Langsung ke konten utama

Khidmat Sumpah Pemuda Kini: Apa Jawaban Pemuda Terhadap Pembangunan?

Oleh: Emmanuel Milala

TERLIBAT ngobrol dengan tokoh-tokoh pemuda beberapa waktu yang lalu, saya pernah mengajukan tese yang agak peka. Kata saya, bahwa jawaban pemuda terhadap pembangunan yang sedang berlangsung ini, masih terbatas politis. Itupun dalam konteks politik praktis. Artinya, bahwa di tengah kebergulatan untuk memperbaiki kondisi sosial-budaya kita dengan penggalakan pembangunan di semua sektor ini, ternyata rupanya yang menonjol dan ditangkap oleh radar kepemudaan terbatas pada yel-yelannya doang.

Pemuda kita belum sampai pada penglihatan lebih dalam, misalnya sebagai agen dari perubahan, tampil sebagai inovator yang dapat diandalkan, misioner dalam melihat realitas baru bagi saudara-saudara tercinta yang di pedesaan dan seterusnya. Pokoknya, persepsi pembangunan yang ditangkap dan dimanifestasikan oleh orang muda di tanah air kita ini, bukan hal-hal yang esensial dan kemudian menjadi motor penggerak dalam perubahan pola hidup; tetapi selalu berhenti dengan kepuasan-kepuasan elitis dan praktis, dan bahkan temporer sekali.

Karena itu, kecemasan yang saya ajukan, dalam kehidupan kepemudaan fenomena yang selalu bisa dibaca adalah sebagai berikut: miskinnya daya juang, kurang mampunya dalam mengukur kemampuan dan mendayagunakannya, tak tahan dengan kemandirian mutlak melalui penentuan sejarahnya sendiri, dan yang lebih ngerinya lagi selalu ingin bersembunyi di balik atribut-atribut temporer dan kosong dan bahkan tidak produktif serta hanya berfungsi sebagai arena nampang doang.

Impian

Penjelasannya lebih lanjut begini; bahwa yang terjadi adalah timbulnya image sosial untuk hidup senang dengan tanpa melalui proses. Dalam hubungan ini, tentu saja, mari kita bersama-sama untuk menanyakan dan terlibat dalam kehidupan kepemudaan itu. Maksudnya, bahwa keinginan hidup yang mapan dengan berbagai fasilitas yang menyenangkan adalah merupakan impian yang jamak. Karena itu tak mengherankan lagi, bila sarjana-sarjana muda usia langka yang mau terjun ke pedesaan. Juga tak ketinggalan dalam pengamatan kita, bahwa prosentase urbanisasi di hampir setiap kota besar di tanah air ini selalu tertinggi diduduki oleh golongan usia produktif ini.

Maka, gambaran yang kita lihat dalam aspek ini sebagai berikut; kebutuhan informasi dan kedekatan pada sumber informasi selalu didominir oleh golongan muda dengan catatan agar dapat langsung merubah haluan sesuai dengan tuntutan image sosial yang juga bergeser. Terutama lihat saja dalam pola hidup yang konsumeristik, fashionable, bersenang-senang dan malah berorientasi pada kualifikasi material dalam ukuran ideal manusiawi.

Keadaan ini, selanjutnya, beruntun pada permasalahan kurang mampunya pemuda itu untuk mengadakan "self-evaluation". Artinya, bahwa, penjajagan pada kemampuan, lalu kesadaran akan mutu dan kualitas diri pribadi, hampir boleh dikatakan tak pernah disadari oleh pemuda itu. Maka misalnya, apabila seorang wartawan mewawancarai seorang pemuda, sering kali yang tercetus sebagai jawaban justru hal-hal yang muluk-muluk. Memang dalam konteks cita-cita hal itu wajar; tetapi walaupun begitu, jawaban yang keluar itu dengan mudah sekali dapat kita duga hanya merupakan impian yang tak berdasar pada realitas.

Contoh nyata bisa terjadi begini: seorang pemuda mengatakan ingin menjadi sarjana dalam ilmu tertentu, tetapi jelas sekali kelihatan bahwa orientasi pengamatannya saja belum secuil pun ke situ. Atau, lagi, seorang pemuda ingin masuk AKABRI, tetapi kesan psikologis yang dapat kita raba justru pemuda itu pemalas, kurang bergairah dan bahkan tukang molor. Dan contoh lain masih bejibun. Tapi sebetulnya yang ingin saya katakan adalah bahwa kedudukan persepsi hidup pada pemuda yang hampir seperti simsalabim itu; yakni, orientasi pada suatu impian yang muluk-muluk dengan tanpa ikhtiar dalam merealisasikannya, atau dalam ungkapan sehari-hari sering disebut sebagai mimpi siang bolong.

