Pengantar Redaksi:
Jejak nasionalisme adalah warisan sejarah yang hidup hingga saat ini. Bukan hanya berbentuk artefak, melainkan juga dalam bentuk kebudayaan dan peradaban. Dan, di Indonesia, dengan pengalaman panjangnya, sangat kaya dengan jejak-jejak kebangsaan itu. Setelah laporan dari Ende (Flores), Bandung (Jawa Barat), Muntok (Bangka), April ini giliran laporan dari Banda (Maluku) yang diturunkan Selasa (24/4) ini hingga Sabtu (28/4).
Oleh IWAN SANTOSA
Orang Kepulauan Banda adalah orang Indonesia asli seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa sebagai tempat peleburan beragam suku di Nusantara. Lumrah bila kita menemukan seorang Banda dengan nama Arab, tetapi memiliki leluhur Tionghoa, Eropa, Jawa, dan suku-suku lain di Nusantara.
"Suami pertama saya Tionghoa Hokkian. Dia meninggal. Lalu, saya menikah dengan orang Jawa. Leluhur saya lelaki asal Buton dan leluhur perempuan Jawa," ujar Nyonya Sari Banun (60), warga Banda yang bermukim dekat Pelabuhan Banda. Perawakan Sari sepintas khas orang Buton yang berkulit gelap dan berhidung mancung.
Sari Banun alias Bu Nunu hidup rukun dalam keluarga yang memiliki latar beragam itu. Dia memperlihatkan foto mertuanya yang Tionghoa di Makassar. "Ini apak dan ameh (menunjuk foto mertua). Ini foto anak saya yang di Jawa dan ini foto anak saya yang jadi polisi," ujar Nunu bangga memperlihatkan foto anak-anaknya yang berwajah unik.
Anak-anak yang berwajah Tionghoa berkulit kuning langsat, mata sipit, dan hidung mancung seperti hidung Sari Banun. Musli, ayah tiri yang asli Jawa Tengah itu, juga memperlakukan anak tiri dan anak kandungnya setara serta tidak pilih kasih.
Lain lagi dengan anak dari perkawinan kedua suami bernama Sujarwo dan aak perempuannya bernama Mini yang dilahirkan di KRI Teluk Tomini tahun 1988 saat mengungsi sewaktu gunung api meletus. Sosok Sujarwo dan Mini layaknya suku Jawa dengan kulit sawo matang dengan hidung mancung yang menurun dari ibunya.
Keponakan Sari Banun dari suami pertama memanggilnya encim (tante dalam dialek Hokkian). Mereka sekeluarga hidup sebagai Muslim yang taat dan rukun dengan kerabatnya yang bukan penganut Islam. Komunitas Tionghoa Banda bahkan memercayakan Sari Banun memegang kunci Kelenteng Sun Tian Kong yang terletak di depan rumahnya.
Para tetangga di dekat rumah Sari Banun yang peranakan Tionghoa juga hidup rukun. Mereka semua adalah orang-orang asli Banda tanpa embel-embel perbedaan suku dan agama.
Iqbal dan Hamdi Baadila yang masih kerabat dekat Des Alwi (almarhum) juga membenarkan ada keunikan Banda dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Sebagai bukti, Des Alwi memiliki kakek Said Tjong Baadila yang memiliki ibu Tionghoa bermarga The. Dari garis ayah, Des Alwi memiliki leluhur dari Ternate keturunan Sultan Palembang yang dibuang ke Banda Neira dan menikahi perempuan Manado, Ida Tangkau. Kakek Said Tjong Baadila kemudian memperistri perempuan ningrat Jawa bernama RA Salma, dari Tuban, Jawa Timur.
Des mencatat dalam buku Bersama Hatta, Syahrir, dr Tjipto dan Iwa K Soemantri di Banda Naira, keluarga leluhur Tionghoanya selain memiliki menantu Baadila juga menikahkan dua putri lainnya, masing-masing dengan Kapiten Tionghoa bermarga Nio dan seorang peranakan Spanyol bernama Montanus.
