Langsung ke konten utama

Piagam Jakarta: Masih Perlukah Dimunculkan Kembali?

Oleh Mohammad Anwar Syarifuddin

MENCERMATI perkembangan akhir-akhir ini mengenai pembahasan perubahan UUD 1945, tiap anak bangsa dengan hati jernih perlu merenungkan kembali, apa sebenarnya cita-cita para pendiri bangsa ini saat mereka merumuskan UUD 1945. Sudah demikian panjang sejarah konstitusi ini, dan belum pernah bisa memuaskan semua pihak. Tulisan ini menggagas apakah kita masih perlu atau tidak memunculkan kembali Piagam Jakarta ke dalam teks konstitusi?

Piagam Jakarta adalah sebuah hasil gentlement agreement pada 22 Juni 1945 yang direncanakan bakal menjadi rancangan naskah pembukaan bagi konstitusi Indonesia merdeka. Naskah piagam sedikit berbeda dari Pembukaan UUD 1945 dengan menyebut " ...negara berdasarkan ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya..." Namun, klausul ini diubah pada 18 Agustus 1945. Sejak saat itu usulan untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta selalu menjadi kontroversi.

Keberatan terhadap rancangan konstitusi itu disampaikan seorang pejabat angkatan laut Jepang yang datang kepada Mohammad Hatta sehari sebelum pengesahan. Dikatakan, jika klausul yang dipandang "diskriminatif" ini tidak dihapus, maka pulau-pulau yang dihuni mayoritas umat Kristen di Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri dari NKRI yang diproklamasikan.

Sesaat menjelang rapat PPKI pada 18 Agustus 1945, Hatta mengundang wakil-wakil golongan Islam: Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Wahid Hasjim, dan Tengku Muhammad Hasan untuk mencari solusi terbaik bagi "keselamatan bangsa dari perpecahan". Mereka setuju klausul pemberlakuan Syariat Islam dihapuskan. Sebagai ganti, Wahid Hasjim yang mewakili NU mengusulkan dasar "Ketuhanan Yang Maha Esa" dengan pertimbangan bahwa penambahan kata esa menegaskan sifat tauhid yang, menurutnya, hanya dimiliki Islam. Dengan begitu, Indonesia urung menjadi negara Islam, namun menjadi negara monoteis. [Feillard, 39]

Penghapusan ini pada gilirannya juga mengubah susunan pasal-pasal yang senapas dalam batang tubuh UUD 1945, seperti pasal tentang Agama dan Presiden. Penghapusan ini juga dilandasi semangat persatuan dan kesatuan bangsa sebagai prioritas utama dalam politik Indonesia yang baru merdeka. Bila ditilik ke belakang, pantas bila Wahid Hasjim memang pendukung utama ide ini.

Dalam pidatonya bulan Mei 1945 ditegaskan, Indonesia saat itu membutuhkan persatuan dan kesatuan bangsa yang kuat guna menyongsong revolusi. Lebih jauh, seperti dituturkan kepada Saifuddin Zuhri, Wahid Hasjim dalam pertemuan 18 Agustus 1945 menyatakan, kelompok minoritas memang bisa melakukan politik ofensif, bahkan dengan ancaman seolah-olah mereka merasa tertindas. Tetapi, sebagai golongan yang berkepentingan dengan kokohnya persatuan dalam menghadapi Belanda, para pemimpin Islam dan nasionalis sudah seyogianya memenuhi tuntutan itu. Alasannya, menurut Wahid Hasjim, pemberlakuan Syariat Islam bisa diakomodasi melalui pelaksanaan Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 secara jujur. Apabila aturan yang menjamin kemerdekaan beragama dan beribadat ini dijalankan dengan baik, berarti sudah semestinya kewajiban menjalankan Syariat Islam akan tumbuh sebagai kesadaran setiap Muslim.

Persoalan dasar negara

Perdebatan mengenai Piagam Jakarta selalu dilihat sebagai persoalan dasar negara. Dari waktu ke waktu, persoalan bertumpu pada keberatan sebagian kalangan nasionalis terhadap dasar negara Islam. Asumsi ini bila ditilik lebih teliti tidak sepenuhnya tepat. Beberapa pendapat yang dihimpun dari tokoh-tokoh Partai Masyumi yang mengusulkan konsep "negara Islam" dalam sidang majelis konstituante menegaskan, mereka sebenarnya tidak beitu kaku memegangi kata-kata dalam Piagam Jakarta sebagai konsep negara Islam. Apa yang diinginkan sebagian besar umat Islam dengan Piagam Jakarta adalah bukan realisasi konsep "negara Islam", tetapi lebih sebagai jaminan bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan ajaran Islam. [Thaba, 155]

Pernyataan senada juga dijumpai dalam pandangan Mohammad Roem yang menyebut "negara Islam" tidak perlu dinyatakan secara eksplisit. Sebutan itu tidak ada dalam tradisi awal Islam. Merujuk piagam Madinah yang menjadi negara yang didirikan Nabi Muhammad SAW, ia menyebut, dalam 47 pasal piagam itu tidak ada satu kalimat pun yang menyebut Madinah sebagai negara Islam. Sebutan negara Islam adalah persoalan sekunder. Sesuai pandangan modernisme, Roem mengatakan, persoalan pokok dalam hubungan Islam dan negara ialah bagaimana caranya agar ajaran-ajaran Islam dapat "menjiwai kehidupan negara". [Mahendra, 205]

Tokoh-tokoh Masyum lain seperti M Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Zainal Abidin Ahmad memandang sebuah negara disebut Islam bukan karena sebutan formal "negara Islam" atau "berdasarkan Islam", tetapi negara itu disusun sesuai ajaran-ajaran Islam, baik dalam teori maupun praktik. Dasar negara dapat saja disusun dalam klausul yang bersifat umum asal mencerminkan kehendak Islam. Bahkan, menurut Zainal Abidin Ahmad rumusan umum itu juga bisa disebut "Pancasila" sekiranya rakyat menyukai sebutan itu. Walhasil, tawaran Masyumi dan partai-partai Islam dalam konstituante untuk mengajukan dasar Islam bukan "harga mati". Itu sebuah penawaran maksimum akibat adanya penafsiran yang beragam terhadap Pancasila.

