Oleh HARYADI SUADI
TIGA setengah tahun Djepang di tanah air kita. Ini berarti tiga setengah tahun lamanja djiwa Indonesia dimatikan, kebangsaan Indonesia dipadamkan, kebudajaan Indonesia diperkosa, kiblat Umat Islam diubah dari Barat ke Timur, fikiran dihentikan, kemauan diganti dengan kebaktian kepada Radja Djepang, kekajaan Indonesia dipindahkan, dan putra Indonesia diromusakan sampai hantjur lebur ....
(Dikutip dari buku "Tjita Tjita Perdjoangan" 1946 oleh Dr. Abu Hanifah
TANGGAL 8 Maret 1942, 60 tahun silam, di lapang udara Kalijati, Subang Purwakarta, telah terjadi suatu peristiwa yang terhitung penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa yang dimaksud adalah perundingan antara Balatentara Dai Nippon dan Pemerintah Hindia Belanda. Dalam peristiwa yang kemudian disebut "Perundingan di Kalijati" itu, fihak Belanda telah menyatakan bertekuk lutut tanpa syarat kepada Jepang. Dengan demikian Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berjaya selama tiga setengah abad itu, telah tamat riwayatnya. Sekalipun peristiwa ini merupakan urusan kedua bangsa tersebut, namun paling tidak keputusan dari perundingan itu telah disambut gembira dan lega oleh bangsa kita. Apalagi fihak Jepang telah memberi janji, bahwa Dai Nippon bukan musuh, tetapi "saudara tua" yang akan membebaskan "saudara mudanya" dari cengkeraman kaum penjajah Belanda. Namun gejolak kegembiraain itu ternyata cuma bersifat sementara. Masalahnya pernyataan mereka hanya janji palsu. Yang pasti tentara Tenoheika ini telah menggantikan kedudukan Belanda dan menjajah Indonesia selama tiga setengah tahun. Oleh karena itu di masa itu banyak yang berkomentar sebagai berikut: Nasib Bangsa Indonesia ibarat lepas dari mulut singa masuk mulut buaya, lagu Wilhelmus (lagu kebangsaan Belanda) diganti Kimigayo (lagu kebangsaan Nippon) dan bendera merah putih biru diganti bendera Kokki (matahari terbit).
Tiga setengah tahun atau menurut istilah ramalan Joyoboyo "seumur jagung" memang amat kecil dibanding tiga setengah abad. Namun dalam waktu sesingkat itu bangsa kita telah mengalami berbagai peristiwa yang amat memprihatinkan dan mengenaskan. Dan menurut orang yang sempat mengalami pahit getir di dua zaman tersebut, kesengsaraan selama tiga setengah abad tidak seberapa dibanding derita tiga setengah tahun. Di masa itu bangsa kita harus menghadapi dua tantangan yang amat berat, yakni kesengsaraan hidup dan tekanan serta ancaman dari fihak penguasa. Demikian buruknya kondisi perekonomian sehingga harga-harga bahan pangan membubung tinggi secara tidak normal. Misalnya harga beras dalam waktu singkat telah naik 4-5 kali lipat. Di zaman Belanda harga beras yang semula hanya 8 sen seliter, dengan tibanya Jepang menjadi 40 sen. Dengan harga-harga yang fantastis itu, tentu saja bahaya kelaparan pun tidak bisa dihindari lagi. Bahaya ini dalam waktu singkat telah melanda dengan merata ke seluruh tanah air. Akibatnya ribuan rakyat telah meninggal secara mengenaskan. Ribuan penduduk yang lebih tepat dikatakan sebagai tengkorak hidup bisa dijumpai di mana-mana. Mereka berbondong-bondong masuk kota untuk jadi pengemis. Di sepanjang jalan berserakan manusia-manusia yang sedang sekarat dan tidak bernyawa memang merupakan pemandangan sehari-hari. Orang meninggal bukan saja di medan perang atau ketika dikerahkan untuk kerja paksa sebagai romusha, melainkan juga karena kelaparan sehingga bangkai bergeletakan di pinggir jalan di kota-kota. Begitulah tulis budayawan Ajip Rosidi yang dimuat dalam buku "Pewarisan Budaya Sunda di Tengah Arus Globalisasi". Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah komentar para penguasa terhadap musibah ini. Seorang pembesar Jepang di masa itu dengan enteng berkomentar sebagai berikut: "Orang Jawa ada 50 juta lebih. Kalau mati beberapa orang tidak jadi masalah. Siapa tidak tahan hidup, silakan mati."
