Langsung ke konten utama

Mengenang 60 Tahun Masa Penjajahan Dai Nippon (4): Indonesia Merdeka di Kemudian Hari

Oleh HARYADI SUADI

Pada puntjak penderitaan rakjat kita, djiwa rakjat kita mulai gelisah, peperangan Djepang mulai kendur, kekalahan mereka mulai terbau (tercium Pen), maka lahirlah "Indonesia merdeka di kemudian hari" jang sebenarnya "djandji kemerdekaan di hari kemudian" atau di hari kiamat.

(Dr. Abu Hanifah dalam bukunya "Tjita Tjita Perdjoangan" 1946)

TELAH diceritakan dalam seri yang lalu bahwa sejak akhir Agustus 1944, ribuan romusha sudah mulai digiatkan secara maksimal di dalam maupun luar Jawa dan bahkan sampai ke negara tetangga. Namun dalam beberapa bulan kemudian akibat buruk dari kerja paksa ini mulai nampak. Bahwasanya akibat yang tidak diinginkan ini bakal terjadi, sejak jauh hari memang sudah bisa diduga. Masalahnya pemerintah Jepang dengan seribu satu macam janji muluknya dalam menjaga kondisi para "pahlawan pembangunan" ini, pasti hanya omong kosong belaka. Buktinya sudah sangat banyak berjatuhan korban akibat kelaparan dan penyakit. Melihat kenyataan ini Bung Hatta telah mengusulkan agar dalam segala hal romusha hendaknya diperlakukan lebih manusiawi. Berdasarkan usulan Bung Hatta ini kemudian diputuskan antara lain bahwa nasib romusha akan diperhatikan dan diperlukan dengan lebih pantas "sebagai manusia". Begitu pula dalam hal makanan dan pakaian seragamnya. Dan apabila habis masa tugasnya, mereka akan dikembalikan ke tempat asalnya, agar tidak terlantar.

Tetapi keputusan ini agaknya sulit dilaksanakan. Soalnya fihak Jepang sendiri sangat kerepotan dalam menghadapi kekuatan angkatan perangnya yang semakin melemah. Memang sejak pertengahan tahun 1944 di wilayah Pasifik, Jepang banyak mengalami kekalahan. Benteng pertahanannya di Kepulauan Saipan, Solomon, dan Nieuw Guinea telah jatuh ke tangan Sekutu. Dengan kekalahan-kekalahan itu Jepang semakin membabi buta. Semua kekuatannya dikerahkan secara dipaksakan, termasuk para romusha yang kondisinya rata-rata sudah berada di ambang maut ini, terus dituntut untuk melakukan tugasnya tanpa istirahat.

Tetapi apa pun yang terjadi, nasib romusha yang sudah amat kritis itu tetap harus ditolong. Paling tidak pertolongan bisa diberikan kepada keluarganya yang ditinggalkan. Namun bagaimana caranya, akhirnya bangsa kita juga yang kena getahnya. Untunglah ada Organisasi "Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa". Organisasi yang punya anggota sekitar 20 perkumpulan sandiawara ini, sudah biasa menggelar pertunjukan amal. Organisasi ini sejak tahun 1943 sudah kerap mengadakan pertunjukan amal untuk menolong orang miskin atau para penganggur. Rombongan sandiwara "Dewi Mada", "Warna Sari", dan "Sedio Moeljo" termasuk yang sering beramal untuk kesejahteraan para romusha dan keluarganya.