Robert van Leon (51) yang beristrikan Dewi (37) di Neira juga memberikan kesaksian atas kedekatan serta persaudaraan orang Banda yang sangat beragam. "Ayah saya peranakan Tionghoa dengan keluarga Bapa Piara (ayah angkat) Eropa sehingga diberi nama keluarga Van Leon. Ibu saya Asnah asli Neira seorang Muslimah dengan leluhur dari Jawa dan Buton. Saya beragama Kristen dan saudara-saudari saya Muslim. Ayah saya Kristen. Kita semua hidup rukun," kata Robert yang istrinya berasal dari Kediri, Jawa Timur, dan dikaruniai dua anak.
Keberagaman dan persatuan Banda sangat dibanggakan penduduknya. "Kita di sini leluhurnya pasti dari bermacam suku. Makanya, Banda disebut Indonesia mini," ujar Iqbal Baadila.
Impor penduduk
Sejarawan Universitas Pattimura asal Banda Neira, Usman Thalib, yang ditemui di Kebun Cengkeh, Ambon, menceritakan, sejak pembantaian penduduk Banda tahun 1621 oleh Jan Pieterszoon Coen yang dipicu pembunuhan Laksamana Verhoeven bersama rombongannya pada 22 Mei 1609 oleh sejumlah Orang Kaya Banda, diimporlah penduduk ke Kepulauan Banda. Penduduk baru itu bisa dikatakan datang dari seluruh Kepulauan Nusantara, Arab, Tionghoa, dan Eropa.
Ketika pembantaian Banda terjadi, Des Alwi, dalam batu peringatan di Parigi Rante tempat 40 Orang Kaya dibunuh, menulis ada sekitar 6.600 orang dibunuh di Kepulauan Banda Neira. Selanjutnya, 789 orang diasingkan ke Batavia (Jakarta) di tempat yang sekarang menjadi Kampung Bandan, 1.700 orang melarikan diri ke Banda Eli di Maluku Tenggara. Hanya tersisa sepertiga orang asli Banda di Banda Neira. Akhirnya penduduk baru di Banda beranak pinak hingga kini.
"Di sini orang juga memakai garis keluarga dari ibu seperti dilakukan Des Alwi. Orang Banda selalu menyebut identitas Banda terlebih dahulu baru menjelaskan asal-usul mereka. Semisal Pattiasina dari Banda selalu menyebut asli Banda baru menerangkan asal-usul keluarganya di Ambon Lease. Demikian pula orang Jawa, Buton, dan lain suku pasti menyebut identitas orang Banda terlebih dahulu baru menjelaskan asal-usul leluhurnya," ujar Thalib.
Kekuatan identitas Banda itu adalah modal sosial masyarakat Banda yang majemuk. Meski sebagian besar penduduk Kristen Banda mengungsi ke Ambon akibat imbas masuknya pengungsi korban kerusuhan Ambon yang memicu konflik di Banda Neira, identitas Banda tetap berada di hati mereka. Yola Dumatubun (32) yang asli Banda Besar (Lonthor) menjadi korban kerusuhan oleh warga pendatang di Banda. Ketika itu, dia dan keluarganya dilindungi warga Banda yang Muslim.
Meski banyak warga Banda Kristiani mengungsi, setiap hari besar seperti Natal dan Lebaran, hubungan baik dengan warga Banda Muslim tetap dijaga. "Kemarin waktu Natal warga yang mengungsi datang dan merayakan Natal di Banda dan mengunjungi sanak serta keluarga yang Muslim," ujar Van Leon.
Ucapan itu dibenarkan Iqbal Baadila. Sebelum kerusuhan melanda Banda, warga Muslim dan Kristiani saling berkirim makanan dan kue setiap Lebaran dan Natal. Kunjung-mengunjungi adalah wajib hukumnya bagi orang Banda.
Sumber: Kompas, 24 April 2012
Komentar
Posting Komentar