Demikian, maka sudah jelas langkah-langkah yang selalu dapat kita baca dalam kehidupan kepemudaan itu adalah sebagai berikut; pemuda itu tidak mempunyai "decision", lebih suka hanyut dalam arus yang hidup dalam masyarakat, tak mampu melihat realitas dari posisi tertentu dan karena itu perlu bersembunyi dalam berbagai bentuk persembunyian seperti ketergantungan kepada orangtua, sistem sosial, partai, gang, bentuk-bentuk material seperti mobil, pakaian mewah, atau kasarnya bisa juga kita sebutkan "Numpang Urip".

Anehnya, justru, tese saya ini tak mendapat antitese yang berarti. Maksudnya berbagai pernyataan-pernyataan yang berkembang baik di mas media maupun di kalangan tokoh pemuda, sebaliknya malah justru mendukung dalam kerangka yang dialektis. Misalnya, sebagai contoh, bisa kita ajukan pernyataan Aulia Rachman, ketua KNPI itu beberapa waktu yang lalu. Tatkala seorang tamu dari mancanegara bertanya kenapa justru yang disebutkan pemuda di tanah air kita tercinta ini sudah seperti paman-paman (P dari KNPI bukan pemuda, tetapi Paman), ia menjawab sebagai berikut: karena Indonesia masih relatif muda--baru merdeka 38 tahun--maka harap maklum kalau pemudanya malah sudah tua.

Astagfirullah, barangkali itu yang keluar dari mulut kita; dengan catatan, bahwa implisit pernyataan itu mengukuhkan ketergantungan yang berkepanjangan dalam kehidupan kepemudaan. Bukankah fenomena ini bisa terbaca dalam keterlambatan dewasa, keterikatan pada konsep kepemudaan, sementara usia sudah melampaui 35 tahun dengan embel-embel punya istri dan anak? Lalu sampai di mana sebetulnya batasan-batasan konsep kepemudaan itu; apakah begitu abstrak, kabur dan elastis sehingga terbuka untuk semua umur hanya dengan kriterium psikis seperti berjiwa muda, semangat muda?

Tentu, dalam kesempatan ini, masih terbengkalai perdebatan yang menarik; artinya, bahwa jika keterikatan pada konsep kepemudaan terbatas dalam pertimbangan psikis, semangat muda, maka bersesuaian dengan kondisi fisik otomatis itu justru menggambarkan suatu kondisi yang tidak menyenangkan yaitu infantilitas. Dan, dengan infantilitas dimaksudkan, tak lain adalah terjadinya gangguan-gangguan psikis dalam perkembangannya sehingga tak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan fisik. Jika hal ini dikenakan dalam konotasi kepemudaan di Indonesia, tentu saja kita perlu berucap wallahualam. Semoga apa yang dikatakan oleh Aulia Rachman terbatas apologetis.

Kritik

Selanjutnya kritik pedas yang dilontarkan oleh anggota DPA dan DPP Golkar Sugiharto beberapa waktu lalu di harian ini (SH, 15 Oktober), menarik untuk dikaitkan dengan pemuda dalam keterikatan konsep kepemudaannya. Katanya, bahwa politikus muda kita justru melibatkan kegiatan politik yang dilakukannya dengan perdagangan. Oleh karena itu sulit membedakan apakah pemuda itu seorang politikus yang memperjuangkan kepentingan rakyat, penuh idealisme, dengan kesungguhan hati mau berkorban dalam mewujudkan keadilan dan kemakmuran, atau malah di balik itu justru menjalin hubungan dengan berbagai pihak yang kemudian menelorkan hasil berupa kelancaran-kelancaran bisnis yang menguntungkan diri pribadi.

Karena itu, implisit pertanyaan dan kecemasan politikus senior itu bisa kita baca; apakah pemuda kita itu masih murni dalam jalur konsep kepemudaannya? Apakah pemuda kita itu masih sadar akan tugas, lakon yang harus dibawakannya dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, idealisma, semangat yang berkobar-kobar akan pembaharuan, kreativitas, perbaikan-perbaikan pola dan sistem yang menjurus pada kehidupan yang lebih baik?

