Oleh: Emmanuel Milala
TERLIBAT ngobrol dengan tokoh-tokoh pemuda beberapa waktu yang lalu, saya pernah mengajukan tese yang agak peka. Kata saya, bahwa jawaban pemuda terhadap pembangunan yang sedang berlangsung ini, masih terbatas politis. Itupun dalam konteks politik praktis. Artinya, bahwa di tengah kebergulatan untuk memperbaiki kondisi sosial-budaya kita dengan penggalakan pembangunan di semua sektor ini, ternyata rupanya yang menonjol dan ditangkap oleh radar kepemudaan terbatas pada yel-yelannya doang.
Pemuda kita belum sampai pada penglihatan lebih dalam, misalnya sebagai agen dari perubahan, tampil sebagai inovator yang dapat diandalkan, misioner dalam melihat realitas baru bagi saudara-saudara tercinta yang di pedesaan dan seterusnya. Pokoknya, persepsi pembangunan yang ditangkap dan dimanifestasikan oleh orang muda di tanah air kita ini, bukan hal-hal yang esensial dan kemudian menjadi motor penggerak dalam perubahan pola hidup; tetapi selalu berhenti dengan kepuasan-kepuasan elitis dan praktis, dan bahkan temporer sekali.
Karena itu, kecemasan yang saya ajukan, dalam kehidupan kepemudaan fenomena yang selalu bisa dibaca adalah sebagai berikut: miskinnya daya juang, kurang mampunya dalam mengukur kemampuan dan mendayagunakannya, tak tahan dengan kemandirian mutlak melalui penentuan sejarahnya sendiri, dan yang lebih ngerinya lagi selalu ingin bersembunyi di balik atribut-atribut temporer dan kosong dan bahkan tidak produktif serta hanya berfungsi sebagai arena nampang doang.
Impian
Penjelasannya lebih lanjut begini; bahwa yang terjadi adalah timbulnya image sosial untuk hidup senang dengan tanpa melalui proses. Dalam hubungan ini, tentu saja, mari kita bersama-sama untuk menanyakan dan terlibat dalam kehidupan kepemudaan itu. Maksudnya, bahwa keinginan hidup yang mapan dengan berbagai fasilitas yang menyenangkan adalah merupakan impian yang jamak. Karena itu tak mengherankan lagi, bila sarjana-sarjana muda usia langka yang mau terjun ke pedesaan. Juga tak ketinggalan dalam pengamatan kita, bahwa prosentase urbanisasi di hampir setiap kota besar di tanah air ini selalu tertinggi diduduki oleh golongan usia produktif ini.
Maka, gambaran yang kita lihat dalam aspek ini sebagai berikut; kebutuhan informasi dan kedekatan pada sumber informasi selalu didominir oleh golongan muda dengan catatan agar dapat langsung merubah haluan sesuai dengan tuntutan image sosial yang juga bergeser. Terutama lihat saja dalam pola hidup yang konsumeristik, fashionable, bersenang-senang dan malah berorientasi pada kualifikasi material dalam ukuran ideal manusiawi.
Keadaan ini, selanjutnya, beruntun pada permasalahan kurang mampunya pemuda itu untuk mengadakan "self-evaluation". Artinya, bahwa, penjajagan pada kemampuan, lalu kesadaran akan mutu dan kualitas diri pribadi, hampir boleh dikatakan tak pernah disadari oleh pemuda itu. Maka misalnya, apabila seorang wartawan mewawancarai seorang pemuda, sering kali yang tercetus sebagai jawaban justru hal-hal yang muluk-muluk. Memang dalam konteks cita-cita hal itu wajar; tetapi walaupun begitu, jawaban yang keluar itu dengan mudah sekali dapat kita duga hanya merupakan impian yang tak berdasar pada realitas.
Contoh nyata bisa terjadi begini: seorang pemuda mengatakan ingin menjadi sarjana dalam ilmu tertentu, tetapi jelas sekali kelihatan bahwa orientasi pengamatannya saja belum secuil pun ke situ. Atau, lagi, seorang pemuda ingin masuk AKABRI, tetapi kesan psikologis yang dapat kita raba justru pemuda itu pemalas, kurang bergairah dan bahkan tukang molor. Dan contoh lain masih bejibun. Tapi sebetulnya yang ingin saya katakan adalah bahwa kedudukan persepsi hidup pada pemuda yang hampir seperti simsalabim itu; yakni, orientasi pada suatu impian yang muluk-muluk dengan tanpa ikhtiar dalam merealisasikannya, atau dalam ungkapan sehari-hari sering disebut sebagai mimpi siang bolong.
