Langsung ke konten utama

Syiar Islam Melalui "Jalur Sutra": Dari Cina Merambah ke Kerajaan Sriwijaya

"Cina itu indah tidak memberikan kesenangan .... Aku lebih sering tinggal di penginapan dan hanya keluar jika perlu. Selama tinggal di Cina, manakala melihat seorang Muslim, seakan-akan aku berjumpa dengan keluarga dan kerabat dekatku sendiri."

Ketika menuliskan catatan perjalanan itu, petualang mashur Ibnu Battuta belum sedikit pun melihat bahwa di bagian lain negeri Cina masih banyak orang yang dia sebut seperti kerabat dekatnya. Tidak lama, masih abad ke-13, saat tiba di Kham Fu (Kanton), musafir Maroko ini mendapati sekitar 120.000 penduduk asing (warga Arab-Parsi) membangun rumah tangga di Kanton. Sekitar 8.000 di antara mereka itu merupakan pelajar yang menuntut ilmu di perguruan tinggi Islam di sana.

Kemudian ketika dia hendak menuju ke daerah Melayu dan Sriwijaya, Ibnu Battuta melihat besarnya komunitas pedagang Muslim yang menetap di kota-kota pelabuhan sepanjang Selat Malaka. Dan tepat saat dia menginjakkan kaki di tanah Ce Li Foche (sebutan Cina untuk Sriwijaya), kejayaan Sriwijaya tengah memudar dan di lain pihak Islam justru berkembang. Ibnu Battuta pun mencatat, di Ce Li Foche--tepatnya di Palembang--terdapat perguruan tinggi Islam yang ramai didatangi mahasiswa dari berbagai negara. Konon, perguruan tinggi itu afiliasi lembaga serupa yang ada di Kanton.

Pengaruh Islam di Palembang ketika itu sudah melekat kuat. Merambah lewat "Jalur Sutra" (Cina) sampai daratan Sumatra Selatan, Islam terus merebak ke pelosok Nusantara seiring lalu-lintas kapal-kapal niaga Arab, Parsi, termasuk Cina.

Iring-iringan kafilah unta beriringan meninggalkan bagian barat Cina, masuk ke Gurun Gobi dan Taklimakan. Punuk-punuk unta mereka sarat memuat aneka barang dagangan: mulai merica sampai sutra dan emas yang berkilauan. Sesekali mereka berhenti dan minum di oase di antara terik matahari gurun pasir yang luas.

Ada dua versi mengenai masuknya Islam ke daratan Cina ini. Ada yang menyebut syiar Islam itu melalui pedagang-pedagang yang berjalan melalui jalan darat (Arab dan Parsi). Ada pula yang mengatakan melalui laut (Gujarat). Jalur laut membentang melewati laut seram Siraf melalui Malaka lalu masuk ke Kanton. Sementara jalur sutra lama melalui Smarka, Xianziang, dan Peking. Meski jalur laut tak kalah penting, catatan perjalanan niaga di "Jalur Sutra" cenderung banyak diperbincangkan. Berdasarkan folklore bertanda tahun 626 M, T'a Tsing dikenal sebagai pembuka Islam di Sian--ibukota dinasti Han saat itu. Dalam kaitan ini, tidak kurang dari pangeran kerajaan Han Shih Khi turut merespons positif tumbuhnya agama yang diturunkan Allah melalui Nabi Muhammad.

Setelah itu, kisah sukses penyebaran Islam di Cina terus tercatat dalam buku harian pembawa berita Cina dan petualang Arab Ibnu Battuta. Pada dekade itu, orang Arab-Parsi sudah banyak berdiam di Chiang Chow, Chang Chow, dan Kanton (tahun 630 M). Sementara sahabat Nabi Muhammad, Saad bin Lubaid, membangun masjid pertama di Kanton. Mesjid pertama di Timur Jauh yang dia bangun bersama sang teman bernama Yusuf itu diberi nama Kwah Tang Tse dan Chee Linche.

Menurut catatan Ibnu Battuta, saat dinasti Yuan berjaya, telah muncul lembaga pendidikan yang disebut zawawiyah. Salah satu zawawiyah yang terkenal terdapat di Kanton, dipimpin seorang Syeikh bernama Burhanuddin Al Karumi. Sementara di Xian dan Kanton perniagaan didominasi pedagang-pedagang Arab dan Parsi. Di Kanton tercatat lebih dari 120.000 rumah tangga asing--sebagian besar Muslim. Sementara di Xian terdapat sepuluh ribuan rumah tangga Arab dan Parsi.

Begitu kuatnya pengaruh Islam, sampai-sampai seorang Muslim bernama Jamal al Din mendirikan pusat observasi kerajaan di Beijing. Dia juga merancang istana Beijing, seiring dengan diadaptasinya teknik astronomi Islam oleh sistem navigasi Cina. Masih pada masa Dinasti Yuan, lahir ilmuwan-limuwan Muslim di berbagai bidang ilmu. Seperti Sai Tien Chih yang menguasai bidang ekonomi, juga Fuqaha al Muazzam Maulana Qowamudin al Sibti dalam bidang hukum Islam.