Tentu saja, pertanyaan itu menggiring kita kembali untuk membongkar pemuda dalam konsep kepemudaannya. Artinya, bukan argumentasi-argumentasi apologetik yang perlu disusun dan dirasionalisir dalam upaya pengkotakan masih muda dan tidak muda lagi; melainkan lebih mendesak lagi ialah menyadari kepemudaan itu secara mendalam dan mencoba mengejawantahkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga cap identitas itu kelihatan. Berarti, pilihan yang tepat dan sewajarnya, adalah keterikatan pada idealisma, penuh kreativitas, peka terhadap problem-problem sosial sekitarnya, berani mengatakan yang baik dan tidak baik, mempunyai jiwa besar dalam keterbukaan. Dan yang lebih penting lagi sepenuhnya sadar akan tujuan kenegaraan yang sedang dicanangkan, serta kritis dan bersikap dalam membangun masa depannya.

Gambaran di atas, jelas, membuat kita menjadi prihatin terhadap kondisi kepemudaan itu. Terlebih, dalam kenyataannya, berulang kali ajakan, anjuran dan bahkan tantangan dilemparkan ke alamat pemuda itu agar menyadari kepemudaannya dan berikhtiar mengejawantahkannya dalam tuntutan keadaan sekarang.

Pemuda, tentu saja, seperti yang selalu disadari sebagai "young human resources" (sumber daya manusiawi), adalah yang paling diharapkan peranannya dalam setiap kurun zaman, lebih-lebih saat membangun ini. Sebab, tanpa itu, bagaimana bisa kita berikhtiar semaksimal mungkin dalam merealisir pola hidup yang lebih baik dari keadaan yang sekarang? Dan, terlebih-lebih, bukankah peranannya sebagai pewaris, penerus tanah air ini adalah wajar pula dituntut konsekuensinya supaya mampu dan tangguh dalam menghadapi tantangan zamannya yang bakal tiba segera?

Memang, dengan kecemasan yang saya ajukan di awal tulisan ini, bukan berarti menutup mata terhadap sisi lain; kita harus membelalakkan mata dan memberikan penghargaan terhadap pemuda-pemuda yang berhasil seperti prestasi Mochammad Kasim bin Arifin dari Waimital, Anton Sudjarwo pendiri Yayasan Dian Desa, Eko Sulistyo Maryono yang kreatif dan berani, dan masih banyak lagi. Tetapi, pertanyaan kita; berapa prosenkah pemuda yang sejenis ini di tanah air kita dibandingkan dengan kapasitas hampir 50% penduduk Indonesia adalah pemuda?

Apakah selebihnya cukup dengan masuk ke dalam organisasi kepemudaan, menyiapkan statemen-statemen yang menggebu-gebu dan muluk-muluk, lalu menganggap dirinya mempunyai negeri ini sendirian saja, serta memperjuangkannya dengan mengatasnamakan adil-makmur, pedesaan dan sebagainya? Atau bahkan, sekali lagi, cukupkah dengan menghapal Pancasila, UUD 45 lalu selalu ingin tampil dengan pernyataan-pernyataan aneh tentang keprihatinan rakyat kecil, sementara kelihatan mondar-mandir naik Mercy dan Lancer, dan bahkan ikut rally-rallyan?

Peranan pemuda di tanah air kita, lebih lanjut, historikal mempunyai kedudukan yang istimewa. Sumpah Pemuda yang dicetuskan 28 Oktober 1928 yang lampau, harus kita akui adalah merupakan urat nadi berdirinya tanah air ini. Dalam keadaan sulit begitu, di mana penjajahan, keanekaragaman sosial-budaya dan lain sebagainya, ternyata berhasil dipadukan menjadi satu oleh pemuda. Begitu juga saat-saat kelepasan dari penjajahan, kemerdekaan yang dicetuskan pada 17 Agustus 1945, penemuan ideologi Pancasila, semua itu merupakan ikhtiar yang sangat berani dari pemuda itu sendiri.

Pemuda, dalam sejarah kebangsaan kita, tak lain dan tak bukan adalah selalu menjadi sentral dari kesadaran masa depan, keberanian dalam memperbaiki mutu hidup, pergolakan-pergolakan yang berakar dan menjadi fundamen dari sebuah bangunan tanah ar. Karena itu, jelas, bahwa kepemudaan adalah merupakan harapan yang tak putusnya, daya dorong dan daya kerja yang tak pernah lelah dalam terus-menerus memperbaiki kualitas hidup bangsa kita menuju masyarakat adil dan makmur.

