Pengusaha Hashim Djojohadikusumo meluncurkan ulang buku Pertempuran 10 November 1945 karya Des Alwi akhir November 2011. "Dari Banda inilah, Indonesia yang sekarang ada tercipta. Salah satu tokohnya adalah Des Alwi," ujar Hashim memuji Des Alwi, sahabat dan kerabat dekat keluarga besar Djojohadikusumo.
Tahun 1930-an, Des Alwi menjadi murid dan anak angkat Bung Hatta alias Om Kaca Mata dan Bung Kecil, yakni Sutan Syahrir alias Om Rir. Des Alwi adalah tokoh lintas zaman dan generasi. Dia bergaul dengan perintis dan pendiri Republik. Turut terlibat langsung dalam desing peluru, keringat, dan darah semasa revolusi fisik, berseberangan dengan masa akhir rezim Orde Lama, dan dekat dengan tokoh-tokoh Orde Baru.
Semasa hidup, dalam satu kesempatan saat bertemu di sebuah restoran di bilangan Menteng, Jakarta, Des Alwi bercerita saat dia berada di Kuala Lumpur, kubu anti-Soekarno kerap menghubungi dirinya. Des ikut pula merintis upaya mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia karena memiliki kedekatan dengan Tunku Abdul Rahman dan elite Melayu.
Des Alwi berhubungan dengan Benny Moerdani yang berada di Bangkok sebagai penghubung resmi Pemerintah Indonesia. Des mengaku bertemu orang-orang Barat dan berhubungan dengan aktivis anti-Soekarno dalam gerakan mahasiswa dan pemuda setelah tragedi 1965. Dalam buku biografi Benny Moerdani karya Julius Pour disebutkan Benny menyamar menjadi pegawai Garuda Indonesia di Bangkok, Thailand.
"Lebih lanjut detail keterlibatan saya dengan teman-teman angkatan 1966 jangan kamu tulis, yah. Selebihnya adalah background apa saja yang saya lakukan. D'accord?" kata Des waktu itu sambil tertawa.
Tokoh-tokoh penting
Des memulai pergaulan dengan tokoh-tokoh penting bangsa di Pulau Neira tahun 1930-an. Des Alwi menjadi sahabat dari Donal Vogel, keponakan yang diangkat menjadi anak oleh dokter Tjipto Mangunkusumo. Dokter Tjipto menjadi dokter keluarga Des Alwi sehingga membuat mereka semakin dekat.
Ketika Pemerintah Hindia Belanda tergesa-gesa mengungsikan Hatta dan Syahrir ke Jawa menjelang masuknya Jepang ke Pulau Jawa, di pengujung Januari 1942, Des Alwi tertinggal di Neira. Dia diberi tanggung jawab menjaga buku-buku Hatta (2.000-an judul) dan buku-buku Syahrir (300-an judul) di Neira.
Des Alwi akhirnya menyusul berangkat ke Jawa melalui Ambon lalu dilanjutkan menaiki kapal Jepang ke Surabaya. Sampai di Jakarta (Batavia), barulah bertemu Sutan Syahrir dan Hatta. Des pun menumpang di rumah Hatta di Menteng. Dia bersekolah dan bekerja di kantor radio pendudukan Jepang seraya mengoperasikan radio gelap memantau berita kemenangan Sekutu dan semakin terdesaknya Jepang.
Semasa hidup, Des Alwi selalu bersemangat bercerita tentang pertempuran 10 November dan penyelundupan senjata dari daerah pendudukan Belanda (Jakarta) ke pedalaman (wilayah Republik). "Saya jadi saksi di Surabaya. Dalam penyelundupan senjata, kita mengirim senjata, pistol, dan mesiu dengan kereta dari Stasiun Jatinegara ke wilayah Republik di Cikampek," kata Des. Wilayah antara Stasiun Jatinegara dan Cikampek adalah daerah tak bertuan. Banyak laskar beroperasi tanpa mau tunduk di bawah komando Soekarno-Hatta.
Di belakang layar
Operasi kucing-kucingan melawan musuh itu terus berlangsung hingga akhirnya Pengakuan Kedaulatan pada Desember 1949. Setelah itu, Des pun melanglang buana ke sejumlah negara di Eropa dan Asia untuk bekerja dan studi. Saat berada di London, dia berkawan erat dengan pendiri Malaysia, Tunku Abdul Rahman, dan petinggi politik UMNO, Tunku Abdul Razak. Pada tahun 1960-an saat situasi politik semakin memanas, Des Alwi bermukim di Kuala Lumpur, Malaysia.
Orde Baru muncul menggantikan kekuasaan Soekarno. Des Alwi pun menjadi bagian dari orang-orang di belakang layar seperti halnya para tokoh sosialis dan mantan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI), Masyumi, dan Angkatan Darat yang sebagian kemudian menjadi tokoh dalam masa pemerintahan Soeharto. Ketiga kelompok tersebut juga tetap menjadi king maker di belakang layar dalam percaturan politik Indonesia.
"Hubungan kami tetap baik dan koleksi dokumentasi sejarah Om Des kami pelihara buat kepentingan bangsa," kata Hashim saat Des meninggal. Saat duka itu, silih berganti tokoh dari keluarga besar Syahrir, Hatta, Djojohadikusumo, dan para sahabat mengalir ke rumah duka. Mereka menghormati teman, sahabat, dan saudara yang mempersatukan mereka, yakni Des Alwi dari Banda Neira.
(IWAN SANTOSA)
Sumber: Kompas, 27 April 2012
Komentar
Posting Komentar