong Liong sebagai pemilik indekos, saat itu terbiasa bertukar pikiran dengan Soekarno, M Yamin, dan tokoh lainnya. Pada zaman itu, bertamu ke tempat indekos tidaklah bebas seperti saat ini, sopan-santun pergaulan dipegang penuh. "Banyak sekali informasi yang kami kumpulkan dari para pengunjung dan keturunan peserta Kongres Pemuda II yang menyepakati satu Tanah Air, satu Bangsa, dan satu Bahasa Indonesia ..." kata Ari Bakti. (IWAN SANTOSA)
Sumber: Kompas, 29 Oktober 2017
Komentar
Posting Komentar