Pada masa itu, dalam pandangan Dinasti Ming yang berkuasa setelah Yuan, hubungan Cina dan Arab sungguh sangat mesra. Mungkin karena itu, kejayaan Islam di daratan Cina ini pun tak kurang hebatnya. Misalnya, saat itu di Nan King saja terdapat 36 masjid. Di samping itu bermunculan pula tokoh-tokoh Muslim ahli teknologi keramik Cina yang terkenal dengan sebutan Mingtsing dan Katsing.

Pertumbuhan pemukiman-pemukiman komersial Muslim Cina di Zaman Mongol terpantulkan dalam perkembangan yang sama di sepanjang pantai Asia Tenggara. Kegiatan perniagaan sendiri, di Asia secara keseluruhan, telah berjalan semenjak sebelum tarikh masehi. Otomatis saat itu jalur niaga sudah ada dan cukup ramai didatangi saudagar-saudagar. Jalur-jalur itu menghubungkan negara-negara di Asia Timur dengan Asia Tenggara, Asia Barat, dan Eropa. Lewat Pantai India, dari negeri Cina dan wilayah lain, kapal-kapal masuk ke Selat Malaka dan berlayar menuju Samudera Indonesia.

Sementara bagi India dan Cina, Selat Malaka jelas merupakan wilayah sangat strategis karena menghubungkan Teluk Benggala (India) dengan Laut Cina Selatan. Selat Malaka merupakan engsel dalam sistem pelayaran musiman (mengandalkan angin musim): kapal-kapal yang melintasi Teluk Benggala tidak dapat mencapai Cina sebelum angin timur laut yang berlawanan mulai berembus. Karena itu, para pedagang biasanya berdiam di sepanjang pelabuhan yang ada di selat sebelum melanjutkan perjalanan mengitari Jazirah Melayu dan Laut Cina Selatan pada bulan April dan Mei.

Kenyataan ini tak urung mendorong para pedagang yang berbasis di India untuk menjual barang-barang dagangan di kota-kota selat, sebelum akhirnya kembali ke Malabar. Demikian halnya dengan nahkoda-nahkoda kapal Cina, mereka pun mengikuti pola berdagang seperti ini. Besarnya fiskal yang ditawarkan para pedagang mendorong penguasa-penguasa kota selat untuk menahan mereka agar tinggal lebih lama.

Akhirnya, komunitas pedagang-pedagang yang sebagian besar Muslim ini tumbuh di mana-mana layaknya jamur di musim penghujan. Mereka pun mengatur kehidupan sendiri sesuai syariat Islam, sekaligus mulai menyebarkan ajaran dan nilai-nilai agama itu kepada penduduk setempat. Tak sedikit di antara mereka yang menikah dengan wanita-wanita pribumi--juga masuk Islam--dan membentuk keluarga baru Muslim. Mereka terus berkembang menjadi kelompok elite Muslim dan bergengsi hingga bisa mempengaruhi keluarga kerajaan untuk beralih agama ke Islam.

Orang Cina yang sempat singgah di sepanjang Selat Malaka menyebut orang-orang di sana--terutama Jambi, Sungai Batang, dan Sriwijaya (Palembang)--dengan sebutan orang-orang Mo Lo You (Melayu). Saat mereka datang masih terdapat sekitar seribu pendeta Budha di sana. Menurut catatan Ibnu Battuta, perkembangan Islam di Palembang sangat besar, terlebih kota itu tidak dijadikan tameng pertahanan Sriwijaya dari serangan musuh.

Pada abad ke-7, saat perniagaan di Selat Malaka mulai ramai, penyebaran agama Islam di Nusantara mulai berlangsung. Perkembangan tersebut tak henti-henti dicatat pembawa berita Arab dan Cina pada abad sesudahnya (abad 8 sampai 10). Misalnya disebutkan bahwa pada abad ke-7, Kerajaan Sriwijaya sempat melindungi komunitas Muslim Cina di Kedah yang termasuk wilayah jajahannya. Menurut seorang ahli, tidak kurang dari komunitas Cina di Kanton begitu senang menyaksikan perlindungan hidupnya perkampungan Muslim Kedah dan Palembang oleh pihak kerajaan. Menurut catatan Ibnu Battuta (tiba di Malaka abad ke-13), saat itu pun di Palembang sudah terdapat perguruan tinggi Islam semacam zawawiyah di Kanton. Perguruan tersebut ramai didatangi pelajar dari mancanegara.

Awal kehancuran Sriwijaya kenyataannya mempunyai arti penting terhadap perkembangan Islam. Masih berdasar catatan Ibnu Battuta, Islam berkembang pada saat Kerajaan Sriwijaya mundur. Sriwijaya yang semula menguasai kunci pelayaran dan perdagangan internasional, ketika itu tidak lagi berdaya menghadapi ekspedisi Pamalayu Kerajaan Singasari yang gilang-gemilang mengambil-alih kekuasaan Kerajaan Melayu. Bagi bandar-bandar yang dikuasai Sriwijaya, itu serta-merta menjadi kesempatan untuk melepaskan diri.

Sejalan dengan itu, para pedagang Muslim beserta mubaligh-mubalighnya mengambil keuntungan politik. Mereka berangsur menyatakan diri sebagai pendukung daerah-daerah kerajaan baru yang bercorak Islam seperti Samudra Pasai di pesisir timur laut Aceh.

(Nunun Nubaiti/Berbagai Sumber)



Sumber: Suara Karya, 17 Desember 1999




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...