Sampan kecil alias kole-kole dengan dinding kapal nyaris menyentuh permukaan air laut dikayuh perlahan di tepi pantai Pulau Neira, Kepulauan Banda Neira, Provinsi Maluku. Suasana senyap. Sesekali terdengar senda gurau anak-anak di tepi pantai. Di sisi lain bola dunia, "saudara Kepulauan Banda", yakni kota New York, Amerika Serikat, sepanjang hari sibuk dipenuhi manusia dan kendaraan yang lalu lalang.
Pada tahun 1600-an, Kepulauan Banda dan wilayah yang kini disebut kota New York pernah dipersatukan oleh ikatan sejarah perebutan rempah pala antara Inggris dan Belanda. Koloni Nieuw Amsterdam dan Pulau Manhattan dan Pulau Run di Banda menjadi obyek Perjanjian Breda tahun 1667 antara Inggris dan Belanda.
Memang ironis. Pada saat Belanda memperoleh Pulau Run dari Inggris kelihatannya mereka untung secara finansial. Harga satu genggam pala ketika itu senilai dengan satu genggam emas dengan bobot sama!
"Inggris sepertinya merugi dengan menerima Pulau Manhattan dan Nieuw Amsterdam yang kini menjadi kota New York dari Belanda. Sejarah membuktikan New York berkembang pesat menjadi salah satu pusat kegiatan perdagangan dunia dan Pulau Banda terlupakan," kata sejarawan Banda dari Universitas Pattimura, Ambon, Usman Thalib.
Letnan Kolonel (Pur) TNI AL C Kowaas, yang melanglang buana pada 1964 bersama KRI Dewa Rutji, berkisah. Perebutan rempah di Nusantara oleh bangsa Eropa di antara abad ke-16 hingga abad ke-18 bisa diibaratkan persaingan di abad ke-20 dan ke-21 untuk memperebutkan sumber minyak Timur Tengah oleh negara maju dan sesama bangsa Arab.
"Pada tahun 2600 sebelum Masehi bangsa Mesir diketahui menggunakan rempah dari Asia untuk para pekerja yang membangun piramida agar memberi kekuatan tertentu. Dari bukti arkeologis diketahui rempah-rempah itu dari Maluku," ujar Kowaas.
Komoditas utama
Rempah-rempah adalah komoditas utama perdagangan dunia hingga 1800-an. Dalam buku Batavia's Graveyard dan keterangan Usman Thalib ditegaskan, rempah menjadi bahan pengawet makanan, obat-obatan, hingga pemanas tubuh di kala musim dingin melanda Eropa.
"Pala, cengkeh, dan merica menjadi obat-obatan penting. Diyakini rempah olahan pala untuk mengobati rematik hingga obat tidur. Tetapi, tidak mudah memperoleh rempah. Harga rempah di Kepulauan Rempah dengan pasar di Eropa bisa melonjak 1.000 kali lipat karena bangsa Eropa Barat tidak memiliki akses ke produsen," kata Usman.
Pala ketika itu hanya tumbuh di Kepulauan Banda dengan pulau-pulaunya: Lonthor (Banda Besar), Neira, Gunung Api, Rozengain, Ai, Neijalaka, dan Run. Kepulauan Banda menjadi incaran bangsa-bangsa adidaya dunia ketika itu yang didominasi kekuatan maritim Spanyol dan Portugis.
Menurut Willard A Hanna dalam buku Kepulauan Banda, Kolonialisme, dan Akibatnya di Kepulauan Pala, bangsa Portugis tiba untuk pertama kali pada awal 1512 di Kepulauan Banda. Orang Portugis mengangkut pala, fuli (bunga pala), hingga cengkeh dari Banda. Harga beli yang rendah didapat dan keuntungan diraup hingga 1.000 persen di Lisabon, Portugal.
Kala itu, perdagangan pala didominasi orang Melayu, Tionghoa, dan Arab. Jalur perdagangan membentang dari Banda-Teluk Persia, lalu diangkut ke Laut Tengah untuk didistribusikan melalui Istanbul, Genoa, atau Venesia ke Eropa. Setiap kali berpindah tangan pedagang, harga naik minimal 100 persen.
Selanjutnya, Portugal memusatkan perhatian ke Ternate dan Tidore. Mereka membangun benteng di Neira pada 1529 yang tidak diselesaikan. Konon, benteng itu menjadi cikal bakal kubu Belanda, yakni Fort Nassau. Reruntuhan Fort Nassau terletak tak jauh dari rumah pembuangan Sutan Syahrir, Bung Hatta, dan kediaman keluarga besar Baadila, leluhur Des Alwi.
Zaman berganti, kekuatan dunia terutama kekuasaan maritim bergeser ke Inggris dan Belanda. Harga rempah masih tinggi. Belanda tiba di tahun 1599 dan diikuti Inggris pada 1601.
Laksamana Muda Jacob van Heemskerk memimpin 200 pedagang, serdadu, dan pelaut tiba di Orantatta di Pulau Lonthor pada 15 Maret 1599. Belanda memosisikan diri sebagai musuh Portugis dan mendekati para pemimpin warga Banda (orang kaya).
Kedatangan Inggris mempertajam persaingan memperebutkan rempah-rempah. Konflik terjadi, Portugis dan Spanyol makin tersisih. Belanda dengan serikat dagang VOC dan Inggris dengan serikat dagang EIC terlibat konflik terbuka dan berdarah. Rakyat Banda juga kerap menjadi korban dalam pertarungan kekuatan dunia tersebut.
"Kita tidak punya daya persatuan sehingga gampang diadu di Banda. Secara umum, itu juga gambaran sifat masyarakat Nusantara," ujar sejarawan Usman Talib yang asli Neira itu.
Belanda menguasai hampir seluruh Kepulauan Banda. Namun, Pulau Run berada di bawah kekuasaan Inggris. Kemudian dalam Perjanjian Breda di Belanda disepakati VOC menyerahkan koloni Nieuw Amsterdam kepada EIC. Sebaliknya, EIC menyerahkan Pulau Rum dan koloni Suriname ke VOC. Peristiwa itu dikukuhkan dalam sebuah traktat tahun 1674.
Di atas kertas, VOC untung besar karena seluruh kepulauan rempah berada di bawah kendalinya. Namun, VOC untung besar karena seluruh kepulauan rempah berada di bawah kendalinya. Namun, EIC yang mendapat Nieuw Amsterdam, yang kemudian diberi nama New York, berpikir untuk jangka panjang dengan membangun sebuah kota perdagangan dan jasa.
Sementara Banda, seperti bagian lain RI, masih mengandalkan ekonomi dari menjual bahan mentah dan tidak menambah nilai ekonomis hingga menjadi barang siap konsumsi. Pala, cengkeh, karet, kina, teh, dan kopi semua dijual dalam produk mentah demi segera mendapat keuntungan yang tidak seberapa. Selanjutnya, produk siap konsumsi kembali diimpor dengan harga lebih mahal.
Sungguh ironi. Penjajahan Belanda yang menyatukan Kepulauan Nusantara bermula di Banda, pusat dunia di abad silam. Kegagalan membaca zaman dalam membangun sebuah negara mengakibatkan Kepulauan Banda tertinggal, berbeda dengan kota New York yang gemerlap serta menjadi idaman jutaan orang untuk dikunjungi dan dihuni .... (IWAN SANTOSA)
Sumber: Kompas, 25 April 2012
Komentar
Posting Komentar