Namun soal kesengsaraan romusha yang sedang ramai dibicarakan ini, untuk sejenak terlupakan dengan tersiarnya berita yang menggembirakan bagi bangsa kita. Berita yang dimaksud adalah pada tanggal 7 September 1944 Saiko Shikikan telah mengeluarkan maklumat nomor 6 yang isinya rakyat diperbolehkan mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dan keesokan harinya muncul lagi maklumat yang lebih menggembirakan, yakni Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Rakyat Indonesia di kemudian hari. Fihak Jepang sendiri mengatakan bahwa hari itu adalah "saat yang penuh riwayat" bagi bangsa Indonesia. Dan bagaimana hal ikhwal munculnya saat yang penting ini telah diberitakan oleh harian "Asia Raya" tanggal 8 September 1944 sebagai berikut: Pada tanggal 7 September, Tuan Ir Soekarno yang sedang memimpin kerja sukarela romusha di Banten, tiba-tiba dipanggil ke Jakarta. Di Jakarta ia sudah ditunggu oleh para petinggi Pemerintah Jepang seperti Somubucho, Kikakukacho, Saito, dan Shimizu. Kemudian dengan didampingi Shimizu, Soekarno yang berkemeja lengan panjang serba putih memasuki ruangan yang telah disediakan. Diceritakan kemudian bahwa ketika Soekarno menduduki kursinya, suasana hening dan tak ada yang berani berkata-kata. Kemudian barulah Tuan Somubucho memberitahukan dengan singkat bahwa dalam sidang istimewa "Teikoku Gikai" (Parlemen Nippon) ke-85 yang diadakan di Tokio pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Koiso menyatakan tentang diperkenankannya kemerdekaan bagi segenap rakyat Indonesia di kemudian hari.

Ketika salinan pidato Koiso itu dibacakan oleh Shimizu, wajah Ir. Soekarno tampak tenang. Namun, kalimat demi kalimat yang dibacakan Shimizu telah dia simak dengan penuh perhatian dan hati berdebar-debar. Setelah selesai dibacakan, Tuan Somubucho langsung berdiri dan memberi selamat kepada Soekarno.

Lautan Merah Putih

Keesokan harinya baik dari fihak Jepang maupun bangsa kita telah menyiapkan acara khusus. Tidak diperoleh keterangan bagaimana cara penduduk membuat bendera merah putih. Namun yang jelas sejak pagi hari tanggal 8 Kota Jakarta telah menjadi lautan merah putih di samping bendera Nippon. Boleh dikata setiap rumah telah mengibarkan kedua bendera tersebut. Konon pada saat itulah sastrawan Usmar Ismail yang menyaksikan suasana Jakarta tergerak hatinya untuk menggubah sebuah sajak yang berbunyi demikian:

Merah-poetih / Kini koelihat kau berkibar di tengah bangsa / Lambang kebangsaan di Timoer Raja / Engkau pandji perdjoeangankoe / Mengedjar kemoeliaan bangsakoe

Bung Karno pun bersama Fatmawati sejak pagi hari tidak ketinggalkan menaikkan Sang Dwi Warna di muka rumahnya. Sebuah arak-arakan yang diikuti ribuan massa yang dipimpin Bung Karno sendiri pada jam 10.00 telah memasuki Istana Gambir tempat bersemayam PYM. Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi). Juga di istana tersebut telah berkumpul para petinggi Jepang. Tepat jam 11.40 Saiko Shikikan mengucapkan pidatonya tentang kemerdekaan Indonesia di kemudian hari yang kemudian disambut pidato Bung Karno yang menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Dai Nippon. Akhirnya Bung Karno bersama barisannya menyerukan "Tenno Heika banzai". Dan dijawab pula oleh rombongan Saiko Shikikan dengan seruan "Indonesia banzai". Setelah itu kedua belah fihak memasuki beranda muka istana. Tampak Seiko Shikikan beserta pembesar militer lainnya memegang bendera merah putih dan Bung Karno membawa bendera Jepang. Kemudian sambil tertawa kedua belah fihak mengibar-ngibarkan benderanya. Kibaran bendera itu secara spontan disambut ribuan massa yang berada di jalan dan halaman istana. Suasana di saat itu benar-benar gegap gempita dan penuh haru, demikian diberitakan "Pandji Poestaka" 15 September 1942.