Demikian, maka sudah jelas langkah-langkah yang selalu dapat kita baca dalam kehidupan kepemudaan itu adalah sebagai berikut; pemuda itu tidak mempunyai "decision", lebih suka hanyut dalam arus yang hidup dalam masyarakat, tak mampu melihat realitas dari posisi tertentu dan karena itu perlu bersembunyi dalam berbagai bentuk persembunyian seperti ketergantungan kepada orangtua, sistem sosial, partai, gang, bentuk-bentuk material seperti mobil, pakaian mewah, atau kasarnya bisa juga kita sebutkan "Numpang Urip".
Anehnya, justru, tese saya ini tak mendapat antitese yang berarti. Maksudnya berbagai pernyataan-pernyataan yang berkembang baik di mas media maupun di kalangan tokoh pemuda, sebaliknya malah justru mendukung dalam kerangka yang dialektis. Misalnya, sebagai contoh, bisa kita ajukan pernyataan Aulia Rachman, ketua KNPI itu beberapa waktu yang lalu. Tatkala seorang tamu dari mancanegara bertanya kenapa justru yang disebutkan pemuda di tanah air kita tercinta ini sudah seperti paman-paman (P dari KNPI bukan pemuda, tetapi Paman), ia menjawab sebagai berikut: karena Indonesia masih relatif muda--baru merdeka 38 tahun--maka harap maklum kalau pemudanya malah sudah tua.
Astagfirullah, barangkali itu yang keluar dari mulut kita; dengan catatan, bahwa implisit pernyataan itu mengukuhkan ketergantungan yang berkepanjangan dalam kehidupan kepemudaan. Bukankah fenomena ini bisa terbaca dalam keterlambatan dewasa, keterikatan pada konsep kepemudaan, sementara usia sudah melampaui 35 tahun dengan embel-embel punya istri dan anak? Lalu sampai di mana sebetulnya batasan-batasan konsep kepemudaan itu; apakah begitu abstrak, kabur dan elastis sehingga terbuka untuk semua umur hanya dengan kriterium psikis seperti berjiwa muda, semangat muda?
Tentu, dalam kesempatan ini, masih terbengkalai perdebatan yang menarik; artinya, bahwa jika keterikatan pada konsep kepemudaan terbatas dalam pertimbangan psikis, semangat muda, maka bersesuaian dengan kondisi fisik otomatis itu justru menggambarkan suatu kondisi yang tidak menyenangkan yaitu infantilitas. Dan, dengan infantilitas dimaksudkan, tak lain adalah terjadinya gangguan-gangguan psikis dalam perkembangannya sehingga tak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan fisik. Jika hal ini dikenakan dalam konotasi kepemudaan di Indonesia, tentu saja kita perlu berucap wallahualam. Semoga apa yang dikatakan oleh Aulia Rachman terbatas apologetis.
Kritik
Selanjutnya kritik pedas yang dilontarkan oleh anggota DPA dan DPP Golkar Sugiharto beberapa waktu lalu di harian ini (SH, 15 Oktober), menarik untuk dikaitkan dengan pemuda dalam keterikatan konsep kepemudaannya. Katanya, bahwa politikus muda kita justru melibatkan kegiatan politik yang dilakukannya dengan perdagangan. Oleh karena itu sulit membedakan apakah pemuda itu seorang politikus yang memperjuangkan kepentingan rakyat, penuh idealisme, dengan kesungguhan hati mau berkorban dalam mewujudkan keadilan dan kemakmuran, atau malah di balik itu justru menjalin hubungan dengan berbagai pihak yang kemudian menelorkan hasil berupa kelancaran-kelancaran bisnis yang menguntungkan diri pribadi.
Karena itu, implisit pertanyaan dan kecemasan politikus senior itu bisa kita baca; apakah pemuda kita itu masih murni dalam jalur konsep kepemudaannya? Apakah pemuda kita itu masih sadar akan tugas, lakon yang harus dibawakannya dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, idealisma, semangat yang berkobar-kobar akan pembaharuan, kreativitas, perbaikan-perbaikan pola dan sistem yang menjurus pada kehidupan yang lebih baik?