Indonesia genzumin
Sementara itu berbagai aturan, tuntutan dan intimidasi fihak penguasa, juga tidak kalah hebatnya dalam menyengsarakan rakyat. Mereka dipaksa dengan ancaman bayonet dan hukuman berat untuk melakukan perintah atasannya dengan dalih demi "kemakmuran bersama di wilayah Asia Timur Raya". Dan terhadap ancaman itu, kita tidak boleh menganggap sepele. Yang dianggap salah atau membangkang, siapa pun mereka, bisa dicaci maki, ditempeleng, digebuk dan bahkan didor di tempat. Untuk para pelanggar yang dianggap serius, lewat jalur hukum yang berlaku atau tidak, si tersangka langsung digelandang ke rumah tahanan. Dan bagaimana nasibnya sesudah masuk penjara, pasti sudah ditunggu oleh para algojo yang akan menyiksanya. Dan rumah penjara di masa itu disebut sebagai "neraka dunia".
Untuk menjalankan pemerintahannya, fihak penguasa mulai menghubungi bangsa kita yang dianggap terpelajar untuk diajak bekerja sama. Selama berhubungan itulah, bangsa kita akhirnya mengetahui bahwa betapa buruknya perangai tentara Jepang. Selain sangat kejam juga menganggap rendah bangsa kita. Mereka menyebut semua bangsa kita, dari orang yang terpelajar dan terpandang sampai rakyat kecil, genzumin atau domme inlanders (sebutan di zaman Belanda) yang sama artinya dengan "Indonesia bodoh". Para orang inteleknya cuma pandai berebut kedudukan, sedang rakyat kecilnya disebut sebagai perampok. Demikian pandangan mereka terhadap bangsa kita di masa itu. Pokoknya serendah-rendahnya pangkat seorang tentara Nippon, tidak akan melihat sebelah mata terhadap seorang Indonesia bagaimanapun tingginya kedudukan atau pendidikannya. Oleh karena itu dalam menindak bangsa kita, mereka bisa sewenang-wenang dan tidak pilih bulu.
Tentang tindakan yang membabi buta ini, terutama terhadap kaum terpelajarnya, memang sudah banyak contohnya. Seperti misalnya nasib buruk yang menimpa Mr. Amir Syarifudin, Prof. Dr. A. Mochtar, Dr.A. Kaiyadu, dan Dr. Suleman Siregar. Mr. Amir ditangkap dan disiksa dengan cara tubuhnya digantung dengan kaki di atas selama berhari-hari tanpa diberi makan atau minum. Namun berkat tindakan Bung Karno, Amir bisa diselamatkan. Juga Prof. Mochtar telah ditangkap karena dituduh melawan pemerintah. Di dalam tahanan sang Profesor telah disiksa sampai menemui ajalnya. Padahal waktu itu dia baru diangkat oleh Jepang sebagai Guru Besar di "Sekolah Tabib Tinggi" bersama Dr. Asikin dan Dr. S. Hadibroto. Dan yang lebih mengenaskan lagi adalah nasib Dr. Kaiyadu dan Dr. Suleman. Yang disebut pertama dikabarkan ditangkap jam 23.00, kemudian keesokan harinya pagi dibawa pulang sudah tidak bernyawa. Jenazahnya tidak boleh dibuka kecuali mukanya. Juga Dr. Sulaeman langsung dibunuh gara-gara banyak pasiennya yang mati karena salah menyuntik. Bahkan Bung Karno pun yang di saat itu mempunyai kedudukan penting dan dihormati, sempat kena "bogem mentah" oleh tentara Jepang berpangkat rendah. Perlakuan tidak senonoh terhadap Bung Karno sehingga dari hidungnya mengalir darah itu hanya karena soal sepele. Bung Karno ketika itu terlambat mematikan lampu di rumahnya. Perlu diketahui, bahwa di zaman itu ada peraturan pemerintah, yang melarang menyalakan lampu di malam hari, demi keamanan. Lampu yang menyala harus ditutupi kain hitam. Karena merasa diperlakukan tidak pantas, Bung Karno segera mengadu ke pimpinan tertinggi Jepang di Istana Gambir (sekarang Istana Merdeka). Namun pembesar Nippon itu hanya minta maaf. "Dia pasti tidak tahu siapa tuan," jawabnya.
