Langsung ke konten utama

Membayangkan Lautan Api di Bandung

Oleh BAMBANG SUBARNAS

MEMBAYANGKAN peristiwa Bandung Lautan Api (BLA) untuk sampai pada penghayatan heroik bagi para generasi muda, tentulah bukan hal yang mudah. Sebab, di samping keadaan zaman dan lingkungan sekitar yang sudah berubah, media untuk sampai pada penghayatan seperti itu tidak ada di kota ini.

Para pelaku sejarahnya satu-persatu pergi, benda-benda saksi sejarah satu-persatu melapuk dan menghilang. Dan pengalaman heroik itu secara perlahan berubah menjadi fiksi-fiksi sejarah yang terdengar lamat-lamat. Bukan karena lupa (berkaitan dengan memori), tetapi akhirnya tidak diketahui. Tidak ada kata yang dapat menggambarkan, tidak ada wujud atau bentuk yang dapat merangsang imajinasi, tidak ada suara yang dapat membangun ingatan, apalagi suasana yang memungkinkan seseorang dapat menghayati semangat tersebut.

Monumen Bandung Lautan Api yang berdiri kokoh di kawasan Tegallega masih menyisakan citra yang kusam, remang, dan tidak terurus. Sementara Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat yang berada tepat di depan Gedung Sate terlihat demikian masif dan asing. Monumen itu tidak mampu menstimulasi rasa ingin tahu publik, tidak memberikan inspirasi heroik atau membangun kecintaan warga pada kotanya, bahkan untuk sekadar merangsang ingatan pun saya kira sulit.

Membayangkan Bandung yang dibakar berangkat dari kalimat bernada heroik "lautan api", secara visual saya membayangkan sebuah pemandangan yang fantastik. Kalau saya jadi Belanda, tempat yang saya pilih untuk dapat menikmati pemandangan itu adalah kawasan Bandung utara. Sebab dari kawasan ini, pemandangan ke arah Kota Bandung lebih sempurna terlihat. Dari kawasan Bandung utara, kita dapat membayangkan diri menjadi kaum berduit, dari atas balkon, melihat seluruh yang terhampar, mulai dari kawasan Bandung kota hingga Bandung selatan.

Sore hari, site plan Kota Bandung kini terlihat seperti sebuah lukisan dengan mozaik dan tekstur yang bagus. Kawasan Cicadas dan Kiaracondong yang padat dan hiruk-pikuk tampak berwarna cokelat dan abu sedikit kusam. Sementara kawasan pusat kota hingga ke Sudirman, terlihat bertekstur kubistik (kotak-kotak) yang menunjukkan gaya seni modern khas Bandung. Warna-warna yang tampil dari kawasan ini adalah warna-warna artifisial (bukan warna alami) seperti kuning, putih, biru muda, beberapa terlihat ungu. Jika tengah hari, dari kawasan ini akan terlihat sedikit pendar-pendar fatamorgana. Jauh ke arah Bandung selatan, secara keseluruhan warna cenderung monokrom biru tua kehijauan. Ada terlihat beberapa kelompok titik berwarna di sana.

Jika malam, kawasan Bandung selatan ini tidak terlihat. Gelap. Berbeda dengan kawasan kota, yang terang oleh titik-titik cahaya berwarna-warni seperti bintang-bintang yang turun dan berada di bumi. Menikmati pemandangan seperti itu dalam alunan musik yang lamat-lamat, dari beranda yang tenang di Bandung utara, sungguh eksotik.