Tentu saja, pertanyaan itu menggiring kita kembali untuk membongkar pemuda dalam konsep kepemudaannya. Artinya, bukan argumentasi-argumentasi apologetik yang perlu disusun dan dirasionalisir dalam upaya pengkotakan masih muda dan tidak muda lagi; melainkan lebih mendesak lagi ialah menyadari kepemudaan itu secara mendalam dan mencoba mengejawantahkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga cap identitas itu kelihatan. Berarti, pilihan yang tepat dan sewajarnya, adalah keterikatan pada idealisma, penuh kreativitas, peka terhadap problem-problem sosial sekitarnya, berani mengatakan yang baik dan tidak baik, mempunyai jiwa besar dalam keterbukaan. Dan yang lebih penting lagi sepenuhnya sadar akan tujuan kenegaraan yang sedang dicanangkan, serta kritis dan bersikap dalam membangun masa depannya.
Gambaran di atas, jelas, membuat kita menjadi prihatin terhadap kondisi kepemudaan itu. Terlebih, dalam kenyataannya, berulang kali ajakan, anjuran dan bahkan tantangan dilemparkan ke alamat pemuda itu agar menyadari kepemudaannya dan berikhtiar mengejawantahkannya dalam tuntutan keadaan sekarang.
Pemuda, tentu saja, seperti yang selalu disadari sebagai "young human resources" (sumber daya manusiawi), adalah yang paling diharapkan peranannya dalam setiap kurun zaman, lebih-lebih saat membangun ini. Sebab, tanpa itu, bagaimana bisa kita berikhtiar semaksimal mungkin dalam merealisir pola hidup yang lebih baik dari keadaan yang sekarang? Dan, terlebih-lebih, bukankah peranannya sebagai pewaris, penerus tanah air ini adalah wajar pula dituntut konsekuensinya supaya mampu dan tangguh dalam menghadapi tantangan zamannya yang bakal tiba segera?
Memang, dengan kecemasan yang saya ajukan di awal tulisan ini, bukan berarti menutup mata terhadap sisi lain; kita harus membelalakkan mata dan memberikan penghargaan terhadap pemuda-pemuda yang berhasil seperti prestasi Mochammad Kasim bin Arifin dari Waimital, Anton Sudjarwo pendiri Yayasan Dian Desa, Eko Sulistyo Maryono yang kreatif dan berani, dan masih banyak lagi. Tetapi, pertanyaan kita; berapa prosenkah pemuda yang sejenis ini di tanah air kita dibandingkan dengan kapasitas hampir 50% penduduk Indonesia adalah pemuda?
Apakah selebihnya cukup dengan masuk ke dalam organisasi kepemudaan, menyiapkan statemen-statemen yang menggebu-gebu dan muluk-muluk, lalu menganggap dirinya mempunyai negeri ini sendirian saja, serta memperjuangkannya dengan mengatasnamakan adil-makmur, pedesaan dan sebagainya? Atau bahkan, sekali lagi, cukupkah dengan menghapal Pancasila, UUD 45 lalu selalu ingin tampil dengan pernyataan-pernyataan aneh tentang keprihatinan rakyat kecil, sementara kelihatan mondar-mandir naik Mercy dan Lancer, dan bahkan ikut rally-rallyan?
Peranan pemuda di tanah air kita, lebih lanjut, historikal mempunyai kedudukan yang istimewa. Sumpah Pemuda yang dicetuskan 28 Oktober 1928 yang lampau, harus kita akui adalah merupakan urat nadi berdirinya tanah air ini. Dalam keadaan sulit begitu, di mana penjajahan, keanekaragaman sosial-budaya dan lain sebagainya, ternyata berhasil dipadukan menjadi satu oleh pemuda. Begitu juga saat-saat kelepasan dari penjajahan, kemerdekaan yang dicetuskan pada 17 Agustus 1945, penemuan ideologi Pancasila, semua itu merupakan ikhtiar yang sangat berani dari pemuda itu sendiri.
Pemuda, dalam sejarah kebangsaan kita, tak lain dan tak bukan adalah selalu menjadi sentral dari kesadaran masa depan, keberanian dalam memperbaiki mutu hidup, pergolakan-pergolakan yang berakar dan menjadi fundamen dari sebuah bangunan tanah ar. Karena itu, jelas, bahwa kepemudaan adalah merupakan harapan yang tak putusnya, daya dorong dan daya kerja yang tak pernah lelah dalam terus-menerus memperbaiki kualitas hidup bangsa kita menuju masyarakat adil dan makmur.
Dalam konteks inilah, sudah tentu, selalu kita jatuhkan kriterium dalam pengukuran kepemudaan pada tiap-tiap zaman yang beralih dan membawa problematikanya. Terutama, misalnya, bagaimana peranan yang dibawakannya dalam saat kita membangun ini? Bentuk-bentuk dan warna pengejawantahan yang bagaimana sudah dilakukanya sehingga berpartisipasi dalam pembangunan sesuai dengan mutu konsep kepemudaan dan keadaan kedirian pemuda itu?