Sebenarnya masih banyak contoh dari perlakuan orang Jepang baik sipil maupun militer yang berani kurang ajar terhadap bangsa kita yang berkedudukan terhormat. Di masa itu, memang banyak beredar berita perihal seorang pegawai tinggi bangsa kita yang diperlakukan semena-mena oleh pegawai rendah bangsa Nippon. Di kantor-kantor pemerintah misalnya sering terjadi seorang pegawai bangsa kita yang berkedudukan cukup tinggi dan sudah berusia lanjut ditempeleng di muka kawan-kawannya oleh seorang pegawai rendah bangsa Jepang. Alasannya biasanya hanya soal kecil, seperti terlambat mengikuti upacara menghormat bendera atau latihan taiso (senam pagi).
Peran Kenpei Tai
Berbicara soal pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Jepang, agaknya tidak boleh dilewatkan hadirnya Kenpei Tai atau polisi milter Jepang. Kenpei Tai sama dengan Gestapo yang dibentuk Hilter. Nama Kenpei Tai di masa pendudukan Jepang memang sempat menghantui masyarakat dan menimbulkan trauma cukup berat. Karena tindakannya sering di luar ukuran perikemanusiaan, sehingga mendengar nama Kenpei Tai orang bisa merinding bulu kuduknya. Orang akan segera menghindari apabila kepergok Kenpei Tai yang berseragam tentara dengan tanda band putih bertuliskan huruf Jepang warna merah di lengannya. Padahal mereka itu tidak punya masalah apa-apa. Kekuasaan Polisi Jepang ini memang demikian tinggi, sehingga tentara Jepang pun sangat takut dan segan terhadap mereka.
Tentang kebuasan dan kekejaman Kenpei Tai ini banyak diceritakan oleh Bung Karno dalam bukunya "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat". Juga dalam buku "1261 Hari di Bawah Matahari Terbit" yang ditulis G. Pakpahan, disebutkan bahwa saking tidak manusiawinya, banyak orang dengan nada sinis mempertanyakan "Kenpei Tai itu masih manusia atau bukan". Pertanyaan itu muncul disebabkan sulitnya bagi penduduk waktu itu untuk memikirkan perbuatan yang begitu kejam yang dilakukan oleh makhluk yang bernama manusia. Lebih lanjut dikatakan dalam buku itu bahwa yang berurusan dengan Kenpei Tai sama saja dengan "mencoba bagaimana rasanya tinggal di neraka". Dan salah satu "neraka" yang paling seram dan ngeri adalah gedung bekas Sekolah Hakim Tinggi di Gambir Barat (sekarang Merdeka Barat) Jakarta yang di masa itu digunakan sebagai Kantor Pusat Kenpei Tai. Dari gedung itu tidak putus-putusnya terdengar suara ratap tangis dan jeritan dari para tahanan yang disiksa.
Memang sungguh ironis sekali, gedung sekolah di mana diajarkan cara-cara menghormati hukum dan menegakkan keadilan telah digunakan Jepang untuk melakukan hal-hal yang sangat melanggar keadilan. Namun agaknya kekejaman serta mengesampingkan keadilan dan hukum di masa perang memang harus dilakukan. Dan terlepas dari adil atau tidak, kenyataannya Kenpei Tai ini harus diakui punya peran penting dan banyak menguntungkan fihak pemerintah. Buktinya selama masa penjajahan Jepang boleh dikata tak seorang pun dari pemimpin bangsa kita yang mencoba-coba untuk menolak perintah pihak penguasa. ***
Sumber: Pikiran Rakyat, 7 April 2002
Komentar
Posting Komentar