Kembali membayangkan "lautan api" di Bandung kota. Imajinasi ini sungguh berlawanan dengan imajinasi danau Bandung purba sebagai "lautan air". Tanpa panduan pengetahuan tentang peristiwa Bandung Lautan Api, imajinasi ini bisa menjadi liar. Bayangkan, api menjilat-jilat di seluruh hamparan kota. Asap membubung tinggi ke langit, memantulkan warna jingga di tengah malam. Sesekali terdengar ledakan dan pancaran kilat ke angkasa, seperti pesta kembang api layaknya. Mungkin itu ledakan mesiu, senapan prajurit, atau bilah bambu yang meledak karena terbakar. Konon, katanya, pada saat itu ada sebuah gudang mesiu yang diledakkan oleh seorang pemuda bernama Mohamad Toha. Ledakan gudang mesiu itu tentu menjadi ledakan yang paling besar di tengah "lautan api" pada saat itu. Suara dentuman dan efek cahayanya, menjadi aksentuasi yang paling berkesan. Kalau saja ada beberapa orang bersama saya di Bandung utara menyaksikan pemandangan itu, tentu kami secara spontan akan memberi tepuk tangan yang panjang bagi pertunjukan tersebut. Menyaksikan "lautan api" dari Bandung utara, saya merasa menjadi penguasa, seperti kaisar Nero yang duduk dari ketinggian bukit, saat membakar kotanya sendiri, Roma.
**
TENTU, para pelaku dan artefak-artefak kesaksian peristiwa bersejarah peristiwa BLA saya yakin masih ada tersebar di sekitar kita. Beberapa orang yang terlibat langsung, masih bisa bercerita, benda artefak masih bisa didapat atau dibuat replikanya berdasarkan dokumen atau pengakuan pada pelaku. Seniman-seniman juga merekamkan kesannya dalam berbagai bentuk karya, baik sastra, seni rupa, atau alunan lagu. Kesan-kesan seniman tentang peristiwa BLA pada karyanya, walaupun mungkin bersifat personal, justru memberikan sudut pandang yang lebih humanis dibandingkan dengan sudut pandang yang cenderung stereotip. Yang paling populer, saya kira lagu "Halo-halo Bandung". Bagi warga Bandung, lagu ini sering dinyanyikan pada saat ada momen kolektif yang membangkitkan sentimen kota seperti pertandingan Persib, pada saat unjuk rasa, dan sejenisnya.

Bagi orang Sunda, impresi BLA yang lebih humanis dapat dijumpai pada lagu berbahasa sunda berjudul "Lain Layung Lain Langit", salah satu lagu ciptaan Mang Koko dengan syair (rumpaka) oleh Wahyu Wibisana. Liriknya, Lain ujang, lain nyai//Lain layung, lain langit//Tapi seuneu ngabela-bela di langit//Kota urang dayeuh Bandung keur dihuru//Duh, dibumihanguskeun//Kusaha kota dihuru?//Apan ku bapa sorangan//Anu iklas saba leuweung, tibatan dijajah deungeun,//teu suka!//Ulah ujang, ujang nyai,//ulah bingung bingung balik//Ayeuna teh pan urang can perlu balik//Kota urang dayeuh bandung ditingalkeun//-Emh. Rido teh teuing//Kusaha kota ditilar?//Da bongan direbut musuh//Anu rek ngajajah urang//Nu datang ti tanah sabrang,//Walanda//Hayu ujang, hayu nyai//Hayu ngamuk maju jurit//Ayeuna teh pan urang keur perang jurit//Banda urang patekadan, duh ... jeung bamboo runcing//Keur saha urang berjuang?//Apan keur poe isukan//-Lamun hidep geus sawawa//masing nyaho kecap bangga//Masing nyaho kecap bagja//Merdeka!

Dalam iringan kecapi, dan alunan tembang, syair lagu di atas memberi impresi yang kuat tentang suasana imajinatif BLA. Suasana humanis terasa pada syair yang tidak bernada retorik. Seorang ibu menjelaskan kepada anaknya yang masih belum mengerti kenapa harus meninggalkan kota dengan rumah-rumah yang sengaja dibakar. Dari kejauhan, langit jingga yang menarik perhatian sang anak, dijelaskan oleh si ibu bahwa itu bukan awan langit lembayung, tetapi pantulan api yang membakar kota. Terbayang dialog antara orang tua dan anak di pengungsian luar kota, dengan bawaan seadanya dalam perjalanan malam.

Dialog si ibu kepada anaknya terasa ada usaha penjelasan rasional, penuh cinta, sekaligus patriotik dalam jangkauan visi ke masa yang akan datang, saat anaknya sudah dewasa kelak. Kalimat-kalimat itu, kalimat seorang ibu yang penuh kasih pada anaknya.

Deskripsi ringkas tadi, bukan analisis sastra, tetapi sekadar menangkap suasana peristiwa BLA dari artefak karya seni yang memiliki kekuatannya sendiri untuk berkomunikasi pada publik. Lagu Mang Koko, lukisan Hendra Gunawan, atau mungkin karya-karya seni yang lain, saya yakin masih tersebar dan tersimpan di tengah kelimun kehidupan kota. Kalau saja bisa dikumpulkan bersama artefak-artefak bersejarah BLA lainnya--di museum BLA misalnya--peristiwa bersejarah tersebut bisa tetap hidup dalam pengetahuan generasi selanjutnya.

Kecuali kalau kita memang tidak berkepentingan lagi dengan sejarah kota ini. Besok lusa jangan salahkan kalau orang muda tak mengingatnya.***

Penulis, Dosen pada Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Unpas Bandung.



Sumber: Pikiran Rakyat, 24 Maret 2005



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...