Langsung ke konten utama

Merajut Simpul-simpul Perekat Keindonesiaan

Masalah yang dihadapi dalam konteks persatuan bangsa dan negara kesatuan belakangan ini adalah bagaimana mengapresiasi keragaman sebagai suatu keniscayaan bagi Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Oleh SUSANTO ZUHDI

Sejarawan Australia, Robert Cribb, pernah berkata, "Memandang peta rasanya cukup untuk memberi kesan tidak mungkin adanya negara Indonesia." Namun, kenyataannya, bukankah faktor sejarah yang memungkinkan itu bisa terjadi?

Proses menyejarah pada bangsa ini tampak jelas dalam Pembukaan UUD 1945: "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah ...." Begitu pentingnya fungsi sejarah dalam pembentukan bangsa, sampai-sampai Prof Sartono Kartodirdjo pernah mengatakan begini: "Jika pernyataan keempat dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 boleh ditambahkan, maka akan berbunyi 'putera-puteri Indonesia menjunjung tinggi sejarah yang satu, sejarah Indonesia'."

Prof Kuntowijoyo (alm) pernah mengatakan, maraknya konflik sosial dan ancaman disintegrasi bangsa belakangan ini disumbang (juga) oleh kegagalan pembelajaran sejarah di sekolah. Tekanan materi yang diberikan pada konflik antarkelompok dan golongan masyarakat serta perang antarkerajaan rupanya menjadi warisan ingatan kolektif "dendam sejarah".

Prof Liliweri dalam bukunya, Prasangka & Konflik (2004), mengatakan bahwa sumber konflik yang mendorong situasi disintegrasi ada yang berasal dari faktor historis. Dalam konteks antarpribadi, kesalahpahaman sering muncul dari sumber cerita lisan. Dalam konteks komunitas kecil, akar konflik bersumber dari cara hidup atau kebiasaan, seperti dalam hal tradisi dan sejarah keluarga. 

Kemudian, dalam konteks komunal dan regional, sumber historis berasal dari cara hidup dalam arti kebiasaan dan cara berpikir sejarah, yang dianut secara fanatik. Bahkan dalam konteks antarnegara, interpretasi masa lalu dan pegalaman buruk dapat menjadi sumber yang dapat memperbesar sejarah konflik.

Faktor disintegratif

Selain sisi positif, sejarah juga memiliki sisi negatif yang perlu diantisipasi, apalagi yang beragam suku bangsa dan kebudayaan seperti Indonesia. Terdapat banyak fakta sejarah di masyarakat kita yang dapat menjadi faktor disintegratif bangsa.

Faktor pertama, biasanya karena sudut pandang etnosentrisme yang memperlihatkan adanya kontroversi atau bahkan ketegangan yang dapat mendorong konflik tertutup maupun terbuka. Faktor kedua, ketidaktepatan interpretasi yang tidak sesuai dengan konteks zamannya.

Contoh untuk yang disebut pertama adalah karena prasangka kelompok atau suku bangsa, seperti antara etnis Sunda dan Jawa pada kasus tokoh Gajah Mada. Personifikasinya terlihat pada tidak ada nama Jalan Gajah Mada di Bandung. 

Contoh ini sebenarnya sudah menjadi klasik, tetapi perlu tinjauan baru. Apakah fakta Perang Bubat, misalnya, demikian saja diungkap tanpa makna yang jelas, khususnya dalam konteks tujuan pendidikan. Untuk akademis pun penulisan sejarah tidak cukup hanya menderetkan fakta dan dipaparkan begitu saja. Interpretasi dan makna apa yang hendak digali dan diungkap merupakan hal prinsip. 

Contoh kedua, menganggap sejarah masa lalu begitu saja berlanjut ke masa kini. Itu berarti interpretasi terhadap fakta sejarah, yang terdapat pada masa kerajaan yang masing-masing berdaulat, begitu saja diperlakukan sama ketika sudah ada bentuk Indonesia kemudian.

Itulah yang terjadi ketika orang Aceh menganggap orang Siak berkhianat kepada Kesultanan Aceh, karena telah mengadakan kontrak dengan VOC/Belanda. Tindakan itu diberi arti negatif karena seolah-olah sama dengan berkhianat terhadap Republik Indonesia.

Jalan pikiran itu muncul karena Belanda musuh bangsa Indonesia. Seperti diketahui, Aceh merupakan daerah yang paling lama berperang melawan Belanda. Di sinilah pentingnya interpretasi yang kontekstual sesuai dengan zamannya. Hal itu untuk menghindari anakronisme dalam memahami sejarah.

Sejarah tidak hanya mengenai politik. Kehidupan sosial dan budaya juga merupakan aspek yang menarik dan penting diketengahkan dalam sejarah bangsa.