Pada tanggal 11 PYM Saiko Shikikan memerintahkan menggelar sidang istimewa ke-V "Chuo Sangi In" (DPR buatan Jepang). Pada hari itulah, paduka tuan Somubucho (Kepala Departemen Urusan Umum) dalam pidatonya menegaskan kembali, bahwa kemerdekaan Indonesia di kemudian hari itu adalah atas perintah dan kasih sayang JMM Tenno Heika. Dalam kesempatan itu, PYM Saiko Shikikan juga telah berpidato yang isinya mengisyaratkan bahwa dengan dikeluarkannya keputusan YMM Tenno Heika itu, sudah sepantasnya rakyat Indonesia harus berterima kasih kepada Nippon. Artinya kebaikan Jepang harus dibalas pula dengan perbuatan rakyat Indonesia yang menguntungkan fihak Jepang. Dan untuk lebih mempertegas soal rasa terima kasih itu, di akhir pidatonya, Saiko Shikikan mengajukan pertanyaan: "Bagaimanakah cara dan jalannya untuk membuktikan keikhlasan rasa terima kasih penduduk Indonesia kepada Pemerintah Agung Dai Nippon serta kepada Balatentara". Dan akhirnya Panglima Tertinggi Nippon itu menyerukan agar hati rakyat dibangunkan secara lebih hebat lagi dalam mengobar-ngobarkan semangat berjuang mati-matian untuk menghancurkan Amerika dan Inggris.

"Sehidup semati dengan Dai Nippon"

Pada hari itu juga Tuan Ir Soekarno sebagai pimpinan Sidang "Chuo Sangi In" telah menjawab pertanyaan Saiko Shikikan sebagai berikut: Dengan rasa terharoe dan sepenoeh-penoehnja chidmat mempersembahkan beriboe-riboe terima kasih ke bawah Doeli Jang Maha Moelia atas kemoerahan hati jang telah dilimpahkan kepada bangsa Indonesia. Kita menghatoerkan poela beriboe-riboe terima kasih kepada Balatentara Dai Nippon jang telah memberi pengoerbanan sebesar-besarnja oentoek memerdekakan bangsa-bangsa Asia Timoer Raja dari pendjadjahan dan penindasan Amerika, Inggris, dan Belanda. (Majalah "Pandji Poestaka" 15 September 1944). Kemudian ditegaskannya pula soal kesadaran bangsa Indonesia akan kedudukannya dalam perang suci ini, yakni bertekad akan terus berjuang mati-matian di samping Dai Nippon dan bersedia menderita segala kesukaran dan kekurangan. Dan akhirnya sebagai penutup pidatonya Tuan Ir. Soekarno dengan penuh semangat telah mengucapkan kata-kata: "Sehidup semati dengan Dai Nippon sebelum mencapai kemerdekaan, tetap sehidup semati dengan Dai Nippon sesudah mencapai kemerdekaan".

Kalimat "Sehidup semati dengan Dai Nippon" yang diucapkan Bung Karno di atas akhirnya dijadikan "semboyan baru bangsa Indonesia" yang harus disebar ke seluruh negeri. Bahkan dalam sidang ke-VI "Chuo Sangi In" di bulan November 1944, semboyan itu secara resmi telah dimasukkan ke dalam "Panca Darma" yakni "Lima Pedoman Hidup Bangsa Indonesia" yang berbunyi sebagai berikut:

1. Kita dalam peperangan Asia Timur Raya seperjuangan sehidup semati dengan Dai Nippon. 2. Kita mendirikan negara Indonesia yang merdeka sebagai anggota lingkungan keluarga Asia Timur Raya. 3. Kita berusaha memelihara dan mempertinggi peradaban dan kebudajaan. 4. Kita berbakti seikhlas-ikhlasnya kepada negara dan bangsa dengan bertakwa kepada Tuhan. 5. Kita berjuang ke arah perdamaian dunia, menurut dasar Hakko Ichiu (prinsip Nippon).***

(Bersambung)



Sumber: Pikiran Rakyat, 28 April 2002



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...