Pandangan yang diungkapkan kalangan Islam tradisionalis, dalam hal ini NU, juga sama moderatnya. Mohammad Dachlan yang menjadi menteri agama pada awal Orde Baru menjamin, Piagam Jakarta hanya diberlakukan bagi umat Islam. Tetapi, banyak orang menganggap piagam itu sebagai momok. Mereka khawatir dasar Islam akan melahirkan dar al-Islam. Dalam terbitan Duta Masjarakat (24-6-68), Dachlan menambahkan, Piagam ini tidak menekan kepada aliran-aliran lain di luar agama Islam. Tetapi, lagi-lagi ini dianggap tidak lebih dari sekadar apologi. Dari sini, seperti tampak dalam analisis Feillard dalam NU vis a vis Negara, kekhawatiran kaum abangan dan orang-orang Islam yang "kurang beragama" terhadap pemberlakuan Syariat Islam adalah karena mereka tidak menjalankan ritual formal Islam, sebaliknya mereka memilih cara beribadat menurut mistik. Kekhawatiran semacam inilah yang tidak diperhatikan ketika hendak memberlakukan kembali Piagam Jakarta.

Namun, kekhawatiran ini sebenarnya sudah disuarakan sejak awal dalam debat persidangan BPUPKI pertengahan Juli 1945. Saat itu, Wongsonegoro dan Hussein Djajadiningrat mengatakan, klausul islami dalam Piagam Jakarta dikhawatirkan menimbulkan fanatisme. Ungkapan yang sebenarnya menyiratkan keengganan kalangan "Islam KTP" untuk dipaksa menjadi Muslim dengan menaati Syariat Islam. Kecenderungan mereka dalan mengerjakan ritual sinkretik budaya Jawa pra-Islam, termasuk ajaran mistik Jawa yang panteistik. Praktik-praktik yang dinilai sama sekali bukan Islam.

Persoalan interpretasi

Sorotan dan kritik utama terhadap Piagam Jakarta adalah masalah interpretasi. Apakah Piagam Jakarta sudah memberi rincian yang jelas mengenai jenis kewajiban Syariat Islam mana yang akan diberlakukan, kepada siapa, bahkan umat Islam yang mana? Kekhawatiran kalangan abangan mencerminkan kekaburan definisi ini.

Ketidaktegasan Piagam Jakarta juga menyangkut cara pemberlakuan dan dalam kondisi bagaimana, apakah syariat itu menyangkut undang-undang pidana atau perdata, bagaimana bentuk pemerintahannya? Semua persoalan ini akan memicu munculnya aneka ragam penafsiran. Satu-satunya hal yang jelas disepakati bersama adalah calon presiden Republik ini harus seseorang Muslim, sedangkan persoalan yang lain tetap kabur. 

Salah satu kesulitan bila Piagam Jakarta dicantumkan dalam teks konstitusi adalah tentang sulitnya menentukan definisi "Syariat Islam". Apakah Syariat Islam itu melingkupi keseluruhan ajaran Islam dalam aspek hukum (fikih), keyakinan (akidah), dan moral (akhlak)? Bila kemudian "Syariat Islam" diartikan sebagai fikih, maka harus dirumuskan aspek-aspek fikih mana saja yang dimaksud: ibadat (ritual), mu'amalat (ekonomi), ahwal syahshiyyah (perdata), jinayat (pidana), atau siyasah (politik). Sampai saat ini, masih ada fobia terhadap penerapan hukum pidana Islam (jinayat), seperti hukum potong tangan, rajam, dan qisas. Kondisi ini akan menyulitkan, belum lagi banyak persoalan lain yang akan muncul dalam menentukan mazhab fiqh manakah yang berlaku dari sekian aliran yang ada. Semua persoalan ini merupakan isu-isu yang menantang umat Islam untuk berani membuat sebuah formula "kesatuan" dari beragam perbedaan yang ada di antara mereka sendiri.

Akumulasi persoalan-persoalan itu dan segala hal yang menyangkut aspek interpretasi untuk keperluan penyusunan pedoman dalam bentuk ketetapan perundang-undangan yang lebih bersifat teknis akan memicu perdebatan panjang di parlemen. Bukan tidak mungkin garis tegas yang memisahkan dua aliran politik bernegara akan kembali muncul saat kaum nasionalis yang berhaluan sekular akan berhadapan dengan penganut ideologi Islam politik. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin harmoni yang kini terjalin di elite kepemimpinan negeri ini akan kembali terkoyak dan komisi konstitusi akan kembali menemukan jalan buntu, seperti alotnya pembahasan dalam rapat BPUPKI dan gagalnya Konstituante menyepakati terbentuknya sebuah konstitusi baru. Juga bukan tidak mungkin hal ini tercermin dalam alotnya pembahasan perubahan terhadap UUD 1945 sekarang ini.


MOHAMMAD ANWAR SYARIFUDDIN MA 

Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta


Sumber: Kompas, 22 April 2002


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...