Langsung ke konten utama

Dengan Semangat 28 Oktober 1928: Jagat Sindu Salaka Akan Abadi

OLEH: WIWIT PERWIRATMAN

OKTOBER hari ke-28, abad 19 tahun 28, bergema sumpah para pemuda kita. Ikrar persatuan berkumandang di Nusantara tercinta. Suatu perjalanan jauh dan lama, saat itu memulai pendakian menuju sasaran: Kemerdekaan! Apalagi pertemuan itu disemarakkan dengan kumandangnya lagu kebangsaan, Indonesia Raya. Dada pun membusung, penuh udara bersih. Semangat kian berkobar.

Perjalanan jauh yang lama dan dipenuhi dengan derita semakin terasa getir. Tubuh kurus berbalut kain goni compang-camping. Keringat menetes, kadang memancar berwarna merah, darah. Sementara enersi tubuh terkuras, sedang pengganti enersi tidak memadai, hanya tumbuhan dan buah-buahan penggantinya.

Titik awal yang mendorong perjalanan itu ditempuh, dan pendakian itu ditempuh karena keadaan yang memaksa untuk merebut hak yang dikangkangi 'orang asing'.

Dalam perjalanan yang panjang itu, kita catat kerajaan Majapahit dengan maha patih Gajah Mada, terkenal dengan Sumpah Palapa-nya. Kepulauan di Nusantara ini dipersatukan dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Juga tak ketinggalan Kerajaan Pajajaran Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil-nya serta wangsit Siliwangi-nya.

Keduanya merupakan perjalanan sejarah yang panjang. Keduanya mempunyai persamaan, mempersatukan daerah-daerah di Nusantara ini.

Nusantara yang terbagi-bagi atas pulau besar dan kecil yang dikelilingi lautan. Dari keadaan geografis yang tersebar, raja-raja dahulu merasa perlu mempersatukannya. Dan dengan perjalanan sejarah itulah berdiri Republik ini.

Dalam tahun 1553-1565, saat Prabu Suramagenda menjadi Raja Pajajaran, daerah di Nusantara ini dipersatukan ke dalam kekuasaannya. Tentaranya yang kuat dan besar mulai disebarkan ke berbagai pulau, seperti Timor, Sulawesi, Kalimantan dll. Sehingga kepulauan itu terkenal dengan sebutan Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil.

Kemudian tampuk pemerintahan diganti putranya, Prabu Puja Dewangga. Dalam masa pemerintahan Prabu Dewangga, dia termashur ke pelosok dunia, antara lain India, Kamboja, Campa, Sailan, Bangkok, Cina, Jepang dll.

Kemashurannya dikarenakan andilnya dalam mengadakan rapat dan mengembangkan agama, kebijaksanaannya dan juga dalam menata kekuasaannya. Rakyat mencintainya, juga seluruh dunia menaruh simpati.

Sebelum kekuasaan kerajaan diwariskan kepada putranya, Prabu Dewangga wanti-wanti memberikan wangsit. Beliau merasa tertarik dan lebih menitikberatkan agama dari pada memegang tampuk kekuasaannya, ditinggalkannyalah kerajaan menuju pertapaan.

Kita tukil sebagian Wangsit Siliwangi, dalam bahasa Sunda: ".... Siliwangi bakal abadi, Siliwangi bakal jaya nepi ka bihari, asal Sunda ngahiji, gelar kaula lain keur kaula, tapi keur incu putu kaula, umumna turunan Sunda, supaya gede nya wibawa ...."

Dalam bahasa Indonesia kira-kira berbunyi:

".... Siliwangi bakal abadi, Siliwangi akan jaya hingga akhir nanti, asal Sunda bersatu, gelar aku bukan untuk aku, tapi untuk keturunan aku, agar besar wibawanya ...."

Kata Siliwangi, berasal dari kata sirih dan wangi. Menurut kebiasaan raja-raja dahulu, sebelum dimulainya suatu pertemuan, makan sirih (ngalemar/nyeupah, bah. Sunda) merupakan kewajiban. Dan bila kita tilik, kebiasaan ini bukan monopoli para raja, tapi juga rakyat Indonesia.

Dalam rapat pertemuan antar bangsa itu, suguhan sirih dari Prabu Dewangga sangat harum dan enak, hingga semua raja menyenanginya. Kemudian raja Kamboja berkata, "Silih yang mulia Prabu Dewangga wangi."

Raja itu tidak bisa mengucapkan kata r, hingga kata sirih wangi jadi silih wangi. Dalam pertemuan itu, Prabu Dewangga diangkat jadi sesepuh agama seluruh dunia, dengan gelar Siliwangi.

Gelar Siliwangi, bukan semata dicantumkan oleh raja-raja dari negara-negara tersebut, tapi juga oleh raja-raja di seluruh nusantara.

Karena waktu itu kekuasaan raja-raja di nusantara yang terbagi dalam kepulauan sunda besar dan kecil ada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, maka wangsit itu ditujukan bukan hanya kepada rakyat Pajajaran semata, melainkan juga kepada raja-raja di kepulauan Sunda Besar dan Kecil.

Sedangkan kata Sunda, diambil dari kalimat 'Jagat Sindu Salaka' (Jagat = dunia, Sindu = air, Salaka = harta), yang artinya: negara subur makmur sugih mukti loh jinawi.

Arti Sunda dan kata asalnya dari Siliwangi adalah cermin Indonesia. Indonesia yang terkenal dan kesuburan tanahnya. Tongkat kayu pun jadi tanaman.

Dari perjalanan sejarah, sudah ditekankan kata 'ngahiji (bersatu)'.

Tatkala kesatuan Nusantara diporak-porandakan oleh bangsa asing, kesatuan yang padu goyah oleh bujuk rayu. Keadaan nusantara mulai kacau, karena politik yang dijalankan memecah belah persatuan yang telah padu itu. Politik adu domba antar raja-raja, berhasil dengan baik dilaksanakan oleh 'bangsa asing'. Tujuannya untuk merebut kekayaan alam kita yang tidak akan habis ini.

Kekacauan timbul di mana-mana. Penindasan memenuhi alam Indonesia. Penderitaan rakyat merajalela di mana-mana. Pemberontakan yang timbul selalu mengalami kegagalan. Ketidaksenangan terhadap 'bangsa asing' dilakukan hanya terbatas pada lingkup daerah saja. Kesatuan yang dulu ada ternyata tidak berbekas. Kecurigaan sesama kerajaan timbul takut salah satunya akan mengangkangi kekuasaan. 


Sumber: Pikiran Rakyat, 27 Oktober 1983


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...