Diaspora suku bangsa dan masuknya orang China (termasuk India dan Arab) telah lama mewarnai pembentukan masyarakat di Nusantara. Dalam konteks itu pula pembentukan masyarakat Bangka-Belitung merupakan bagian dari keindonesiaan. Maka, dikenallah moto "fangin tongin jit jong", yang artinya "Melayu-Cina satu jua."

Sejarah perekat bangsa

Berangkat dari kesadaran inilah Direktorat Sejarah, Departemen Kebudayan dan Pariwisata, menyelenggarakan Lawatan Sejarah Nasional (Lasenas), pertama kali dilaksanakan tahun 2003. Program ini untuk mendukung tujuan pembelajaran sejarah agar lebih efektif dengan cara berekreasi. Selain tujuan edukatif, siswa juga diharapkan memperoleh inspirasi agar dalam bersikap dan perilaku berbekal nilai-nilai sejarah. Sebutlah seperti nilai-nilai kepahlawanan, pantang menyerah, tahan uji, cinta Tanah-Air, persatuan, dan solidaritas.

Obyek kunjungan adalah situs-situs bersejarah yang merupakan orientasi nilai perjuangan dan persatuan untuk memperkokoh integrasi bangsa. Obyek yang diprioritaskan adalah tempat pengasingan dan atau makam pejuang bangsa. Situs itulah yang diberi makna sebagai simpul perekat bangsa.

Peserta Lasenas adalah siswa dan guru terbaik dari seluruh provinsi. Lasenas I/2003 mengunjungi tempat pengasingan/makam pejuang dari luar di Pulau Jawa.

Dapatlah dikatakan bahwa Jawa adalah muara simpul-simpul perjuangan bangsa. Di Jawa Barat terdapat tempat pengasingan dan makam Cut Nyak Dien, yakni di Sumedang. Simpul ini dapat diurai guru sejarah setempat dengan kisah perjuangan hingga pahlawan nasional perempuan dari Aceh sampai di Sumedang.

Siswa didorong untuk bertanya, siapa Cut Nyak Dien? Dari mana asalnya? Mengapa berada di Sumedang? Maka dua simpul Aceh dan Jawa Barat pun mulai sudah terajut.

Kemudian, di Cianjur juga terdapat simpul Tuanku Imam Bonjol, yang diasingkan dari Sumatera Barat dan seterusnya ke Ambon, dan berakhir karena wafat dan dimakamkan di Lotak, dekat Kota Manado. Di Jawa Tengah terdapat simpul Blora, tempat pengasingan dan makam Poceut Merah Intan, pejuang perempuan lain dari Aceh. Di Jawa Timur terdapat tempat tertangkap dan makam Karaeng Galesong di Ngantang, Malang.

Lasenas II/2004 dengan tema "Dari Titik Nol Kilometer Sabang Merajut Simpul-simpul Keindonesiaan" merupakan penguatan kembali komitmen dalam bertanah-air satu: dari Sabang sampai Merauke! Tidak itu saja, peserta--siswa dan guru sejarah--yang berasal dari seluruh Indonesia dapat melihat makam sultan-sultan terakhir Aceh adalah keturunan Bugis.

Lasenas III tahun 2005, peserta dibawa dari Makassar ke Selayar. Ada dua aspek sekaligus yang hendak direngkuh, seperti hendak mempertautkan "Tanah" dan "Air" dalam satu tarikan napas. Setelah bagian "daratan" Sulawesi Selatan dilalui, kemudian menyeberang ke Selayar, maka "simpul-simpul maritim" pun dapat dirajut. Diskusi yang menarik dengan menampilkan Dr Anhar Gonggong, yang membawakan topik "Mendamaikan Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin" dengan maksud agar anak bangsa bersedia "berdamai dengan sejarah". Sudah muncul pendapat siswa dan ini penting untuk dicatat, bahwa sejarah tidak hanya dapat dilihat dari satu sisi saja, atau interpretasi sejarah yang biasanya berlaku tunggal.

Levi-Strauss, ilmuwan terkemuka Perancis, pernah mengatakan: history is never history of, it is always history for. Jelaslah bahwa sejarah itu untuk suatu kepentingan, tetapi bukan untuk pembenaran atau legitimasi rezim siapa atau kelompok mana, melainkan untuk bangsa Indonesia. Hanya bangsa yang menghargai sejarah dan pahlawannnya lah yang patut menjadi bangsa yang besar.

SUSANTO ZUHDI
Guru Besar UI, Mantan Direktur Sejarah dan Geografi Sejarah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata



Sumber: Kompas, 25 Agustus 2006



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...