Khidmat Sumpah Pemuda
Kembali kita angkat kondisi kepemudaan ke atas permukaan, kecemasan-kecemasan yang perlu diperhitungkan, keadaan rawan dan pola orientasi yang mencong, semua itu tentu semacam impuls untuk kembali mengadakan re-evaluasi. Tanpa penjajagan ulang, yang kemudian membuat yang terselip menjadi tampak, yang bersembunyi menjadi kelihatan, kita tentu tak bisa menyusun langkah baru yang harus dilaksanakan demi cita-cita yang melekat dalam keyakinan kebangsaan kita.
Maka, barangkali, itulah salah satu khidmat yang selalu tertanam dalam memperingati hari-hari bersejarah semacam 28 Oktober 1983 ini. Dengan catatan, bahwa apa yang kemudian membuat kita kembali tergugah, menyadari kesalahan orentasi, terlampau menceng sudah dari garis demargasi yang ditetapkan, tidak dengan begitu saja menutup mata sambil berargumentasi yang aneh-aneh demi keabsahan keadaan sekarang.
Melainkan, sebaliknya, kesadaran itu melahirkan dan menumbuhkan sikap kepemudaan kita yang sigap dan berani, sehingga berikhtiar lebih bersemangat lagi dalam mencari dan menempatkan pada posisi perjuangan yang sebenarnya.
Dan, dengan begitu, tentu pertanyaan yang harus kita ajukan dalam kesempatan ini begini; bagaimana sebetulnya bentuk aplikasi khidmat Sumpah Pemuda itu dalam suasana pembangunan? Bagaimana sebetulnya ragam pengejawantahan kepemudaan itu dalam ikhtiar berpartisipasi demi perbaikan hampir semua aspek kehidupan kenegaraan kita? Tentu, terlebih dahulu, yang mendesak kita lakukan adalah pemahaman permasalahan secara meluas. Dalam pengertian, bahwa dengan pemahaman permasalahan itu kita bisa meraba, menjamah dengan baik dan lekat, soal-soal yang memang terutama dan utama dalam mencarikan pemecahannya. Misalnya mengenai kesempatan kerja, ketimpangan pendidikan, persoalan-persoalan kaya-miskin yang menjurang dan masih banyak lagi, yang tentu saja dengan mengetahui itu kita membuat strategi baik dalam jangkauan keorganisasian maupun perseorangan dengan penekanan pada segi operasionalnya.
Berarti langsung bisa terpakai; nilai praktis, berbuat, adalah segala-galanya dibandingkan dengan konsep yang terkadang berhenti muluk-muluk. Sebab, dengan ketinggian frekuensi hidup sekarang, di mana semua seginya seolah tertantang apalagi dengan penekanan pada usaha-usaha pembangunan, maka ikhtiar nyata adalah terutama dikaitkan dengan kepentingan bersama dan fungsi sosialnya.
Dalam hubungan inilah kreativitas dituntut sepenuhnya; yaitu, pemuda itu tidak hanya mempercayakan hidup dan masa depannya dalam hubungan struktur dan perjalanan struktur--misalnya keterikatan kepada organisasi yang nantinya akan memberikan kesempatan sosial-politik-ekonomi padanya, atau keterikatan pada image sosial tentang gelar kesarjanaan, kepegawaian baik swasta maupun negeri akan menjamin hidupnya--tetapi justru sebaliknya mengusahakan struktur, atau membentuk struktur yang akan melegakan perjalanan individual demi kemajuan-kemajuannya.
Sehingga, kemudian, yang tampak adalah ketangguhan-ketangguhan mental, upaya independent yang dewasa, bersikap dan mengurangi nilai ketergantungan. Sampai pada posisi ini, bukankah sejajar dalam keberanian pemuda dalam mencetuskan Sumpah Pemuda, yang konon mau mendirikan tanah air tercinta ini lepas dari ketiak kebaikan penjajah?
Agaknya, barangkali, itulah alternatif yang relevan dalam memberikan jawaban terhadap tuntutan pembangunan yang kini semakin menggebu-gebu. ***
*Penulis adalah staf akhli pada Yayasan Pengembangan Ilmu, Bandung, dan kini mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkarya, Jakarta.
Sumber: Sinar Harapan, 26 Oktober 1983
Komentar
Posting Komentar