Dalam konteks inilah, sudah tentu, selalu kita jatuhkan kriterium dalam pengukuran kepemudaan pada tiap-tiap zaman yang beralih dan membawa problematikanya. Terutama, misalnya, bagaimana peranan yang dibawakannya dalam saat kita membangun ini? Bentuk-bentuk dan warna pengejawantahan yang bagaimana sudah dilakukanya sehingga berpartisipasi dalam pembangunan sesuai dengan mutu konsep kepemudaan dan keadaan kedirian pemuda itu?

Khidmat Sumpah Pemuda

Kembali kita angkat kondisi kepemudaan ke atas permukaan, kecemasan-kecemasan yang perlu diperhitungkan, keadaan rawan dan pola orientasi yang mencong, semua itu tentu semacam impuls untuk kembali mengadakan re-evaluasi. Tanpa penjajagan ulang, yang kemudian membuat yang terselip menjadi tampak, yang bersembunyi menjadi kelihatan, kita tentu tak bisa menyusun langkah baru yang harus dilaksanakan demi cita-cita yang melekat dalam keyakinan kebangsaan kita.

Maka, barangkali, itulah salah satu khidmat yang selalu tertanam dalam memperingati hari-hari bersejarah semacam 28 Oktober 1983 ini. Dengan catatan, bahwa apa yang kemudian membuat kita kembali tergugah, menyadari kesalahan orentasi, terlampau menceng sudah dari garis demargasi yang ditetapkan, tidak dengan begitu saja menutup mata sambil berargumentasi yang aneh-aneh demi keabsahan keadaan sekarang.

Melainkan, sebaliknya, kesadaran itu melahirkan dan menumbuhkan sikap kepemudaan kita yang sigap dan berani, sehingga berikhtiar lebih bersemangat lagi dalam mencari dan menempatkan pada posisi perjuangan yang sebenarnya.

Dan, dengan begitu, tentu pertanyaan yang harus kita ajukan dalam kesempatan ini begini; bagaimana sebetulnya bentuk aplikasi khidmat Sumpah Pemuda itu dalam suasana pembangunan? Bagaimana sebetulnya ragam pengejawantahan kepemudaan itu dalam ikhtiar berpartisipasi demi perbaikan hampir semua aspek kehidupan kenegaraan kita? Tentu, terlebih dahulu, yang mendesak kita lakukan adalah pemahaman permasalahan secara meluas. Dalam pengertian, bahwa dengan pemahaman permasalahan itu kita bisa meraba, menjamah dengan baik dan lekat, soal-soal yang memang terutama dan utama dalam mencarikan pemecahannya. Misalnya mengenai kesempatan kerja, ketimpangan pendidikan, persoalan-persoalan kaya-miskin yang menjurang dan masih banyak lagi, yang tentu saja dengan mengetahui itu kita membuat strategi baik dalam jangkauan keorganisasian maupun perseorangan dengan penekanan pada segi operasionalnya.

Berarti langsung bisa terpakai; nilai praktis, berbuat, adalah segala-galanya dibandingkan dengan konsep yang terkadang berhenti muluk-muluk. Sebab, dengan ketinggian frekuensi hidup sekarang, di mana semua seginya seolah tertantang apalagi dengan penekanan pada usaha-usaha pembangunan, maka ikhtiar nyata adalah terutama dikaitkan dengan kepentingan bersama dan fungsi sosialnya.

Dalam hubungan inilah kreativitas dituntut sepenuhnya; yaitu, pemuda itu tidak hanya mempercayakan hidup dan masa depannya dalam hubungan struktur dan perjalanan struktur--misalnya keterikatan kepada organisasi yang nantinya akan memberikan kesempatan sosial-politik-ekonomi padanya, atau keterikatan pada image sosial tentang gelar kesarjanaan, kepegawaian baik swasta maupun negeri akan menjamin hidupnya--tetapi justru sebaliknya mengusahakan struktur, atau membentuk struktur yang akan melegakan perjalanan individual demi kemajuan-kemajuannya.

Sehingga, kemudian, yang tampak adalah ketangguhan-ketangguhan mental, upaya independent yang dewasa, bersikap dan mengurangi nilai ketergantungan. Sampai pada posisi ini, bukankah sejajar dalam keberanian pemuda dalam mencetuskan Sumpah Pemuda, yang konon mau mendirikan tanah air tercinta ini lepas dari ketiak kebaikan penjajah?

Agaknya, barangkali, itulah alternatif yang relevan dalam memberikan jawaban terhadap tuntutan pembangunan yang kini semakin menggebu-gebu. ***

*Penulis adalah staf akhli pada Yayasan Pengembangan Ilmu, Bandung, dan kini mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkarya, Jakarta.



Sumber: Sinar Harapan, 26 Oktober 1983 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...